BAB. 1. BAWALAH AKU! (bagian 2)

1122 Words
Kamar sempit para pekerja. “Berburu Hiu?! “ Suara Nato dan Zyeko seperti petir. Suara keduanya  terdengar menggelegar karena kombinasi perubahan pita suara-pertumbuhan jakun- ditambah   tekanan shock. “Ya, kawan-kawan. Jadi, menurut kalian,  aku harus bagaimana?” tanya Xheira dengan suara lemah. Wajahnya masih pucat.  Wajah Xheira masih belum memerah ke warna normal. Tanda bahwa Xheirapun masih tertelan kaget. Xheira  menatap Kaila yang hanya diam. Oh bunglon yang jenius… katakanlah sesuatu. Ide cemerlangmu… apa kau punya ide membuat senyawa kimia dan menyebarkannya ke laut lepas membuat semua monster di sana menjadi jinak seperti si meong. Oh… jangan diam saja!…. yayayaya lebih baik kamu diam, karena kalau kau bicara tentu yang kauucapkan pertama kali adalah tentang ketololanku. Xheira gemas dengan semua itu. Dia menatap gemas sahabatnya.  Kaila memang seorang mansis, manusia sintesis, manusia hasil rekayasa para ‘penciptanya’. Kondisi Kaila  yang mansis tentu saja menjadi rahasia mereka berdua, sebab, keberadaan mansis selalu mengundang kecemburuan, kedengkian, kekhawatiran sosial. Masyarakat belum sempunahnya menerima kehadiran mansis. Karena reaksi sosial yang selalu beragam seperti ini, Kaila menjadi pribadi yang selalu waspada dan lebih tenang, setidaknya dibanding Xheira. Mendengar berita itu Kaila jauh lebih tenang, dibanding dengan Zyeko dan Nato. Bukankah dirinya sudah terlatih mendapat kejutan-kejutan dari Xheira? Kaila merespon berita itu dengan hanya menyesap the wangi melatinya. “Batalkan saja!” kata Nato. “Ya, setelah kita batal menghadapi kebuasan Hiu , lalu kita berhadapan dengan Zhorak, Jangan lupa dia seorang putra Byjak.” Suara Zyeko langsung lesu mengingat dengan siapa Xheira berurusan. Adakah orang yang tidak mengenal Byjak? Ketua  dari dunia Hitam sekaligus orang terpandang di dunia putih. Siapa yang mau berurusan dengannya? Menghadapi Byjak dengan segala kekuatannya? “Ah… untung hanya dia (si culun ini) yang melakukannya. Bukan kita.” Zyeko menarik nafas, dan melakukan gerak tepuk tangan ‘tos’ dengan Nato.  Tentu saja ini membuat Xheira melotot. Percuma mengharapkan mereka! Ternyata tak ada teman sejati di kamar ini. Tak juga si bunglon itu. Pikirannya  mendadak gelap. Tiba-tiba Supertele itu menyala secara otomatis. Biasanya ini dilakukan oleh pihak manajemen HYDROMATIK untuk pemberitahuan/pengumuman penting. “Tong-Ting-Tong, perhatian untuk semua warga HYDROMATIK. Berita ini harap disimak. Dan diwaspadai. Berita ini berasal dari daratan China. Di daerah perbatasan China-Siberia telah terjadi wabah yang mematikan. Diduga wabah tersebut adalah hasil dari pengembangan senjata biologis yang berhasil disusupkan ke daerah konflik oleh pihak produsen. “ Monitor Supertele itu memberi gambaran daerah konflik sebelum terjadinya konflik, dan wabah. Sebuah daerah pertanian yang indah. Lebih seperti surga dunia yang tak tersentuh polusi dan tetek bengek teknologi yang mencemaskan. “Wabah ini menyerang orang sehat. Gejalanya dimulai dengan rasa panas seperti terbakar di kepala. Radang sampai merah di mata-tenggorokan—lidah. Radang itu sampai mengeuarkan bau busuk yang tidak alami.  Kemudian pasien akan mengalami bersin dan batuk, diare, muntah, dan sekujur tubuh kejang.” Gambaran Surga yang damai digantikan dengan gambaran perang. Bom-bom penghancur yang tiba-tiba berjatuhan di surga dunia itu menghancurkan segala yang tadinya indah. Bom itu berjatuhan tanpa kita tahu siapa –yang telah menjatuhkannya. Hujan bom itu nampak vulgar , mengabarkan kematian yang mendadak. “Kulit penderita menjadi pucat dan dipenuhi oleh benjolan bisul. Tenggorokan terasa panas dan terus-terusan merasa haus. Penderita akan meninggal dunia pada hari ke tujuh atau ke delapan.” Gambaran perang itu berganti dengan orang-orang yang berjatuhan dimana saja mereka berada. Mengalami sakit. Dan penderitaannya begitu mengerikan siapa saja yang menyaksikannya.  Wabah tersebut meluas dengan sangat sangat cepat. Status bahaya pandemi yang diberikan di daerah konflik membuat Dewan Keamanan Dunia (DKD) memutuskan untuk melakukan eradikasi secara radikal [1]di daerah konflik setalah praktek karantina daerah wabah tidak berhasil dilakukan. Lalu gambaran bangkai ternak dan manusia berserak di mana-mana, orang-orang yang tarik ulur dengan sang pencabut nyawa itu, berubah dengan gambaran gedung-gedung hunian sekelas apartemen mewah dihancurkan dengan dinamit. Para pasukan Dewan Keamanan Dunia berseragam ala astronout berkeliaran memasang peledak. Melakukan pengasapan dengan kimia ‘terkejam’nya, melakukan pembakaran. Menghancurkan semua yang telah hancur-compang camping karena perang. Demikian sodara-sodara pengumuman ini diberikan. Walaupun Dewan Keamanan Dunia telah melakukan eradikasi radikal, tapi bila ada siapapun yang dicurigai mempunyai gejala yang sama harap melapor ke pusat medis HYDROMATIK, demi berjalannya terus kehidupan yang harmonis di HYDROMATIK yang kita cintai ini. Salam Nenek.” Gambaran  itu ditutup dengan sebuah pemandangan yang memilukan. Surga itu tak ada lagi. Yang ada adalah reruntuhan gedung, bangunan hangus. Hutan hujan  yang dulu terhampar melumut hijau sejuk kini tak ada lagi. Hutan itu seperti baru saja tercelup dalam neraka. Pohon pohon yang tak tak terbakar habis, mendadak menjulang hitam bercapang kerontang. Faunanya berserak gosong. Orang-orang yang tadinya digambarkan mengais hidup kini tinggal tengkorak saja. Hutan pertanian, kini tak ada lagi. Semua dapat membayangkan baunya. Bau busuk, amis darah, dan panggangan daging yang menggosong. Menusuk hati semua yang melihatnya. Mengiris kemanusiaan yang kian pupus tertelan perang karena keserakahan.            “Ya Tuhan…” desis semua orang di kamar itu bersamaan. Pemandangan yang baru mereka saksikan itu, sulit untuk dipercaya baru saja berlangsung            “Eradikasi radikal?” tanya Xheira ngeri membayangkannya.            “Huh, mereka hanya mengganti istilah dengan GENOSIDA.” Kaila bicara dengan kecut mengingat di sana memang ada etnik yang sering membuat para pemain penting dalam percaturan politik dunia, kebakaran jenggot.            “Sebenci itukah para Zhirac terhadap kaum Sha?” Zyeko masih belum percaya.            “Ya Tuhan…” desis Nato si hati lembut. Dirinya betul-betul bergetar menyaksikan kengerian itu.            “Jika telah dilakukan eradikasi radikal, kenapa harus dikeluarkan peringatan ini?” tanya Zyeko tak mengerti.            “Itu artinya mereka khawatir ADA YANG SELAMAT dalam pembasmian itu.” Kata Kaila mulai dengan analisisnya.            “Mungkinkah ada yang selamat?” Xheira seolah tak percaya kemungkinan itu setelah menyaksikan eradikasi radikal yang betul betul radikal.            “Ya. Artinya yang selamat itu juga menyelamatkan kuman yang dibawanya.” Kata Kaila menjelaskan. Zyeko, Nato, Xheira baru mengerti.            “Kuman?” tanya Zyeko bergidik. “Jadi si selamat menjadi agen penyebar wabah baru?”            “Ya TUHAN!” Nato terkulai lemas di tempat tidur.            “Bagaimana mungkin, Kaila?” Xheira masih tak ingin percaya. Dia mencoba membangkitkan semangat hidupnya dengan pertanyaan optimis.            “Dalam tayangan itu, kalau kalian perhatikan, tak satupun anggota tentara Dewan Keamanan Dunia, pelaku GENOSIDA itu melakukkannya di gorong-gorong. Gorong-Gorong adalah komponen utama pembangunan setian daerah bukan?” kata Kaila melihat kemungkinan tempat yang selamat dari pembakaran atau pemboman.            “Ya, Tuhan!” Xheira menutup mulutnya.            Jelas sekali analisa Kaila mematahkan semua harapan yang ada di sana. Harapan bahwa tak ada seorangpun yang mampu menjdi hospes[2] kuman itu. Benarkah tak ada seorangpun yang berharap bahwa tak ada yang selamat dari daerah konflik itu. Kemanakah hati nurani mereka? [1] Eradikasi radikal=pembasmian secara radikal. Proses pemutusan siklus kuman-hospes-manusia dengan cara membasmi semuanya! (termasuk dengan manusia sehat yang memungkinkan sebagai hospes-tanpa gejala) [2] Hospes = mahluk hidup yang berperan sebagai pembawa kuman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD