Satu hari setelah kejadian itu Dinda mulai kembali bekerja. Ya, dia tidak sekaya itu sampai bisa menggalau selama yang dia mau. Apa Dinda tidak sedih? Tentu saja dia sedih. Pratama Adiyudha atau yang lebih dikenal sebagai Pratama itu adalah cinta pertamanya. Orang yang selalu mensupportnya dan juga orang yang selalu ia support. Tapi Dinda sama sekali tidak mengerti kenapa Pratama bisa sampai menghianati cinta mereka. Tiga tahun menjalin hubungan, ternyata tidak bisa menjamin seseorang itu setia. Tak ingin terus mengingat Pratama, Dinda segera memblokir kontak pria itu dan bergegas mengendarai motornya.
Tiba di kantor, semua teman kantor berhamburan menghampirnya. Mereka heboh membicarakan perihal pernikahannya kemarin, tentang bagaimana nasib kedua penghianat itu dan apa yang akan Dinda lakukan setelahnya. Jujur, Dinda sendiri tidak tahu apa yang terjadi pada mereka setelah itu karena ia benar-benar pergi dan istirahat. Sementara apa yang akan ia lakukan setelah ini Dinda belum tahu .Hanya berharap ia menemukan kebahagiaan yang lebih setelah ini.
Tak lama, kepala staff memberi informasi jika akan ada bos pusat yang akan berkunjung ke mari. Semua orang diminta berkumpul untuk memberi penghormatan sekaligus apel pagi.
"Hey, Din. Menurutmu, kenapa bos pusat berkunjung ke sini ya?!"
Wanita bernama Nindi segera mendekati sahabatnya.
"Ngga tahu, aku kan ngga masuk kemarin. Kamu sendiri ngga tahu?" Dinda balik bertanya.
"Ngga, tapi kata Bu Mega sih bos itu mau cari karyawannya yang punya kesalahan sama beliau."
"Kesalahan?"
"Hm."
Tak lama wanita yang mereka sebut Bu Mega itu segera berteriak.
"Hey apa kalian budek ya! Cepet kumpul!"
"Eh iya, Bu, maaf!"
Dinda dan Nindi sempat saling lempar pandang dan tertawa, sebelum kemudian akhirnya lari ikut kumpul bersama dengan karyawan lain. Belum sepuluh menit berdiri dan mendengarkan tausiah Bu Mega yang menurunya membosankan, Dinda segera mendekati sahabatnya.
"Nin, gue ke toilet dulu ya, kebelet nih!"
"Kebelet atau ogah dengerin tausiah?"
Yeh, tau aja ni anak! Sebenarnya Dinda memang sedikit malas mendengarnya ditambah kebelet juga. Jadi ya, pas sih.
"Kebelet! Nanti infoin ya apa aja yang penting!"
"OK!"
Buru-buru, Dinda pun segera lari meninggalkan lapangan. Namun sial, karena kurang memperhatikan jalan Dinda tak sengaja menabrak seseorang.
"Maaf, maaf, aku tidak senga-."
Belum sempat Dinda bicara, ia mendapati wajah itu.
"Kamu?!"
Hendak kabur, tangan Dinda segera dicekal.
"Mau ke mana hm?"
"Tuan, apa yang kamu lakukan? Aku rasa kamu salah orang?!"
Hendak buru-buru pergi tapi tidak bisa. Semakin Dinda ingin lepas semakin kuat pria itu mencekalnya.
Ah, sial! Makan apa sih ni orang kuat bener. Otot kawat tulang besi teh beneran ini mah haha!
Ucapan pria itu sukses menghentikan sedikit tawa Dinda
"Kamu yakin aku salah orang?!" katanya pelan tapi dingin dan mengintimidasi. Wajahnya ia dekatkan ke wajah Dinda. Supaya Dinda bisa melihat dengan sangat jelas sepertinya.
Dinda meneguk saliva kuat. Posisi ini begitu membuatnya canggung. Sungguh, sebenarnya Dinda tidak sepikun itu sampai melupakan pria yang ada di hadapannya. Lagipula bagaimana lagi ia harus bersikap? Mengakuinya kemudian minta maaf?
Ah, Dinda tidak yakin pria ini akan melepaskannya begitu saja.
"Kamu harus bertanggung jawab!"
Nah kan.
"Tanggung jawab apa?! Kukatakan sepertinya anda salah orang tuan!"
Pria itu semakin mendekat, hanya menyisakan jarak beberapa cm saja.
"Kamu ingin aku mengeluarkan buktinya hm?"
Bukti apa?!
Kelabakan dan tak ingin terus di pojokan Dinda ada ide.
"Oke, oke aku akan bertanggung jawab. Tapi tolong lepaskan aku, biarkan aku masuk dulu, kebelet nih!"
Tak menjawab, pria itu hanya menaikkan satu alisnya.
"Serius, percaya deh. Sebentar, ya!"
Tak membuang waktu, Dinda yang mendapati tangan pria itu mengendur segera masuk ke toilet dan buang air sesuai ucapannya.
Cape sekali rasanya harus tahan nafas dan tahan pipis di depan pria itu.
"Huh!"
Dinda menghela nafas lega. Mencuci tangannya dan mengintip keluar. Nasib baik ternyata masih berpihak padanya, pria itu sedang berbalik menerima panggilan. Tak ingin membuang waktu, Dinda segera lari dan kabur dari sana.
"Dadah, Tuan." teriak Dinda sebelum akhirnya benar-benar pergi dan menghilang.
Pria itu hanya tersenyum devil kemudian pergi darisana.
Tiba di lapangan, Dinda melihat semua orang berbalik hendak bubar. Dengan segera Dinda mengejar sahabatnya.
"Nindi, udah beres? ko cepet?"
"Iya nih, gue kira tu bos bakal menye-menye dan lambat. Ternyata keren banget. Pidatonya singkat, padat dan jelas."
"Iyakah?"
"Dan ada satu hal lagi yang penting lho Din."
"Apa?"
"Dia tuh guanteng banget asli! Kayak seorang taipan yang ada di film-film itu lhooo."
"Masa?"
Dinda mengejutkan kening tak percaya.
"Iya, ih. Bu Mega juga sampe klepek-klepek tahu. Salah sendiri ngga liat. Rugi kan lo!"
Dinda tak menanggapi, pikirannya tiba-tiba kembali pada pria itu. Mungkinkah dia terlalu jahat? Haruskah dia menemuinya dan meminta maaf? Ah sudahlah dia akan memikirkan itu lagi nanti.
"Ya ya. Yaudah yuk balik ke ruangan."
"Hayu!"
Kedua wanita itu akhirnya kembali ruangan dan bekerja. Baru saja duduk, Bu Mega yang merupakan kepala bidang segera mengumpulkan orang dengan menepukkan tangan.
"Lihat kesini semua! Ingat jadwal presentasi kita hari ini?"
"Ingat, Bu!" Para karyawan menjawab serentak.
"Bagus! Kalian tahu? Di presentasi kali ini, Tuan muda Lucian langsung yang akan menilai prsentasi kita."
"Wah!"
Suasana dalam ruangan tiba-tiba riuh. Bagaimana tidak, sejak kedatangan Tuan Lucian yang katanya CEO paling muda di negeri ini itu sukses menghipnotis para karyawan. Tua muda, laki-laki maupun perempuan. Mereka semua terpana dengan ketampanan dan sikap dingin tapi menarik perhatian itu.
"Tuan Lucian?" Dinda yang tidak tahu melongo.
"Haish, Dinda. Itu lho bos kita yang ganteng itu."
"Oh!"
Tak peduli dengan sikap dingin Dinda yang mungkin masih patah hati akibat kegagalan pernikahannya, semua karyawati berbalik untuk mempersiapkan diri termasuk Bu Mega sendiri. Sementara Dinda kembali duduk dan hanya mengatur nafas.
"Ngga galak kan?" tanya Dinda di tengah perjalanan menuju ruang rapat.
Nindi dan yang lainnya terkekeh, "Galak juga gapapa kok asal ganteng. Bener, kan, Mel?"
"Iya," jawab Amel yang diikuti suara tawa. Sementara Dinda sendiri hanya diam.
Untuk apa ganteng tapi galak? Lebih baik baik hati. Gapapa sedikit jelek, kan? tanya Dinda pada dirinya sendiri.
Tiba di ruangan, semua karyawan dari bidang lain sudah hadir. Semua teman Dinda bersiap di posisinya masing-masing. Begitu juga dengan Dinda yang ditugaskan sebagai moderator. Sembari menunggu, mereka menyiapkan beberapa lembar kecil untuk catatan. Mengingat jika bos pusat tersebut katanya sangat teliti dan tidak kenal ampun jika ada kesalahan.
Tak lama pintu ruangan kembali terbuka. Semua yang hadir berdiri guna memberi hormat. Sementara Dinda yang melihat pria itu datang segera lari dan mendorongnya.
"Kamu! Apa yang kamu lakukan di sini?!" kata Dinda memekik.
Tak menjawab dan hanya tersenyum tipis, Dinda kembali bicara, "Ya, ya aku mengaku salah. Tapi ayolah jangan ke mari aku sedang bekerja sekarang." bisiknya.
Syok sekaligus tak terima dengan perlakuan Dinda, Bu Mega segera berdiri dan menghampiri mereka.
"Dinda! Apa yang kami lakukan? Beliau ini Tuan muda Lucian. CEO muda pemilik perusahaan kita."'
"What?!"
Bersambung...