5. Aura Yang Berbeda

1138 Words
Setibanya di perpustakaan, Rielle langsung duduk di salah satu meja paling pojok, lalu mengeluarkan ponsel dari tasnya. Ia membuka layar dan segera mengetik pesan singkat kepada Harven. "Ven, hari ini pulang, ya. Papa mau bicara sama kamu. Jadi jangan pulang malam-malam." Tidak butuh waktu lama, layar ponselnya kembali menyala dengan notifikasi pesan masuk dari Harven. "Ada apa? Kenapa tiba-tiba Papa mau bicara? Lo ngomong aneh-aneh apa ke Papa gue?" Rielle menahan napas sejenak. Ia mengetik perlahan, mencoba tetap tenang. "Gue cuma minta izin supaya kita bisa tinggal sendiri, enggak satu rumah sama Papa Mama. Supaya kita bisa lebih akrab dan lebih bertanggung jawab sebagai pasangan." Balasan Harven datang cepat dan seperti yang sudah diduga Rielle, isinya membuatnya ingin melempar ponsel itu ke lantai. "Siapa yang mau akrab sama lo? Bangun, udah jam berapa ini? Ingat, pernikahan kita hanya kontrak. Semua ini akan selesai begitu gue kerja di kantor bokap!" Rielle mendecak pelan, menggigit bibir bawahnya menahan emosi. Rasanya ingin sekali mengumpat atau memukul kepala Harven dengan kruknya, agar otak pria itu bisa berpikir lebih dari sekadar egonya sendiri. "Anak manja, pantas aja otaknya beku!" gumamnya pelan dengan ekspresi kesal. Untung saja ia sedang berada di perpustakaan, jadi tidak bisa melampiaskan emosinya dengan suara lantang. Ia mengetik balasan terakhir dengan tegas, walau tetap menjaga nada agar tidak memicu pertengkaran lebih besar. "Terserah kamu mau bilang apa. Yang penting hari ini kamu pulang dan temui Papamu. Bahas soal tinggal terpisah. Jawab saja sesuai yang tadi gue bilang, supaya kita bisa lebih akrab dan dewasa dalam menjalani pernikahan ini." Ia mengetik lagi, kali ini dengan nada menyindir yang halus tapi menyakitkan. "Kalau kita tinggal sendiri, kamu bisa bebas melakukan apa pun yang kamu mau. Tidak akan ada yang curiga kalau uang dari orang tua kamu ternyata kamu pakai buat ke klub tiap malam." Tanpa menunggu balasan, Rielle meletakkan ponselnya ke dalam tas. Ia tahu tidak akan ada ujungnya jika terus meladeni Harven. Pria itu akan terus bersikeras dengan pikirannya sendiri, seakan tidak pernah peduli siapa yang tersakiti di balik semua ini. Ia mengalihkan fokus ke materi yang akan ia ajarkan, mencoba menenangkan pikirannya. Ia membuka buku, membaca ulang poin-poin penting, dan mencatat ulang beberapa garis besar untuk disampaikan nanti di kelas. Ketika mengecek jam di pergelangan tangan, waktu menunjukkan 30 menit lagi sebelum kelas dimulai. Ia segera merapikan bukunya, memastikan semua materi sudah siap, lalu berdiri, menggenggam kruknya, dan melangkah keluar dari perpustakaan. Meski tubuhnya masih terasa berat, ia tetap melangkah tegak. Sebab Rielle tahu, tidak peduli bagaimana sikap Harven, ia tetap harus berdiri kuat di hadapan dunia. Termasuk hari ini, di hadapan kelas yang akan segera ia ajar. Ia menuju kelas di lantai tiga bukan hal yang mudah untuk Rielle. Tangga-tangga kampus menjadi tantangan tersendiri, terlebih dengan kondisi kakinya yang masih dalam proses pemulihan. Namun, ia tidak mengeluh. Setelah menghela napas panjang, akhirnya ia sampai juga di lantai atas. Di depan kelas, terdengar suara gaduh, canda dan tawa para mahasiswa yang belum sadar akan kehadiran pengajarnya. Saat Rielle membuka pintu, suara-suara itu sontak mereda. Semua mata kini tertuju padanya. Dengan tenang, Rielle berjalan menuju meja dosen. Ia meletakkan tas dan bukunya, serta menaruh kruknya di sisi tembok terdekat. Tatapannya menyapu seluruh kelas, lalu tersenyum lembut. "Selamat siang semuanya," sapanya ramah. "Siang, Kak!" jawab mahasiswa dan mahasiswi serempak. "Hari ini Pak Hadi Hirawan sedang berhalangan hadir. Jadi, saya yang akan menggantikan beliau untuk mengajar," ucap Rielle sambil membuka map materi. "Tapi ternyata Pak Hadi baru saja mengirim pesan, jika kelas hari ini akan kuis. Jadi, silakan siapkan kertas folio dan pena di atas meja. Yang tidak membawa, silakan tunjuk tangan." Semua tangan di kelas terangkat bersamaan, disertai suara tawa kecil. "Enggak ada yang bawa folio, Kak," ucap seorang mahasiswa, disambut anggukan dari yang lain. "Baiklah, saya akan bagikan kertasnya. Tapi sebelum itu, harap semua handphone dimasukkan ke dalam tas dan disilent, ya. Kalian tahu sendiri, Pak Hadi tidak suka ada yang main handphone saat ujian," ucap Rielle dengan ekspresi tegas namun tetap bersahabat. Ia mengambil beberapa lembar folio dari mapnya, menghitung jumlah baris, lalu membagikannya ke tiap baris paling depan untuk diteruskan ke belakang. Suasana kelas sedikit ramai dengan suara lipatan kertas dan gesekan kursi, tapi suasana tetap kondusif. "Gila, auranya Kak Rielle beda banget ya kalau lagi ngajar. Elegan tapi galak, men!" bisik seorang mahasiswa ke temannya yang duduk di sebelah Harven. Harven hanya diam. Tatapannya tidak lepas dari Rielle yang kini berdiri di depan kelas dengan cara bicara yang tenang dan percaya diri. Hari ini, Rielle tampil berbeda dari biasanya. Ia mengenakan blouse formal berwarna navy dengan celana bahan panjang, rapi dan profesional. Tidak ada lagi hoodie, kaos berkerah, atau celana kulot santai. Ini adalah sisi lain Rielle yang belum pernah Harven lihat sebelumnya. Rielle kemudian mulai mendiktekan soal. Tugas dibagi berdasarkan NPM, nomor ganjil dan genap mendapatkan soal yang berbeda. Semua mahasiswa mulai menunduk, menulis, berpikir. Sementara itu, Harven tetap memandang ke depan. Tapi bukan pada soal. Tatapannya tertuju pada sosok wanita yang sekarang sedang berdiri tenang dengan buku di tangan, memantau setiap sudut kelas. Rielle seharusnya menyampaikan materi hari ini, namun dosen pengampu tiba-tiba saja mengirim pesan dan meminta agar dilakukan kuis sebagai pengganti. Setelah semua mahasiswa mendapatkan soal, Rena duduk di meja depan. Meski membuka buku pelajaran, matanya tetap awas mengamati seluruh gerakan mahasiswa dan mahasiswi di kelas. "Pertanyaan kuisnya masih tergolong mudah," ucap Rielle tenang, namun tegas. "Coba ingat kembali materi yang sudah di pelajari sebelumnya. Jangan kejar nilai tinggi dengan cara mencontek. Fokus pada kejujuran." Suasana kelas mendadak lebih tenang, hanya terdengar suara gesekan pena di atas kertas. "Yang sudah selesai, bisa langsung mengumpulkan dan keluar kelas," tambah Rena. Seketika terdengar suara keluhan pelan dari beberapa mahasiswa. Mereka baru saja selesai menyalin soal, belum sempat berpikir panjang. Tidak mungkin sudah ada yang benar-benar selesai, kecuali memang ada yang sudah mendapatkan kunci jawaban sebelumnya. Rielle tersenyum menanggapi reaksi itu. "Saya hanya bilang begitu supaya kalian lebih semangat mengerjakannya. Tenang saja, waktu masih cukup panjang." Satu per satu mahasiswa mulai menyelesaikan kuis dan meninggalkan kelas. Namun perhatian Rielle atau lebih tepatnya, Rielle tertuju pada Harven, yang sejak awal hanya duduk diam di bangkunya. Tidak jelas apakah dia benar-benar sudah selesai, atau sedang menunggu contekan dari temannya yang lebih cepat keluar. Rielle bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju barisan bangku tengah tanpa menggunakan kruk. Langkahnya terdengar jelas, terbata dan tidak stabil. Sepatu fantofel kecil dengan hak tiga sentimeter yang ia kenakan menambah suara khas dari langkah pincangnya. Ia berdiri di sebelah Harven, melirik kertas folio di mejanya yang sudah penuh tulisan. "Sudah selesai, kenapa belum keluar?" tanya Rielle datar. "Belum," jawab Harven singkat, tanpa menoleh. Rielle tidak membalas. Ia kembali melangkah, namun langkahnya terhenti saat Harven membuka suara. "Udah tahu pincang, kenapa masih pakai sepatu hak dan jalan nggak pakai kruk?" Suara Harven terdengar cukup lantang, membuat beberapa mahasiswa yang belum keluar dari ruangan menoleh kaget.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD