Rielle kini terdiam, melamun, mencerna fakta-fakta baru yang terungkap. Jehan, pria yang ternyata bukan ayah kandung Harven, namun seolah memiliki kuasa atas setiap keputusan Harven. Pria yang selalu dibanggakan, selalu didengarkan, dan tampaknya menjadi panutan utama Harven hingga kini.
Dan jika benar kata Papa mertuanya tadi, bahwa Harven hanya akan menurut pada Jehan - Papinya, maka besar kemungkinan pernikahan ini pun merupakan hasil dari ide pria itu. Pernikahan kontrak yang tidak pernah benar-benar menjadi keinginan Harven, apalagi keinginannya sendiri.
Bukan Johan yang menjadi penggerak. Bukan pula Terresia, sang Mama. Dan sudah pasti, bukan dirinya. Semua ini, kemungkinan besar berasal dari satu nama yang kini terus menggema di kepalanya, yaitu Jehan atau Harven menganggapnya Papi.
Lamunan Rielle terhenti ketika Johan kembali membuka suaranya. "Rielle, jika boleh Papa tahu, kamu kenal Jeje dari mana?" tanya Johan dengan nada hati-hati, memecah keheningan di dalam mobil.
"Pak Jeje adalah guru SMP Rielle, Pa," jawab Rielle pelan. "Kami dekat sebagai guru dan murid. Beliau jadi guru pembimbing Rielle untuk olimpiade Matematika dan Fisika, mulai dari SMP sampai SMA."
Johan mengangguk pelan, tetapi wajahnya menyiratkan kebingungan. "Apa kalian pernah punya masalah, sampai Jehan memperlakukanmu dengan kasar seperti tadi?"
Pertanyaan itu membuat Rielle sedikit terdiam. Ia tahu, jika ia mengatakan yang sebenarnya, semuanya akan berubah. Tapi untuk sekarang, ia memilih jalan aman. "Tidak ada masalah apa-apa, Pa. Rielle dan Pak Jeje baik-baik saja. Mungkin, Pak Jeje hanya kaget. Mungkin juga kecewa melihat anak didiknya, yang seharusnya fokus belajar atau membangun karier, malah sudah menikah muda."
Rielle tersenyum kecil, mencoba mengalihkan suasana. Namun, Johan hanya menatap lurus ke depan. Jawaban itu belum cukup menjelaskan mengapa adiknya bisa semarah dan semenyakitkan itu. Ia mengenal Jehan. Setenang dan semanis apapun Jehan, ia tidak akan semarah itu tanpa alasan kuat.
Johan menarik napas panjang sebelum kembali bertanya, kali ini dengan nada suara yang lebih serius. "Oh, iya. Sebelum menikah, Harven pernah cerita soal kekasihnya, tidak?"
Pertanyaan itu membuat hati Rielle berdebar. Ia menoleh sedikit, menatap Papa mertuanya, mencoba mempertahankan senyum meskipun hatinya mulai tidak tenang. Belum cukup dirinya harus menerima kenyataan bahwa suaminya adalah keponakan dari mantan kekasihnya, kini Papa mertuanya bertanya tentang cinta masa lalu Harven.
"Tidak, Pa," jawab Rielle akhirnya. "Dia tidak pernah membicarakan siapa pun. Tapi, Rielle tahu dari teman-teman kampus, kalau Harven memang sudah punya kekasih sejak lama."
Johan diam sambil mengamati, kemudian ia kembali bersuara sedikit meninggi. "Mereka masih berhubungan?" tanyanya tegas, seolah sedang menginterogasi.
Tatapan tajam Johan membuat Rielle menahan napas sesaat. Namun, ia tetap berusaha tenang. "Sepertinya masih, Pa. Soalnya mereka sekelas, jadi ya, masih sering berinteraksi," jawab Rielle dengan senyum tipis yang dipaksakan.
"Jadi dia masih berhubungan dengan pacarnya? Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja!" suara Johan meninggi, jelas menahan amarah.
"Pa jangan marah dulu," ucap Rielle cepat, berusaha menenangkan suasana. "Wajar kalau mereka masih berkomunikasi karena mereka sekelas. Tapi untuk urusan pacaran, Rielle yakin, Harven sudah memutuskan hubungannya. Dia sudah menikah dengan Rielle. Tidak mungkin, bukan? Jika Harven masih menjalin hubungan dengan kekasihnya?"
Kata-kata itu keluar dari mulut Rielle dengan hati yang berat. Ia ingin percaya, ingin meyakinkan kedua mertuanya atau mungkin, lebih tepatnya, ingin meyakinkan dirinya sendiri.
Padahal dalam hati kecilnya, ia tahu kebenarannya tidak seperti itu. Harven masih bersama kekasihnya. Bahkan semalam saja, pria itu tidak pulang dan mengirim pesan agar Rielle menutupi keberadaannya.
Tapi untuk apa mengungkapkan semuanya?
Pernikahan ini hanyalah kontrak. Hubungan mereka tidak dibangun di atas cinta, hanya atas nama tanggung jawab. Maka bukankah lebih baik membiarkan Harven tetap bersama kekasihnya, setidaknya sampai kontrak mereka selesai?
Rielle melirik sekilas ke arah Johan. Untung saja Papa mertuanya itu sudah tidak marah lagi. Sekilas, pikirannya kini melayang kembali ke awal pernikahan mereka, betapa cepat dan tidak disangkanya semuanya terjadi. Ia dan Harven nyaris tidak saling kenal. Ya, Rielle memang pernah menjadi asisten dosen di kelas tempat Harven belajar, tapi itu hanya hubungan formal. Ia tidak pernah benar-benar memperhatikan siapa pria itu.
Andai saja kecelakaan itu tidak pernah terjadi, mungkin sampai saat ini ia tidak akan tahu siapa Harven Junian Himawan.
"Pa," panggil Rielle pelan setelah mereka saling diam di dalam mobil yang masih melaju.
"Ada apa, Rielle? Apa ada yang kamu butuhkan atau ingin kamu katakan?"
Rielle menggenggam ujung lengan bajunya, mencoba menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba menyeruak. "Aku... aku ingin bicara soal sesuatu. Boleh tidak kalau aku dan Harven mulai tinggal terpisah dari Papa dan Mama?" ucapnya hati-hati.
Johan menaikkan satu alis. "Maksudmu?" tanya Johan tenang, tapi tajam.
"Rielle pikir, mungkin lebih baik jika Rielle dan Harven mulai belajar hidup mandiri sebagai suami istri. Kami jadi bisa lebih akrab, lebih bebas berekspresi, karena terus terang, tinggal satu rumah dengan Papa dan Mama kadang membuat kami canggung. Kami masih sering merasa sungkan."
Rielle tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kekalutan dalam hatinya. Entah kenapa, ide untuk pisah rumah itu muncul begitu saja. Mungkin karena ia sudah terlalu lelah dengan semua kepura-puraan yang harus ia jalani selama dua minggu ini. Rumah ini terlalu penuh tekanan, penuh tanya, dan penuh harapan yang tidak bisa ia penuhi.
Biasanya, Papa mertuanya tidak pernah bertanya terlalu jauh jika ia mengatakan Harven pergi kuliah pagi. Tapi pagi ini berbeda. Papa mertuanya mulai curiga, bahkan menyebut kekasih Harven. Jika seperti ini terus, cepat atau lambat kebenaran akan terungkap dan itu akan jauh lebih menyakitkan bagi semua pihak.
Johan memicingkan matanya, menatap Rielle penuh selidik. "Apa ini ide Harven?" tanyanya curiga.
"Tidak, Pa. Ini murni keinginanku sendiri," jawab Rielle cepat. "Aku hanya ingin mencoba lebih dekat dengan Harven, mengenalnya lebih baik, dan kami bisa saling belajar menjadi pasangan. Rasanya akan lebih mudah jika tidak ada tekanan atau rasa sungkan di rumah ini."
Johan terdiam beberapa detik, lalu mengangguk pelan. Tatapannya yang semula penuh selidik, mulai melunak. "Kalau begitu, Papa akan bicara dengan Harven dulu."
"Iya, Pa. Terima kasih," ucap Rielle, menyembunyikan rasa lega yang menguar dalam dadanya.
Akhirnya, mobil berhenti tepat di depan gerbang kampus. Sebelum turun, Rielle tidak lupa mencium punggung tangan papa mertuanya sebagai tanda pamit.
"Semangat nge-asdosnya, ya," ucap Johan seraya tersenyum ramah.
"Iya, Pa. Terima kasih," jawab Rielle sopan. "Hati-hati di jalan, ya, Pa," lanjutnya kemudian ia pun turun dari mobil.
Beberapa mahasiswa yang lalu-lalang sempat menoleh ke arahnya, mungkin karena mobil mewah yang ia tumpangi. Namun, tidak ada yang benar-benar memperhatikan. Dengan tenang, Rielle melangkah menuju perpustakaan, membawa tas dan kruk yang kini menjadi bagian dari hidupnya.