PROLOG

505 Words
                Mummikah ia? Matanya hanya menatap pasrah.  Nafasnya terengah menggapai setiap molekul O2 dari udara. Sesekali terdengar getaran tersiksa dari tenggorokannya. Menggemakan penderitaan.             “Eeeuuurrrgghhhh….,”             Mulutnya menganga mengeluarkan ribuan kata tapi yang keluar hanya erangan tanpa arti.  Bola matanya berputar-putar  mencari cahaya hidup yang tertutup oleh bayangan hitam, tuan     malaikat pencabut nyawa. Telinganya yang dipenuhi bunyi gemuruh tak menentu menangkap samar pesan si bayangan hitam.:             ‘Oke! Waktunya telah tiba, bersiaplah!’             Tidak, jangan sekarang… Oooooh Shakeera… mendekatlah kepadaku! Peluk! Peluklah aku dan jangan lepas lagi! Biarkan waktu yang memisahkan kita. Peluk aku! Aku ingin mencium baumu tapi bukan untuk terakhir  kali… ya, Tuhan… izinkan aku…             Jarinya yang terbalut isolator bergerak, ingin sekali ia mengangkat tangannya. Tapi tak mungkin. Setelah lama segala ototnya tak mampu bekerja lagi.             Wajah wanita cantik di hadapannya tak kalah mengenaskan. Sebuah lukisan wajah yang dipenuhi badai kesedihan-kekalutan-kekacauan.  Dalam hitungan hari membuat wajahnya menua 10 tahun. Tubuhnya mengurus. Kering.  Karena lelah fisik dan mental menambah kerutan di wajahnya. Juga ketiadaan jumlah  air ‘normal’ yang mampu menopang keseimbangan cairan tubuhnya.             Bibir kering dan pecah Wanita itu terkatup. Air matanya menggenang.             “Aku… aku tak akan pergi… “ Wanita itu melangkah mendekat. Tapi kesadarannya menahan langkah berikutnya.             “Ya, … maafkan aku sayang… DEMI ANAK KITA…” suaranya lirih. Rapuh. Hancur. Menghancurkan semua yang hidup.             “Euuurghhhhr….” Suara itu lagi. Kalimat seribu kata tanpa makna, lenguhan dari balik kain isolator. Oooooooh…. ANAK KITA!…. kenapa aku baru ingat? Pergi cepat sayang! Pergi! Selamatkan semua yang tersisa. Hidupkan ia untuk menggantikan yang musnah! YA! Aku akan mati dan anakku akan hidup!              CEPAT PERGI! SELAMATKAN YANG TERSISA!             Tapi percuma, semua kata-kata itu seperti hilang. Dari mulut si sakit yang keluar hanyalah erangan berulang-ulang.  Membaurkan arti rasa sakit dan kata-kata perintah-permohonan- yang sangat mendesak.             “Sayang… aku tak bisa lebih dekat lagi… dan waktu….”             “Eurghhhh…” CEPAT!             “Maafkan aku Sayang.” Wanita itu melemparkan sapu tangannya ke tangan tubuh Zombi itu.             “Selamat tinggal sayang! Smoga Nenek memberikan jalan yang terang .”             Tubuh wanita itu berbalik. Melangkah pergi menjauh. Meninggalkan ia yang terbaring pasrah menanti ajal. Wanita itu manahan diri untuk tak menengok lagi ke belakang. Kuatkan hati! Selamatkan yang terisa! Wanita itu keluar dari rumah tabung. Dia terpaku menatap pemandangan di luar.             Langit hitam kelam  perlahan mulai berpendar, memerah-marah, mengabarkan semua semburan cahaya api yang menjilat-jilat. Suara alat pengasap menderum di mana-mana. Orang-orang berpakaian antiradiasi berlalu lalang berlari tak tentu arah. Bunyi sirene tanda bahaya berdengung tak henti-henti menimpa bunyi gelegar  bom pemusnah gedung-gedung yang sengaja diruntuhkan. Bunyi-bunyian itu masih ditambah dengan  lengkingan sirene dari mobil ambulan. Bunyi-bunyian yang tumpang tindih dengan suara-suara erangan-tangis anak-teriakan-teriakan berulang:             “Perhatian-perhatian! Awas-awas! Prosedure tiga! Prosedure tiga!”             Wanita itu setengah berlari  menuju reruntuhan gedung yang baru saja di runtuhkan. Dia tak peduli dengan teriakkan orang-orang di sana yang mengingatkannya.  Lengkengin sirine. Derum mesin. Dia tak peduli gedung itu dalam proses pemusnahan. Semua pikirannya hanya dikuasai beberapa kalimat komando:             Ke luar  dari  sini! Bagaimana-pun caranya. Selamatkan yang tersisa!             Lalu pandangannya gelap. Gelap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD