Pemeriksaan 'Intens'

1615 Words
Rain cepat mengalihkan pandangan dan membantu menyalakan lampu pemeriksaan. Sementara itu, dr. Gabriel tetap dalam ketenangan khasnya. “Baik, kita mulai. Tarik napas … rileks.” Liora menunduk dalam-dalam, wajahnya sudah merah sampai ke telinga. Jemarinya menggenggam ujung ranjang pemeriksaan, berusaha keras agar tubuhnya tidak bergetar. Ya Tuhan … tolong aku … Ia sudah pernah dengar tentang pemeriksaan ini dari internet, tapi sekarang, saat tubuhnya sendiri yang jadi pasien, semuanya terasa beda sensasinya. Srek Tangan bersarung tangan milik dr. Gabriel bergerak tenang mengambil alat steril. “Sedikit tidak nyaman, tapi tidak akan lama,” ucapnya datar. Liora mengangguk kaku. Tapi begitu alat cocor bebek mulai masuk, tubuhnya langsung menegang hebat. “Nnnggh …” Rasa perih dan tekanan itu membuat matanya langsung membelalak, lalu terpenjam keras. Bibirnya gemetar, dan satu desahan lirih lolos dari tenggorokannya. Perawat di sisi ranjang refleks menyentuh lengan Liora pelan. “Tarik napas, sayang … sebentar saja.” Liora menggigit bibir bawahnya, menahan keras agar tidak menangis. Tapi matanya mulai basah. Ada rasa malu, takut, dan nyeri yang bercampur jadi satu. Rain yang berdiri tak jauh dari sisi kepala ranjang hanya bisa melihat siluet wajah Liora dari sudutnya. Dan saat matanya menangkap satu tetes air yang menggantung di bulu mata gadis itu, jantungnya ikut menegang. …dia nangis? Ia menoleh ke pamannya, yang tetap tenang dan fokus pada prosedur, lalu kembali menatap ke arah Liora. Bahu gadis itu gemetar sedikit. Rain buru-buru memalingkan wajah, pura-pura fokus ke catatan medis di tangannya, tapi ekspresinya berubah. Raut jail dan santainya hilang, tergantikan tatapan sedikit bingung dan … entah kenapa, kasihan. Lucu banget sih … tapi juga … kok kayak kasihan ya? “Sudah,” suara dr. Gabriel akhirnya terdengar lagi, datar tapi sedikit lebih pelan. “Kamu tidak perlu terlalu khawatir. Dari hasil pemeriksaan, kemungkinan besar kamu mengalami iritasi akibat infeksi jamur ringan. Bisa jadi karena kebersihan yang kurang terjaga setelah terpapar air kotor.” Deg Batin Liora langsung menjerit. Syalan! Berarti bener gara-gara waktu aku diceburin Evelyn ke kolam itu …! “Ini sering terjadi, terutama pada remaja atau wanita muda,” lanjut Gabriel sambil mencatat di berkasnya. “Tidak berbahaya, tapi kalau dibiarkan bisa makin parah. Saya akan resepkan obat oral dan salep topikal. Gunakan sesuai petunjuk, dan jangan asal minum obat sembarangan.” Liora hanya mengangguk cepat, tak sanggup bicara. Tangannya masih meremas kain sprei ranjang seolah itu satu-satunya hal yang bisa ia genggam agar tidak hancur oleh rasa malu. Rain yang sejak tadi berdiri diam di sisi ruangan, akhirnya mencondongkan tubuh sedikit, mendekat ke arah Liora, dan membisik pelan … “Next time, minta periksa sama dokter cewek aja ya. Kamu tadi kelihatan hampir meledak.” Liora langsung menoleh cepat dengan wajah merah padam dan cowok itu cuma terkekeh pelan, lalu berbalik santai sambil melambaikan tangan. Liora langsung menutup wajah dengan kedua tangan. Astaga. Gila. GILAAA. Gue baru aja diperiksa … di depan cowok seganteng itu … dan dia … dia ngomong gituuuuu?!! Liora berdiri pelan, menunduk dalam-dalam sambil meraih tasnya. “Terima kasih, Dokter …” suaranya hampir tak terdengar. Gabriel hanya mengangguk tanpa ekspresi. “Jaga kebersihan, hindari pakaian terlalu ketat. Dan jangan lupa, kontrol seminggu lagi.” “Baik, Dok …” Suasana ruangan terasa dingin tapi anehnya, bukan cuma karena AC. Ada sesuatu di udara yang membuat jantung Liora belum mau tenang. Mungkin karena masih syok. Mungkin karena sadar barusan dia nggak sengaja hampir nangis di depan dua laki-laki yang bahkan dia nggak kenal. Begitu dia berbalik, Rain sudah bersandar santai di sisi pintu. Jas putihnya terlepas sebagian, tangan kirinya masuk ke saku celana, dan tatapan matanya masih sama … malas tapi tajam. “Udah selesai ya, pasien panik?” suaranya pelan, tapi nadanya menggoda. Liora langsung ingin menenggelamkan diri ke lantai. “Aku … aku cuma … refleks!” katanya cepat, mencoba melewati Rain. Tapi cowok itu sedikit menggeser tubuhnya, menutup jalan dengan posisi setengah mencondong. “Refleks yang bikin air mata keluar?” “Bukan urusan kamu,” desis Liora cepat, menunduk, tapi matanya malah terpaku pada name tag di dadanya, Rain Yuriel Ardhanasatya. Serius ini cowok nggak punya sopan santun! Rain tersenyum kecil. “Lucu sih, lihat kamu tadi panik kayak anak ayam nyemplung kolam.” Liora mendongak spontan, ekspresi campur malu dan tersinggung. “Heh! Kamu—” “Tenang, aku nggak bakal bocorin apa pun. Cuma saran aja … lain kali kalau ke dokter cowok, jangan pakai rok setinggi itu.” Nada suaranya ringan, tapi matanya menatap lama, terlalu lama bahkan, ke arah paha Liora sebelum kembali menatap wajahnya. Liora menahan napas. “Kamu … kurang ajar.” Rain malah terkekeh pelan. “Mungkin. Tapi jujur, kamu tipe pasien yang susah dilupain.” Deg Entah kenapa daada Liora terasa aneh. Campuran antara malu, kesal, dan … sesuatu yang lebih panas dari sekadar jengkel. Ia buru-buru melangkah pergi, tapi Rain sempat mencondongkan tubuh sedikit dan berbisik rendah, cukup untuk membuat bulu kuduknya meremang. “See you next week, Liora Ella Wijaya.” Nada suaranya tenang, tapi entah kenapa Liora tahu, itu bukan sekadar ucapan formal dokter magang yang sopan. Ada sesuatu di sana, nada yang menyimpan tanda tanya. Pintu tertutup. Dan untuk pertama kalinya sejak pemeriksaan dimulai, Rain tersenyum sendiri. “Anak ayamnya lucu juga,” gumamnya pelan sambil memutar pena di jarinya. Di meja kerja, dr. Gabriel hanya menatap ke arah pintu yang baru saja tertutup, kemudian menatap keponakannya tanpa ekspresi. “Rain,” katanya datar, “kamu mulai magang di sini untuk belajar disiplin. Bukan buat flirting sama pasien. Lama-lama nama Om bisa ikutan tercemar.” Rain hanya mengangkat bahu, masih menatap pintu yang baru saja dilalui Liora. “Cuma … observasi, Om. Kadang pasien yang menarik bisa bantu ngingetin kita buat nggak bosan di rumah sakit.” Gabriel menatap tajam beberapa detik sebelum menggeleng pelan. “Hati-hati. Kamu main api, bisa kebakar.” Rain tersenyum samar. “Kayaknya itu bakal seru, Om.” * * Matahari sore menerobos lewat tirai putih yang setengah terbuka di kamar Liora. Cahaya keemasan menyinari sebagian ranjang, membentuk bayangan lembut di permukaan seprai putih. Di tepi ranjang itu, Zayne duduk sambil mengerutkan keningnya. Jemarinya mengetuk-ngetukkan lutut berulang kali, seperti suara jarum jam yang gelisah. Sudah berjam-jam sejak Liora pamit, katanya ada janji ke klinik kecantikan. Tapi sekarang bahkan Zayne sudah selesai pulang kuliah, dan belum ada tanda-tanda ia pulang. Zayne menghela napas pelan. Matanya menatap deretan foto berbingkai di meja belajar Liora. Bukan cuma satu tapi lima, enam, tujuh bingkai kecil yang berjajar rapi. Foto mereka berdua. Mulai dari saat masih SD, Zayne kecil dengan seragam putih merah berdiri di samping Liora yang memegang piala lomba menggambar. Lalu foto lain, mereka di perkemahan pramuka, sama-sama berkeringat dan tertawa. Ada yang lebih besar. Liora remaja memakai dress pesta ulang tahunnya yang ke-17, tersenyum malu-malu sementara Zayne di sampingnya memegang buket bunga. Dan tentu saja, foto favorit Liora, yang diletakkan tepat di tengah meja. Mereka berdua duduk bersisian di bangku taman kampus waktu semester satu. Liora sedang menyuapi Zayne es krim dengan sendok kecil, dan cowok itu … menatap Liora seperti cewek itu satu-satunya hal penting di dunia. Zayne menatap foto itu lama. Senyumnya di foto itu masih sama. Tapi sekarang, keresahan perlahan menggerogoti ketenangannya. Sayang … kamu ke mana sih … Tangannya naik ke rambut, meremas pelan. Kemungkinan terburuk mulai menghantui. Sakit? Kecelakaan? Atau … kenapa tiba-tiba perasaannya nggak enak? KREAK Pintu kamar terbuka perlahan. Zayne langsung mendongak dengan cepat, sorot matanya penuh harap. Tapi senyum itu langsung menguap. Bukan Liora, melainkan Evelyn, adik tiri Liora. Gadis itu melangkah masuk dengan segelas air putih di tangan. Penampilannya seperti biasa, cantik, rapi, tapi sorot matanya selalu punya sisi yang licik. “Kak Zayne,” ucapnya lembut, “minum dulu. Dari tadi nungguin, kan?” Zayne berdiri cepat, menjaga postur tegas dan juga jarak. “Thanks, Ev.” Ia mengambil gelas itu, tapi ekspresinya tidak bisa menyembunyikan kecanggungan. Dia tahu, semua orang tahu, hubungan Evelyn dan Liora ibarat api dan air. Evelyn tetap tersenyum, matanya menatap langsung ke wajah Zayne. “Kak Liora belum pulang ya?” “Belum,” jawab Zayne singkat, meneguk air itu cepat. “Paling juga nyalon, atau sekalian mampir belanja. Kakak tau kan dia suka impulsif,” Evelyn duduk perlahan di pinggir meja, terlalu dekat, bahkan terlalu nyaman. Zayne langsung mundur setengah langkah, menjaga jarak. Tapi tubuhnya mulai terasa aneh. Hangat, panas mulai merambat ke syarafnya. Lalu pusing. Sekejap, ia berpikir mungkin karena belum makan. Tapi rasa yang muncul sekarang bukan lapar. Ini … aneh. Pandangan mulai kabur. Jantungnya berdetak tak karuan. Suhu tubuhnya naik cepat, dan pelipisnya mulai berkeringat. “Apa … ini …” Tangannya menyentuh dahi, lalu menatap Evelyn dengan pandangan curiga. Tapi gadis itu hanya tersenyum tenang. “Capek ya, Kak? Duduk aja,” bisiknya. Tangannya menyentuh lengan Zayne, sentuhan yang terlalu lembut untuk sekadar basa-basi. Zayne buru-buru menarik tangannya, tapi tubuhnya melemah. “Aku … harus … keluar …” gumamnya pelan, tapi suaranya terdengar berat, seperti lewat tenggorokan yang terkunci. Evelyn bergerak cepat, berdiri dan memegang bahunya. “Kakak terlalu tegang. Sini … Evelyn bantu.” “Evelyn … jangan.” Suara Zayne makin lemah, tapi sorot matanya masih memohon. Namun Evelyn hanya tersenyum, tangannya naik ke sisi wajah Zayne. “Tenang … aku nggak bakal nyakitin Kak Zayne kok …” Zayne terhempas ke ranjang, tubuhnya berat seperti diseret gravitasi. Matanya buram, tapi satu nama terus keluar dari bibirnya. “Lio … ra …” Suaranya lirih, lelah, putus asa namun tetap penuh cinta. Evelyn menatapnya lalu membungkuk pelan ke arah bibir Zayne, senyum manis menghiasi wajahnya. “Kak Zayne … sore ini … Evelyn gantian ya yang nemenin,” bisiknya. Zayne merintih. Kepalanya berat. Badannya panas. Tapi pikirannya satu … Tolong … Liora …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD