Jehan akhirnya memilih untuk pamit pergi. Ada perasaan sesak yang ia sembunyikan di balik senyum tipisnya, namun tetap berusaha menahan diri agar tidak tampak rapuh di hadapan mereka. Ia menunduk sejenak, menahan tatapan yang terasa menusuk, lalu berbalik meninggalkan ruangan itu. Dalam hatinya, ia berjanji akan mengirimi Harven pesan, meminta waktu untuk bertemu tanpa gangguan siapa pun. “Da, Papi. Hati-hati ya,” ucap Harven sambil melambaikan tangan. Nada suaranya ringan, seolah tidak ada badai kecil yang baru saja lewat di antara mereka. Rielle, yang sejak tadi sengaja melingkarkan lengannya ke tubuh Harven hanya untuk membuat Jehan semakin panas, perlahan melepaskan pelukan itu. Ada jeda hening yang terasa aneh saat sentuhannya terurai. “Kok dilepas, yang?” tanya Harven dengan nada

