"Pa, Ma, sudah tidak apa-apa. Rielle baik-baik saja. Rielle pamit dulu, ya," ucap Rielle dengan senyum tipis, berusaha menenangkan suasana yang sempat memanas. Tatapannya hangat, mencoba meyakinkan kedua mertuanya bahwa dirinya benar-benar tidak apa-apa.
"Berangkat bersama Papa saja," kata Johan tegas, tidak memberi ruang untuk penolakan.
Lalu, pandangannya beralih pada Jehan dengan sorot mata penuh kekecewaan. "Dan kamu, Jehan. Kalau tidak bisa meminta maaf pada menantuku, lebih baik jangan pernah datang ke rumah ini lagi!"
Rielle menunduk sedikit, berusaha meredam ketegangan yang kembali muncul. "Pa, tidak perlu seperti itu. Rielle tidak apa-apa, jadi Pak Jeje tidak perlu minta maaf pada Riel," ucapnya lembut, mencoba meredakan kemarahan papa mertuanya.
"Sudah, ayo kita berangkat," ucap Johan, mengabaikan ucapan menantunya.
"Pa, tidak perlu repot-repot. Rielle bisa pergi bersama Pak Jaya," tolaknya pelan. Ada kecanggungan dalam suaranya yang tidak bisa ia sembunyikan.
Namun Johan hanya tersenyum, nada suaranya tetap hangat namun mengandung ketegasan. "Tidak repot, kok. Sekalian lewat. Lagipula kantor Papa dan kampusmu searah."
Rielle tersenyum kaku. Ia ingin sekali menolak, tapi tidak punya alasan yang cukup kuat. Ia lebih khawatir dengan hal-hal yang tidak bisa ia kendalikan, seperti tatapan mahasiswa, bisik-bisik tidak berdasar, atau lebih parah, jika Harven melihatnya turun dari mobil sang ayah.
Namun ia juga tahu, menolak akan memperpanjang situasi yang tidak nyaman ini. Maka, ia mengangguk pelan. "Iya, Pa. Terima kasih," ujarnya akhirnya.
Dalam hati, Rielle berharap perjalanan ini tidak menimbulkan masalah baru. Ia tidak ingin jadi pusat perhatian. Ia hanya ingin melewati hari seperti biasa, tenang, tanpa sorotan, tanpa konflik.
Rielle dan Johan pun beranjak pergi dari ruang makan. Johan berjalan lebih dulu, sementara Rielle perlahan menyusul sambil menopang tubuhnya dengan kruk. Jehan hanya berdiri mematung di tempat. Matanya mengikuti langkah Rielle yang tertatih namun tegar. Dadanya terasa sesak. Ada perasaan bersalah yang sulit dijelaskan. Matanya menatap kruk itu lama, dan di sanalah, perasaan kehilangan dan penyesalan mulai menyusup dalam diam. Wanita yang pernah ia cintai kini berjalan menjauh, dalam kondisi yang jauh dari bayangannya lima tahun lalu. Dan yang paling menyakitkan, dia bukan lagi miliknya.
Mobil yang membawa Johan dan Rielle melaju tenang meninggalkan area rumah, menyusuri jalanan pagi yang masih sepi. Di dalam mobil, keheningan menyelimuti mereka untuk beberapa saat. Hanya suara mesin dan lalu lintas ringan di luar yang terdengar samar. Lalu, tiba-tiba Johan memecah keheningan. “Maaf atas sikap Jehan padamu,” ucapnya pelan, tanpa menoleh. Matanya masih terpaku ke arah jendela, seolah tengah menatap jauh ke sesuatu yang tidak terlihat.
Rielle menoleh, memperhatikan raut wajah papa mertuanya yang tampak lebih berat dari biasanya. Ada gurat lelah, mungkin juga penyesalan, yang jelas terlihat. “Pria yang kamu panggil Jeje itu, dia adalah Jehan. Papi-nya Harven,” lanjut Johan akhirnya.
Ucapan itu membuat Rielle terdiam seketika. Matanya membelalak pelan, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Papi?” gumam Rielle nyaris tidak terdengar. Dalam benaknya, potongan-potongan kenangan berputar.
Jehan, pria yang pernah begitu dekat dengannya, seseorang yang dulu sangat berarti, kini ternyata adalah sosok ‘Papi’ yang saat ini disebut oleh mertuanya. Jika itu benar, berarti ia kini adalah menantu dari mantannya sendiri?
Pikirannya bergejolak. Saat tadi melihat Jehan muncul, ia memang sudah merasa tidak fokus, tapi tidak pernah terpikir bahwa pria itu adalah Papi Harven.
“Iya. Kamu belum pernah dengar tentang dia?” tanya Johan akhirnya, kali ini menoleh, memperhatikan ekspresi menantunya yang tampak bingung dan terkejut.
Rielle menggeleng pelan. "Tidak pernah, Pa. Selama kami menikah, bahkan sejak sebelum itu, Harven sama sekali tidak pernah menyebutkan nama atau sosok yang disebut Papi,” ucapnya jujur, masih sulit mempercayai kenyataan itu.
Johan menghela napas panjang, seolah sedang menata kembali ingatan yang sudah lama tertumpuk. Suaranya terdengar lebih berat saat ia mulai berbicara. “Papi, atau Jehan itu adik kandung Papa,” jelasnya sambil tetap menatap ke luar jendela.
“Sejak Harven masih bayi, dia sangat dekat dengan adik saya itu. Karena memang dari dulu Jehan suka sekali dengan anak kecil. Dia sendiri yang minta agar Harven memanggilnya ‘Papi’. Dan seiring waktu, panggilan itu melekat. Bukan hanya sebagai panggilan, tapi juga sebagai sosok ayah kedua.”
Mata Rielle sedikit membulat karena terkejut. “Adik Papa?” ulangnya pelan, nyaris tidak percaya.
Semuanya mulai terasa masuk akal, tentang Jehan yang dulu pernah bercerita soal ‘anak’ yang ia sayangi. Rielle sempat menganggap itu hanya lelucon atau bentuk kegemarannya terhadap anak-anak. Ia tidak pernah menyangka bahwa ‘anak’ yang dimaksud Jehan adalah Harven, suaminya sendiri.
“Iya,” Johan mengangguk pelan. “Waktu Harven lahir, Jehan masih sembilan tahun. Saat itu, rumah orang tua saya tepat di sebelah rumah kami. Karena itu, Jehan hampir setiap hari datang. Dia bermain dengan Harven, membantu mengasuh, bahkan kadang tidur bersama anak itu. Mereka tumbuh sangat dekat.”
Suara Johan terdengar lembut, namun terselip nada yang sulit dijelaskan, campuran antara bangga dan sedikit getir. "Secara emosional, Harven memang lebih dekat dengan Papinya dibanding dengan saya sendiri. Bahkan sampai sekarang, dia masih sering membanggakan Jehan, dan juga memujinya. Apa pun yang dikatakan Jehan, Harven pasti dengar. Bahkan kadang lebih dari mendengar saya sebagai ayah kandungnya.”
"Papa tidak pernah mempermasalahkan kedekatan mereka," lanjut Johan pelan. "Tapi, kedekatan itu juga yang membuat Harven terlalu nyaman. Dia tumbuh dengan pikiran bahwa selalu ada seseorang yang akan menyelesaikan segalanya untuknya. Itu yang membuatnya sulit belajar menerima kenyataan bahwa dunia ini tidak selalu bisa mengikuti kemauannya."
Rielle terdiam, ternyata ada sosok lain dalam hidup Harven yang memiliki pengaruh begitu besar. Sosok itu adalah “Papi” - Jehan, mantan kekasih Rielle.
Pantas saja Harven bisa begitu tenang dalam banyak keputusan, meski kerap terlihat keras kepala. Rupanya, ia memiliki tempat berlindung, seseorang yang selalu mendukung dan membelanya tanpa syarat. Dan kini, tempat perlindungan itu adalah masa lalu Rielle sendiri.
Rielle kemudian mengangguk perlahan. Dalam hatinya, ia mulai memahami banyak hal. Barangkali inilah akar dari semua sikap kekanak-kanakan Harven, termasuk bagaimana ia menjalani pernikahan mereka seperti permainan yang bisa dikendalikan sesukanya.
"Terima kasih sudah cerita, Pa," ucap Rielle lembut. "Rielle jadi lebih mengerti sekarang."
Johan tersenyum kecil. "Kamu anak yang baik, Rielle. Papa percaya kamu bisa mendampingi Harven. Tapi ingat, kalau dia keterlaluan, kamu punya hak untuk bicara. Jangan simpan semuanya sendiri. Harven hanya usianya yang lebih tua setahun dari kamu, tapi dia masih bertingkah kekanakan. Kamu juga sekarang sudah jadi bagian dari keluarga ini, anak Papa dan Mama juga. Kalau kamu merasa sungkan bicara ke Papa, kamu bisa bicara ke Mama. Mama bukan tipe orang yang akan membela sebuah kesalahan. Bahkan, pernikahan kalian pun, justru Mama lah yang paling bersikeras agar pernikahan itu terjadi. Mama juga yang memohon pada orang tuamu agar mereka mengizinkan kamu menikah dengan Harven."
Rielle membelalak pelan, cukup terkejut mendengar pengakuan itu. Ia tidak pernah tahu bahwa ibu mertuanya sampai harus memohon kepada orang tuanya. Selama ini, ia mengira orang tuanya menyetujui pernikahan itu karena menyerahkan semua keputusan padanya. Namun kini, kenyataan tampaknya berbeda jauh dari yang ia pikirkan.
Mungkin orang tuanya sebenarnya tidak setuju. Mungkin mereka sudah melihat sikap Harven yang kekanakan dan tidak siap berumah tangga. Dan bisa jadi, mereka hanya mengalah karena diminta dengan sangat oleh keluarga besar Harven.