Bab 1. Penghianatan

1084 Words
"Pratama, please!" Lirih Dinda dari balik tirai. Tangannya membungkam mulutnya sendiri dengan erat, sedang matanya melotot. Air matanya mengalir. Berharap apa yang dilihatnya ini hanya mimpi, khilaf atau apapun itu. Eh tunggu, apa dia akan memaafkan mereka jika ini benar-benar dilakukan karena hilaf? Ah entahlah. "Ah, Gracia! Kamu membuatku gemetar." Tak menjawab, wanita yang dipanggil Gracia itu hanya tersenyum sinis kemudian memainkan area bawah Pratama dengan lebih liar. Tak tahan pria itu segera menghentikan. "Sudah cukup!" "Kenapa?" "Buka bajumu!" Gracia semakin tersenyum lebar, ia kira ia akan ditolak oleh anak dari orang kaya ini, siapa sangka ternyata dia menginginkan lebih. "Ada apa? Jangan bilang kamu tidak pernah melakukannya dengan wanita sok polos itu!" Enggan membahas perihal kekasihnya, Pratama segera menimpal. "Aku ingin melihat tubuh sexymu!" "Ada apa? Jangan bilang kamu juga tidak pernah diberi melihat tubuhnya." Gracia tersenyum mengejek. Berdiri kemudian perlahan naik ke atas tubuh Pratama yang kebetulan sedang telentang. "Baiklah, kalau begitu aku akan memperlihatkan kepadamu bagaimana tubuh sexy itu." Melepas semua bajunya dan menuntut tangan Pratama agar menyentuhnya satu per satu. Tak lupa, Gracia juga bergoyang manja di atas tubuh pria itu. Tak tahan dengan semua itu, Dinda yang sejak tadi menangis dalam diam itu kemudian memutuskan untuk pergi. Namun sial, tirai yang sejak tadi melindunginya ketarik hingga menimbulkan sedikit suara. Tapi untung, dua manusia sialan itu tidak bereaksi. Entah benar-benar tidak mendengar atau memang mendengar tapi tidak menghiarukannya karena tidak ingin di ganggu. Dinda tidak peduli. Wanita cantik tinggi semapai itu berusaha lompat ke balkon yang ada di sampingnya. Kemudian menjatuhkan tubuhnya dan membungkuk di sana. Entah kesalahan besar apa yang pernah Dinda buat sampai dia diberi cobaan sebesar ini. Di hari menjelang pernikahan, seharusnya dia bahagia bersama Pratama kan? Bukan malah mendapatkan penghianatan seperti ini. Apa mereka tidak berfikir jika dia akan masuk ke kamar Pratama untuk mengunjunginya? Ya, Dinda memang memutuskan untuk pisah kamar sebelum mereka benar-benar sah menjadi suami istri. Ya, dia akui dia memang munafik. Sok polos dan sok suci. Tapi menangis ketika kekasihnya tak tahan dan memilih wanita lain. Lalu apa yang akan ia lakukan setelah ini? Melanjutkan pernikahan yang sudah sembilan puluh sembilan persen ini, atau membatalkannya dan menahan malu? Ah entahlah! Dinda hanya ingin menangis saja saat ini. Cukup lama Dinda menangis ternyata cukup membuat matanya pusing. Tak lama suara derap langkah terdengar. Bukannya bersembunyi atau kabur, Dinda yang mengetahui jika yang datang itu adalah seorang pria memutuskan untuk segera menyerang pria itu. Ia bahkan mencium pria itu dan mendorong tubuh mereka hingga jatuh di atas kasur. "Apa yang kamu lak-?" Tak sempat bicara, Dinda kembali menciumnya lebih brutal. "Katakan padaku! Apa menurutmu aku tidak sexy?" Entah dengan kesadaran yang masih ada atau tidak. Dinda membuka bajunya sendiri, kemudian menuntun tangan besar pria itu agar menyentuh setiap bagian tubunya. "Apa kamu gila!" Hendak pergi dan menghentikan semua ini, Dinda segera memeluk pria itu dari belakang. "Aku mohon," lirih Dinda dengan mata yang hampir gelap. Pria itu terdiam sebentar, meraup wajah Dinda dan menatap wajahnya lekat-lekat. "Apa kamu yakin?" Dinda mengangguk. "Baiklah, aku tidak memaksamu tapi kamu sendirilah yang datang sendiri dan menyuguhkannya padaku," kata pria itu kemudian mencium Dinda dengan penuh perasaan dan kelembutan. Tak lupa juga ia sentuh apa yang wanita ini minta tadi. Ditengah kegiatan panasnya, pria ini beberapa kali menatap wajah Dinda untuk memastikan. Kemudian hanya tersenyum tipis dan menikmati apa yang telah tuhan berikan padanya. Keesokan harinya. Dinda bangun dengan sakit di seluruh tubuhnya. Tak sebanding dengan sakit di tubuhnya, mata Dinda melotot mendapati dirinya tidur bersama pria asing. Dengan tubuh tanpa sehelai benang pula. "Astaga! Apa yang telah aku lakukan?!" Dinda memekik. Dinda memang kurang sadar akibat pusing karena terlalu lama menangis semalam, tapi ia tidak lupa ketika ia terus mendesah dan meminta pria ini terus melakukannya. Aarrgghh gila! Tidak ingin terus menambah masalah, Dinda segera mengambil bajunya dan kabur dari sana. Di aula hotel lantai satu. Pesta pernikahan akan segera di gelar. Semua para tamu undangan telah hadir, bahkan kedua keluarga mempelai pengantin sudah berdiri di sana, menunggu pengantin wanita yang tak kunjung datang. Sementara Pengantin pria? Tentu saja sudah hadir dan menunggu kekasihnya tiba. Mengira tidak terjadi apa-apa. Dibalik kerumunan, Dinda melihat Pratama masih sempat-sempatnya mencuri pandang dengan wanita itu. Entah sudah seberapa muak Dinda saat ini. Ia maju dan menghampiri semua orang yang menunggunya. "Nak, apa yang terjadi? Kenapa kamu belum berdandan?" Bibi sebagai pihak keluarga perempuan segera menghampiri sepupunya. Sedangkan ayah dan ibu tirinya Dinda yang harus bersusah-susah datang ke sini itu hanya diam. "Bibi aku tidak ingin menikah dengannya, hiks!" Dinda menangis, sementara Pratama yang mendengar hal itu segera menghampiri kekasihnya. "Sayang, apa yang kamu katakan? Sebentar lagi kita akan segera menikah. Ayo, cepatlah berdandan!" "Lepaskan aku!" bentak Dinda. Para tamu undangan mulai saling tatap. Saling tanya, perihal kenapa dan apa yang sebenarnya sudah terjadi. "Sayang kamu kenap-?" "Kubilang lepaskan aku! Aku tidak ingin menikah dengan seorang penghianat sepertimu!" Nyonya Pratama segera menghampiri calon menantunya. "Sayang kamu yang kamu katakan? Putraku begitu mencintaimu mana mungkin dia menghianatimu, Nak!" kata Nyonya Pratama dengan begitu lembut. Tak lama sosok yang sejak tadi membuat Dinda muak ikut menimpal. "Benar, Kak. Kak Pratama itu begitu mencintaimu, mana mungkin dia menghianatimu," katanya begitu terdengar menjijikan. Kakak? Betul, dialah Gracia. Adik tiri Dinda, juga orang sama yang berhubungan dengan calon suaminya semalam. Tidak, bukan calon suaminya. Tapi mantan kekasih yang sudah dia buang lebih tepatnya. "Apa kamu yakin dia tidak tidur bersamamu semalam?!" kata Dinda mengintimidasi. Gracia yang cukup penakut berhasil terintimidasi, sementara ibunnya yang kebetulan berdekatan dan mandendengarkan ucapan Dinda mulai tersulut emosinya. "Jaga ucapanmu! Anak saya ini adalah anak yang cukup pintar dan terhormat. Jadi dia tidak mungkin melakukan hal yang kamu tuduhkan !" Dinda tertawa sinis. Cukup pintar dan terhormat dia bilang?! Selama ini Dinda selalu diam ketika mereka selalu merebut tugas-tugas kuliah dan mengklaim sebagai miliknya. Tapi kali ini tidak akan, bukan untuk mengambil kembali tapi untuk memperjelas jika ia tidak selemah yang mereka bayangkan. "Oh ya?! Apa kamu yakin putrimu seterhormat itu Siska?!" Sudi memanggilnya ibu apalagi mama, Dinda memalingkan wajah kemudian melempar hardisk yang berisi video semalam kepada staff untuk diputar di layar. Sementara itu Siska meradang. "Pah, lihatlah putrimu itu, dia mulai lagi. Dia bahkan tak segan memanggil namaku di depan banyak orang?!" "Dinda, apa yang kamu lakukan?! Cepat minta maaf!" Malas menghadapi drama yang selalu terjadi seperti di rumah. Dinda segera pergi menghampiri Pratama. "Aku harap kamu punya alasan yang tepat untuk menjawab semua pertanyaan mereka!" kata Dinda sebelum akhirnya pergi. Meninggalkan Pratama yang kebingungan serta video yang mulai berputar. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD