Pulang dari kantor Tila tidak langsung pulang ke kediaman Aris Tirtando. Wanita itu langsung menuju bengkel guna mengambil mobilnya yang sudah 1 minggu di sana.
Taksi yang ditumpangi Tila akhirnya tiba di bengkel. Saat memasuki bengkel yang sudah menjadi langganannya, Tila bertemu dengan bang Anton yang sudah menjadi montir langganannya juga.
"Bang!"
Anton menoleh kemudian tersenyum lebar. "Wah, pengantin baru." Anton menyapa Tila dengan ramah.
Tila tersenyum santai sebagai balasan sapaannya. Wanita itu kemudian menanyakan keadaan mobilnya.
"Mobil aman, Neng. Tinggal ambil dan bayar. Beres," jelas Anton pada Tila.
"Oh, thank you, Bang. Kalau begitu saya masuk buat bayar dulu."
Tila kemudian melangkah masuk menuju ruang administrasi untuk membayar biaya perbaikan kendaraannya.
Tila tersenyum membalas sapaan gadis administrasi yang Tila ketahui bernama Mona.
"Totalnya, tiga juta, empat ratus ribu." Mona menyerahkan kuitansi pada Tila yang langsung dibayar wanita itu secara cash.
Tila kemudian keluar setelah melakukan pembayaran. Mobil warna putihnya sudah siap dipakai dan sudah keluar dari area perbaikan.
"Terima kasih, Bang. Akhirnya saya bisa memakai mobil kembali," kata Tila tersenyum.
"Kalau mau dandan ke sini lagi ya, Neng. Langganan lama kita."
Tila tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Bengkel ini memang sudah menjadi langganan Tila. Jadi, tidak mungkin ia akan beralih ke bengkel lainnya.
Tila mengendarai mobilnya membelah jalanan ibu kota menuju kediaman Aris, dimana tempatnya tinggal entah untuk sementara atau selamanya. Tila berharap agar ia bisa cepat-cepat pergi dari kediaman itu. Tila tidak akan sanggup hidup satu atap dengan wanita jahat macam ibu mertuanya serta adik ipar kurang ajar yang memiliki sifat iblis.
Tila tersenyum menyapa satpam yang membukakan gerbang untuknya. Setelah pintu memasuki gerbang, mobil Tila terparkir di depan garasi yang masih memiliki tempat kosong untuknya.
Turun dari mobil, Tila langsung menuju pintu utama rumah. Saat melangkah masuk, Tila disambut dengan suara ramai yang terdengar di ruang tamu.
"Eh, Jeng. Ini menantumu?"
Tila menghentikan langkahnya ketika mendengar suara yang sepertinya ditujukan untuknya.
Di sofa ruang tamu, terdapat 5 orang wanita dengan dandanan ala wanita sosialita kalangan atas. Termasuk, ibu mertuanya.
Kelima wanita tersebut menatap ke arah Tila dengan pandangan tak terbaca. Mereka menatap Tila dari ujung kaki hingga kepala terus menerus berulang kali hingga membuat Tila merasa risih. Seolah-olah ia sedang ditelanjangi oleh mata para wanita itu.
"Huh, sebenarnya saya malas sekali mengakui dia sebagai menantu. Habis bukan tipe saya sekali." Winar berkata sambil menatap jijik ke arah Tila.
"Memangnya tipe jeng Winar seperti apa?"
Teman Winar bernama Lina menatapnya dengan tatapan bertanya. 10 jari tangan wanita itu penuh dengan cincin berlian membuatnya tampak seperti toko berjalan.
"Tipe menantu idaman saya itu yang pasti cantik, ber-attitude, punya pendidikan tinggi, dan yang pasti selevel dengan keluarga kami." Winar menyahut dengan santai. "Tidak seperti dia. Kami hanya memungut barang rongsokan untuk dimasukkan ke dalam rumah. Betapa memalukan," cibirnya habis-habisan.
Winar masih tidak terima dengan keputusan suaminya menjodohkan wanita ini dengan putra sulungnya. Mengapa tidak ada wanita yang lebih berbobot dan asal-usulnya jelas yang bisa di jodohkan suaminya? Mengapa harus wanita miskin ini? Batin Winar bertanya-tanya.
"Aduh, Jeng. Kasihan sekali dirimu mendapat menantu yang bukan dari kalangan kita." Salah satu teman Winar menyahut. "Kalau dia sudah pasti enak hidup dengan harta Pak Aris," cibirnya.
"Iya. saya juga tidak mengerti dengan jalan pikiran suami saya. Perempuan macam ini banyak di pasaran." Winar membalas dengan semangat. "Dia dan keluarganya pasti bahagia karena naik derajat menikahi orang kaya. Mereka pasti bangga dan menyombongkan diri di antara kalangan mereka," sinis Winar.
"Sudah?"
Tila melipat tangannya di d**a seraya menatap para wanita yang menggosipi dirinya seakan dirinya tak ada ditempat. Tila merasa sakit hati? Tentu saja ia merasakannya. Namun, ia tidak akan pernah menunjukkannya di hadapan para wanita yang menganggapnya remeh.
"Apanya yang sudah?" Winar segera berdiri seraya berkacak pinggang di depan Tila. Winar sedang menunjukkan pada teman-temannya jika ia tidak pernah menerima menantu dengan level kalangan bawah seperti Tila. "Dengar, wanita miskin. Saya tidak akan pernah suka dan setuju kamu menjadi menantu saya. Sampai mati pun saya tidak akan pernah setuju."
"Memangnya di sini saya yang memaksakan diri untuk menjadi menantu Anda?" Tila mengangkat sebelah alisnya. "Kalau boleh jujur, saya juga enggan untuk menjadi menantu wanita iblis seperti Anda," tandas Tila tak kalah tajam.
"Hei, jaga bicara kamu. Siapa yang kamu sebut sebagai wanita iblis?" Winar memelototi Tila dengan tatapan marah. Winar tersinggung karena Tila menyebutkan dirinya sebagai wanita iblis.
"Anda. Memangnya siapa lagi wanita berhati iblis di rumah ini? Oh, ada satu lagi. Itu putri, Anda. Monster mengerikan," tandas Tila tak kalah tajam.
Sudah pernah Tila katakan jika ia bukanlah gadis 17 tahun yang bisa dihina, diejek, dan dilecehkan oleh orang-orang ini. Tila adalah Tila. Wanita kuat dan tangguh yang tidak pernah lagi mau harga dirinya diinjak oleh orang lain.
"Kamu--"
"Saya permisi dulu ya ibu mertua. Sudah gerah, mau mandi." Tila tersenyum miring kemudian membalikkan tubuhnya menuju tangga yang akan membawanya ke lantai atas.
Siapa Winar? Siapa teman-temannya? Tila tidak peduli.
Tila memutuskan untuk berendam di dalam bathup dengan mencampurkan sabun dengan aroma vanilla lembut ke dalam air.
Tila kemudian menghidupkan musik dengan alunan lembut hingga membuatnya merasa kantuk.
Tila tersentak dan terbangun saat merasakan hawa dingin merasuk tubuhnya. Tila melihat jam yang terpampang di layar ponselnya lalu tersadar ia sudah cukup lama berendam.
Tila membilas tubuhnya dengan air shower. Setelah itu ia keluar kamar mandi dengan mengenakan kimono handuk serta handuk putih yang membungkus rambut basah.
Tila sedikit terkejut saat melihat Adam berada di dalam kamar. Ternyata pria itu sudah pulang dari kantor.
"Aku pikir ada orang mati di kamar mandi. Tidak tahunya orangnya masih hidup," kata Adam. Matanya fokus menatap layar ponselnya dan entah apa yang sedang dilakukan pria itu, Tila tidak tahu dan tidak mau peduli.
Tila tahu jika Adam sedang menyindirnya yang menggunakan kamar mandi terlalu lama. Tapi apa? Memangnya Tila akan tahu jika Adam sudah pulang? Kalau pun Tila tahu, sekali lagi ia memutuskan untuk tidak peduli.
Tila melangkah santai melewati Adam yang sedang duduk di ujung tempat tidur. Wanita itu mengambil pakaiannya dan pakaian dalam, kemudian kembali ke kamar mandi untuk mengenakannya.
Sementara Adam yang merasa diacuhkan hanya bisa menggertak giginya kesal. Dasar perempuan tidak tahu malu, sinis batin Adam.
*
Makan malam berlangsung dalam keadaan hening di kediaman Aris Tirtando. Hanya ada Aris, Adam, Winar, dan juga Tila.
Aris menatap istrinya dengan tatapan bertanya. "Kemana Eddel? Jam segini harusnya dia sudah ada di rumah."
"Eddel? Tadi siang dia pamit mau ke rumah temannya. Nanti aku telepon." Winar mengangkat bahunya. Tadi siang putrinya memang pamit akan ke rumah temannya, namun sampai sekarang putri bungsunya belum juga menampakkan diri.
Tak lama suara langkah kaki terdengar memasuki area ruang makan. Sosok Eddel muncul dengan wajah cemberutnya.
"Kamu kemana aja? aku minta jemput sama kamu dari tadi sore tapi kamu menghilang," kata Eddel yang ditujukan pada Tila.
Tila yang sedang menyesap air putih di dalam gelas, menatap adik iparnya dengan tatapan tak mengerti. Memangnya kapan mereka membuat janji ia akan menjemputnya? Batin Tila bertanya-tanya.
"Maksud kamu apa, Eddel?" Winar menatap putrinya dengan tatapan tak mengerti.
"Tadi sore aku minta jemput Tila untuk jemput aku di rumah teman, Ma. Tapi, sampai malam begini dia enggak datang." Eddel mengangkat bahunya. "Aku sampai nunggu berjam-jam. Tapi, yang ditunggu lagi enak makan," sindirnya keras.
Aris dan Adam mengerut kening heran. Sejak kapan Eddel mau diantar jemput oleh Tila? Mengingat Eddel adalah orang yang juga menentang pernikahan Adam dan Tila.
"Kapan kamu meminta jemput saya? Terus, kapan saya memiliki nomor telepon kamu?" Tila meletakkan gelas di depannya, kemudian ia menatap Eddel dengan tatapan datar.
Eddel tersentak sebelum kembali menormalkan ekspresi wajahnya. "Tadi aku sudah mengirim pesan ke kamu. Nomor telepon kamu aku dapatkan dari teman kerjamu." Eddel beralasan dengan cara yang tidak masuk akal menurut Tila.
Tila menyungging senyum sinis. "Alasan yang sangat masuk akal," tandasnya tajam.
"Kalau Eddel bilang dia minta jemput, berarti dia minta jemput. Kamu tidak perlu mencari celah untuk menyalakan putri saya." Winar menatap Tila sengit. "Kalau ada apa-apa dengan putri saya, kamu yang akan bertanggungjawab."
"Kenapa saya harus bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak pernah saya lakukan? Ibu masih--" Tila menatap Winar dengan tatapan ragu. "Waras?" tanyanya dengan suara yang ia buat sepelan mungkin.
"Kamu--"
"Ma, cukup. Ini di meja makan, bukan tempat untuk berdebat," sela Aris pada istrinya.
"Tapi dia melawan, Pa. Dia berbuat kurang ajar," kata Winar tak terima.
Aris menghela napas berat. "Dia melawan karena kalian yang berusaha memfitnahnya. Lanjut makannya, jangan ditunda lagi."
Keheningan mulai menyelimuti ruang makan. Semua kembali fokus pada hidangan di hadapan mereka. Begitu juga dengan Eddel yang ikut bergabung. Niat Eddel adalah untuk membuat Tila dalam posisi terpojok. Namun, sepertinya Tila bukan lagi gadis yang mudah ia intimidasi.
****
Keesokan paginya, Tila bangkit dari tempat tidur langsung menuju kamar mandi. Tak lama pintu kamar mandi tertutup, Adam yang sejak tadi memejamkan mata kini mulai bangkit dari posisinya. Adam menatap pintu kamar mandi dengan tatapan tak terbaca, sebelum akhirnya ia menghembuskan napas dan turun dari tempat tidur.
Adam mengambil handuk di dalam lemari dan mulai mengetuk pintu kamar mandi di mana Tila berada.
"Cepat, aku juga mau mandi!"
Adam menggedor pintu kamar mandi diikuti dengan suara teriakannya.
"Sabar! Saya juga lagi mandi." Terdengar suara sahutan Tila dari dalam kamar mandi. Namun, sepertinya Adam menulikan indra pendengarannya. Pria itu terus menggedor pintu kamar mandi hingga pintu terbuka dan menampilkan sosok Tila yang tengah mengenakan handuk mandi.
"Bisa menunggu tidak? Saya barusan 5 menit dalam kamar mandi." Tila memelototi Adam.
"Aku juga mau mandi. Ada rapat penting pagi ini."
Adam tanpa perasaan mendorong Tila keluar dari kamar mandi dan ia sendiri masuk mengunci pintu dari luar hingga Tila tidak bisa masuk.
"Dasar sinting!" maki Tila kasar.
Malas berdebat dengan Adam, Tila akhirnya memutuskan untuk segera mengganti pakaiannya dengan pakaian kantor. Tanpa menunggu lama setelah berpakaian, Tila segera mengambil tas dan melangkah keluar dari kamar.
"Saya berangkat, Bi. Tidak perlu sarapan," pamit Tila. Setelah itu Tila berlalu pergi masuk ke dalam mobilnya hingga mobil melesat keluar dari pagar rumah Aris Tirtando.
Selang 20 menit kemudian, Adam turun dengan setelan rapi yang melekat pada tubuhnya. Adam mengedarkan tatapannya ke penjuru ruang makan dan sekitar, namun tidak menemukan keberadaan Tila.
"Dimana wanita itu?" Adam bertanya pada Sari yang baru saja meletakkan secangkir kopi untuknya.
"Wanita siapa, Tuan?" Sari menatap Adam dengan tatapan bertanya. Sementara yang ditatap hanya mendengus sebal.
"Tila. Siapa lagi yang ingin saya tanyakan." Adam mendengus menatap Sari dengan tatapan datar.
Sari menelan ludahnya sebelum menjawab jika tadi Tila sudah berangkat ke kantor dengan menggunakan mobilnya.
Mendengar penjelasan Sari, ekspresi wajah Adam terlihat dingin dan kaku. "Dasar wanita tidak sopan. Tidak punya aturan," ucap Adam dingin.
Sari hanya menatap majikan tanpa bicara. Menurut Sari orang-orang di dalam rumah ini memang sangat aneh.