Gara-gara Kegatelan

1369 Words
Ballroom hotel bintang lima itu ramai hari ini. Tamu-tamu undangan berbaur dalam balutan gaun dan setelan terbaik mereka. Flash kamera berkedip-kedip dari pojok ruangan, mengabadikan momen pertunangan dua nama besar, Zayne Lesmana dan Evelyn Wijaya. Tapi di salah satu sudut ruangan, seorang gadis berdiri membeku. Liora Ella Wijaya, 21 tahun. Gaun satin warna emerald green membalut tubuhnya dengan slit tinggi di paha kiri. Bibirnya dipulas merah merona, cantik … tapi matanya kosong. Pandangan Zayne dari pelaminan, sang pria tampan dengan jas abu tua itu, terus tertuju padanya. Bukan pada tunangannya yang berdiri di samping dengan senyum manis dan cincin berlian yang tersemat di jarinya. Pandangan mereka bertemu, dan dalam sekejap, segala kebisingan disana seolah meredup. Seolah ada ribuan kata yang terperangkap, tapi tak pernah sempat terucap. “Kak Zayne …” Tangan Evelyn menyentuh lengan Zayne, mengajaknya memotong kue. Zayne memalingkan wajah seakan lamunanya buyar oleh suara manja Evelyn. Di sisi lain, Rain Yuriel Ardhanasatya, 23 tahun, berdiri di samping Liora dengan jas hitam kasual, dasinya dilepas, kancing kemeja atas terbuka. Senyumnya terasa sarkas di wajah setampan itu. “Keluar.” Suara bariton Rain berbisik di telinga Liora. Dia menarik pergelangan tangan Liora tanpa memberi kesempatan menolak. Suara pesta di ballroom makin terdengar samar-samar dari kejauhan. Lampu lorong remang, karpet tebal menyerap langkah kaki mereka berdua. Rain mendorong Liora perlahan ke dinding, satu tangan bertumpu di sisi wajah gadis itu. “Masih belum move on?” Nadanya terkesan datar, tapi mengandung bara. Liora memalingkan wajah ke samping, suara nyaris tak terdengar. “...nggak tau.” Rain mendekat, bibirnya menyentuh leher Liora. Satu ciuman, lalu yang kedua. Desahan pelan lolos dari bibir mungil Liora. Rain berhenti tepat di depan wajahnya. Tatapan pria itu mengunci netra Liora, dan senyumnya muncul, senyum yang penuh dosa. “Mau … kubuat lupa tentang semua itu sekarang juga?” Tangan Rain turun, jarinya menyelip di slit tinggi gaun satin Liora, menyentuh kulit paha putih halusnya. Liora langsung mengejan, sama sekali tidak pernah terbiasa walaupun entah berapa kali Rain sudah menyentuhnya sebulan ini. “Nghh! Ra-Rain! Jangan di sini …” Bisik Liora tercekat, tapi napasnya sudah mulai tak beraturan. “Justru di sini … seru kan?” Ia mencium leher Liora lagi, lebih liar. “Mantan pacar kamu lagi menikmati pestanya di dalam …” Bisik Rain, sambil menarik tubuh Liora lebih dekat. “Sedangkan kamu? Di sini, lagi nikmatin aku.” * * 2 Bulan yang Lalu … Bel kuliah siang baru saja berakhir, tapi Liora sama sekali tidak bisa fokus pada dosen yang baru saja menutup materinya. Jemarinya mengepal di ujung meja, sementara wajahnya sesekali meringis kecil. “Kenapa sih aku gatel terus di sana …” batinnya kesal. Sudah tiga hari ini rasa tidak nyaman itu muncul tanpa henti. Setiap kali duduk lama di kelas, gatalnya makin terasa dan membuat dia gelisah setengah mati. Ia menggigit bibir bawah, pandangannya kosong menembus jendela ruang kuliah yang mulai sepi. Bayangan kejadian minggu lalu terulang lagi di kepalanya, saat Evelyn, adik tirinya yang memang tidak pernah akur dan selalu mencari masalah, mendorongnya sampai tercebur ke kolam belakang gedung parkir kampus. Airnya keruh, bau, dan penuh sampah. Sekarang Liora baru sadar mungkin kejadian itu penyebabnya. “Siaalan … jangan-jangan gara-gara itu …” gumamnya pelan sambil mencengkeram roknya gemas. Makin ditahan, makin terasa gatalnya. Liora menarik napas dalam-dalam, mencoba bersikap normal. Mahasiswa lain sudah sibuk beres-beres buku, sementara dia hanya menunduk dan berharap wajahnya tidak terlihat aneh. “Apa aku harus periksa ke dokter, ya …” pikirnya ragu. Baru saja ia berdiri hendak keluar, suara bariton hanget yang sangat familiar terdengar dari pintu kelas. “Sayang …” Liora menoleh cepat. Zayne, pria tampan itu berdiri di sana dengan senyum hangat yang seperti biasa membuat dunia Liora berhenti sesaat. Sejak kecil mereka memang tidak terpisahkan. Sekarang di usia 21, keduanya sudah sama-sama di tahun ketiga kuliah, Liora di Fakultas Pendidikan, Zayne di Fakultas Hukum. Zayne bukan cuma pacarnya, tapi juga calon suaminya. Pasangan yang katanya bakal menikah muda begitu mereka lulus nanti saking cintanya satu sama lain. Zayne berjalan mendekat, menarik kursi di sebelah Liora, dan duduk dengan gaya santainya yang selalu bikin cewek-cewek lain iri. “Makan yuk ke kafetaria. Kamu belum makan siang, kan?” Liora menelan ludah. Rasa gatal di bawah roknya makin terasa nyengat. Ia berusaha tersenyum, meskipun ekspresinya agak kaku. “Sayang, kayaknya aku mau pulang cepat deh,” katanya pelan. Alis Zayne langsung berkerut, ekspresinya berubah khawatir. “Kenapa? Kamu sakit? Mau aku anterin ke rumah?” Liora langsung panik. Tidak mungkin dia bilang penyebab sebenarnya. Wajahnya langsung memerah sampai ke telinga. “Nggak! Aku cuma mau ke klinik kecantikan. Ada appointment konsultasi gitu … lagian kamu hari ini kan kuliah sampai sore! Jangan bolos.” Zayne menatapnya. Pandangan matanya dalam, seakan sedang membaca setiap gerak-gerik kecil Liora. Sejak kecil dia sudah tahu kapan ceweknya itu bohong, dan kali ini pun ekspresi Liora jelas mencurigakan. Tapi Zayne memilih tidak memaksa. Ia hanya menghela napas pelan, lalu mengusap ubun-ubun Liora dengan lembut. “Kalau itu bisa bikin kamu lebih baik, oke. Tapi janji ya, kalau beneran ada apa-apa kamu harus cerita sama aku.” Liora menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis. “Iya, janji.” Tapi begitu Zayne berdiri dan berbalik untuk menunggu di depan kelas, Liora menggigit bibir bawah lagi, menatap ke arah lantai sambil menahan rasa bersalah yang muncul. Maaf, Zayne … aku cuma malu banget buat ngomong yang sebenarnya ke kamu. * * Kursi ruang tunggu rumah sakit itu penuh sesak. Para bumil dengan perut menonjol, pasangan muda, bahkan beberapa pasien dengan wajah lelah bergantian menatap layar antrean. Liora duduk di pojok, roknya sedikit kusut karena ia terus menggeser posisi duduk. Keringat dingin membasahi telapak tangannya. Dia mulai overthinking, rasanya aneh banget seorang gadis muda yang masih kuliah duduk di klinik kebidanan, di antara ibu-ibu yang sedang program hamil. Tatapannya berhenti pada papan nama di dinding. “dr. Gabriel Nathan Ardhanasatya, Sp.OG – Dokter Spesialis Obstetri & Ginekologi.” Ya Tuhan … apa aku beneran harus masuk? pikirnya panik. Kalau beliau mikir aku aneh gimana …? Jarum jam terus berputar. Satu per satu pasien dipanggil, keluar dengan wajah lega. Sementara Liora makin menunduk, memainkan ponselnya untuk pura-pura sibuk. Beberapa orang mulai meliriknya, mungkin mengira dia tekdung muda. Akhirnya, suara perawat memanggil. “Pasien berikutnya, Liora Ella Wijaya.” Deg Jantungnya langsung melompat ke tenggorokan. Ia berdiri pelan, menahan napas, lalu melangkah ke pintu ruang praktik. Begitu pintu tertutup, aroma antiseptik bercampur samar aroma kopi hitam menyambutnya. Suasana tenang tapi tegang. Dan di balik meja kerja … Liora terpaku. NO WAY. Ini beneran dokter apa mantan aktor film?! Dr. Gabriel Nathan Ardhanasatya, sekitar empat puluh tahun, duduk tegak dengan jas putih yang rapi. Rambutnya sedikit beruban di sisi pelipis, menambah kesan elegan dan berwibawa. “Selamat siang,” sapanya datar tapi berwibawa. Liora hampir salah napas. Tapi sebelum sempat merespons, suara lain terdengar dari arah meja asisten. “Om, data pasien baru sudah di input.” Liora menoleh. Dan dunia seolah berhenti lagi. Cowok yang berdiri di sana mengenakan jas praktik putih yang sama, dengan name tag Rain Yuriel Ardhanasatya, jelas masih muda. Rambutnya agak berantakan tapi entah bagaimana tetap terlihat rapi, wajahnya tampan nyaris sempurna. Gila … Ini rumah sakit atau talent agency sih … batin Liora makin menjerit sekarang. Rain menatap sekilas ke arah Liora, lalu tersenyum kecil. “Silakan duduk,” ucapnya santai, suaranya dalam tapi lebih ringan dibanding pamannya. Perawat di sisi ruangan masih menjaga nada ramah, memecah ketegangan. “Silakan, adik, buka bagian bawahnya ya. Kita periksa sebentar.” “Ha … apa??” Liora langsung panik. Oke, Tuhan, ini ujian kesabaran. Dokternya cakep, asistennya lebih cakep. Dan sekarang aku harus ngangkang di kursi ini? Pipi Liora merah padam. Kalau Zayne tau aku diperiksa beginian sama dua cowok ganteng sekaligus, bisa mati berdiri dia! Dr. Gabriel hanya menunduk menulis di berkas tanpa ekspresi. “Tenang saja. Ini tidak lama,” katanya tenang, profesional sekali. Rain di sisi meja tampak ikut menyiapkan sarung tangan dan alat pemeriksaan, tapi matanya sempat melirik Liora yang masih bengong dan kaku. Sudut bibirnya terangkat pelan, seperti menahan tawa. “Relax aja, jangan tegang gitu,” ujarnya ringan. Liora langsung melotot pelan. Gimana aku bisa relax kalau kamu lihatin!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD