Aah ... Mmm ...

1908 Words
“Pasien berikutnya, Liora Ella Wijaya.” Liora berdiri pelan, tubuhnya tegak tapi jemarinya dingin saat meraih tangan Zayne. Tatapannya tidak hangat, tidak pula lembut. Hanya satu lirikan ke arah Zayne yang berdiri setengah gugup. “Ayo,” katanya pendek. Zayne refleks mengangguk, lalu ikut melangkah. Tapi saat sampai di depan pintu ruang praktik, genggaman Liora justru semakin erat. Zayne sempat hendak melepaskan, merasa kikuk akan masuk ke ruang dokter kandungan. Namun Liora menoleh sejenak, tatapannya tajam … menantang. “Temani aku,” bisiknya datar. Seolah berkata kalau kamu merasa bersalah, rasakan juga semua yang aku rasakan hari itu. Pintu tertutup. Ruangan terasa dingin oleh AC tapi lebih dingin oleh ketegangan yang menggelayut. Dr. Gabriel menatap mereka berdua selama beberapa detik. Sorot matanya gelap, dalam, seperti sedang menakar sesuatu. Ia sempat menyipitkan mata ke arah Zayne … lalu ke tangan Liora yang masih menggenggam erat. Namun ekspresinya segera kembali netral. “Silakan duduk,” ucapnya tenang. Liora menarik Zayne ikut duduk di kursi di depan meja. Genggamannya tidak longgar sedikit pun. Dari balik sisi ruangan, Rain muncul. Ia berdiri di dekat lemari obat, tangan bersilang di daada. Raut wajahnya … sulit dibaca. Tapi ketika pandangan Liora dan Rain bertemu, sesuatu yang aneh mengalir. Sebuah senyum halus muncul di sudut bibir Rain, bukan menggoda, bukan mengejek … lebih seperti aku mengerti. Paham tanpa perlu dijelaskan. Dan Liora … tidak perlu berkata apa pun. Mereka sudah satu frekuensi. Dr. Gabriel membuka berkas dan membaca singkat. “Masih ada keluhan?” tanyanya. Liora menunduk sedikit, suaranya pelan tapi jelas. “Masih gatal … sedikit.” Zayne langsung menoleh cepat, ekspresinya panik dan terkejut. “Sayang … kamu nggak bilang sama aku?” Liora hanya tersenyum tipis ke arahnya, bukan senyum kasih sayang, tapi senyum getir yang menyimpan banyak kata tak terucap. Gabriel mencatat sesuatu di dokumen. Alisnya berkerut tipis. “Biasanya seminggu cukup untuk sembuh. Tapi bisa saja butuh perawatan lanjutan.” Ia mendongak. “Kita periksa ulang.” Lalu … suara perawat di sisi ruangan terdengar datar tapi sopan. “Adik, silakan bvka cel4nanya. Baring di bed pemeriksaan ya.” Zayne langsung membelalak. “A-apa?!” Berarti … berarti Lio … diperiksa dengan cara … Napasnya tercekat. Tangannya spontan ingin menarik Liora menjauh. “Lio, kamu yakin … kamu nyaman sama ini?” Tapi Liora justru berdiri perlahan, dan menatap Zayne tanpa senyum. “Sebelumnya juga gitu kok.” Ia berjalan ke balik tirai. Rain bergerak lebih dulu, dengan tenang, mengambil sarung tangan dan menyalakan lampu sorot bed pemeriksaan. Gerakannya efisien, tenang … dan saat Liora tiba di balik tirai, ia menoleh sekilas. Tatapan mereka bersentuhan lagi. Dalam diam, Rain menyentuh pergelangan tangan Liora sebentar, sejenak, seolah memberi kekuatan. Liora mengangguk kecil. Dan saat ia mulai melepas resleting rok, Rain membalik badan, menjaga privasi. Tapi senyum samar masih tersisa di sudut bibirnya. Di sisi luar tirai, Zayne duduk kaku. Jemarinya mencengkeram lutut sendiri, matanya terpaku pada lantai. Bayangan siluet tubuh dan gerakan Liora samar terlihat dari balik tirai, dan suara sarung tangan bergesek pelan menggema di ruang hening. Gabriel menarik tirai dengan sopan. Wajahnya tetap datar, fokus medis sepenuhnya. Tapi sorot matanya sempat melirik ke arah Rain. Diam. Seolah menyadari … ada ketegangan lain di ruangan itu. Bukan cuma antara dokter dan pasiennya. Tapi antara pria yang dulu disayang, dan pria yang diam-diam kini masuk ke dunia Liora. Dan Zayne? Zayne hanya duduk di sana. Terjebak dalam kebingungan. Karena untuk pertama kalinya … ia melihat sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Tatapan Liora ke Rain dan balasan Rain ke Liora terasa terlalu dalam untuk sekadar antara dokter dan pasien. Sarung tangan lateks berderit pelan ketika dr. Gabriel bersiap. Lampu sorot diarahkan tepat ke area panggul, dan suara alat cocor bebek saat disentuhkan ke meja logam menambah ketegangan di ruangan. “Tarik napas dalam … rileks,” suara dr. Gabriel tetap profesional. Begitu alat itu masuk, tubuh Liora otomatis menegang. Bibirnya menggigit rapat, namun satu suara lirih tetap lolos dari tenggorokan mungilnya. “Ahh … mmm …” Mata dr. Gabriel sekejap mengerjap. Raut wajahnya tetap datar, namun ada jeda, detik ganjil ketika ia ragu apakah ia salah dengar. Suara itu … terlalu berbeda dari suara tidak nyaman biasanya. Tapi dr. Gabriel memilih untuk fokus. Sementara itu, di balik sisi lain tirai, Rain berdiri tenang. Tapi senyumnya muncul pelan. Satu alisnya terangkat dan dia menggigit bibir sedikit untuk menahan tawa. “Hmm,” bisik Rain nyaris tanpa suara ke Liora. “All in banget kamu ya, anak ayam …” Ia melirik ke arah tirai yang samar menampilkan siluet tubuh Liora. Gerakan itu … napas tertahan itu … Rain seriously hampir tertawa. Tapi di balik sikap santainya, sorot matanya mulai berubah. Ada keinginan aneh, liar, yang pelan-pelan menjalar ke ujung jarinya. Di luar tirai, Zayne duduk kaku di kursi. Tapi matanya terus menatap ke celah tipis kain itu. Samar, ia bisa melihat pergerakan kepala dokter, posisi Liora yang terbaring pasrah. Napasnya mulai tersengal. Bukan karena nafsu. Tapi karena gejolak batin yang luar biasa. Itu suara Liora … barusan kan? Jantungnya serasa diperas dari dalam. Sekujur tubuhnya menegang. Air liur pun terasa pahit. Ia menggenggam keras-keras lengan kursi. Liora … kenapa kamu terdengar seperti … menikmati? Tapi suara itu hanya sesaat. Berganti dengan gumaman Liora yang lebih tertahan. Getir, luka, dan malu bercampur jadi satu. Dan dari sudut matanya, air mata itu muncul … lagi. Rain menyadari itu lebih dulu. Dia melangkah pelan ke sisi kepala ranjang. Bibirnya mendekat ke telinga Liora, suara bisiknya pelan … sangat pelan. “Kalau kamu butuh pegangan … aku di sini.” Jari-jarinya menekan pelan sisi lengan Liora, lembut … tapi terasa mengikat. Liora menggigit bibir lebih kuat, tapi air matanya jatuh juga. Bukan hanya karena sakit fisik. Tapi karena ada pria yang pernah ia cintai mati-matian … duduk diam di luar tirai, dan kini hanya menjadi penonton. Pria yang sekarang ingin ia sakiti mati-matian. Dr. Gabriel menyelesaikan prosedur dengan cepat. Suaranya tenang. “Sudah. Saya kirimkan ulang untuk pemeriksaan lanjut ke lab. Kamu bisa duduk kembali.” Liora perlahan bangkit, wajahnya memerah tapi matanya tetap enggan menatap siapa pun. Ia kembali mengenakan rok pelan-pelan. Rain yang berdiri tak jauh, kini menatapnya dalam. Tidak ada lagi tawa. Tidak ada lagi ejekan. Hanya satu tatapan you’re stronger than you think, and I see you. Liora berjalan pelan ke kursi di depan meja Gabriel, tapi sebelum ia duduk, Rain sempat membisikkan satu kalimat. “Mulai sekarang, boleh aku yang jagain kamu?” Deg Liora menatapnya. Tidak menjawab. Tapi matanya tak lagi seterang tadi. Di belakang, Zayne berdiri. Tubuhnya kaku. Jari-jarinya mengepal. Tatapannya berpindah antara Rain, Liora, dan bekas tirai pemeriksaan itu. Hatinya jungkir balik. Dia tahu itu bukan salah Liora. Tapi dia juga tahu … bukan hanya tubuh Liora yang diperiksa hari ini. Hati Liora pun sedang disentuh perlahan oleh pria lain. Dan dia, hanya bisa berdiri sebagai saksi yang kehilangan tempat di sisi gadis yang dulu ia genggam seerat dunia. * * Flashback dua hari yang lalu … Hujan baru saja reda saat Liora melangkah masuk ke lobi Rumah Sakit Jiwa Valleshire. Rambutnya agak lembap, koper kecil warna beige tergenggam di tangan kanannya, dan ransel hitam menggantung di punggung. Tubuhnya letih, mata masih sembap, tapi ada ketegasan baru dalam setiap langkahnya. Ia menekan tombol lift, menunggu dalam diam. Begitu pintu lift terbuka, ia melangkah masuk dan mendapati seseorang sudah berdiri di sana. Rain Yuriel Ardhanasatya. Jas dokternya masih melekat, sedikit kusut karena shift panjang. Tangannya menyelip ke saku celana, dan begitu melihat Liora masuk dengan koper kecilnya, satu alisnya terangkat. Pandangan matanya turun ke koper. “Kamu mau nemenin mama kamu?” Liora mengangguk pelan. “Iya. Ada larangan?” Nada suaranya netral, bahkan nyaris dingin. Tapi Rain menangkap sesuatu yang lain di balik jawabannya, kelelahan yang tidak hanya berasal dari tubuh. Rain mengangkat bahu. “Sebenarnya nggak boleh sih. Walaupun kamar mama kamu VIP. Pasien tetap punya jam kunjungan.” Liora membalas tatapannya, mata sayunya sedikit menyipit. “Aku nggak punya tempat lain.” Rain menatapnya lebih serius sekarang. Tatapannya turun ke koper sekali lagi, lalu kembali ke wajah Liora. “Rumahmu?” Liora menunduk. Jemarinya menggenggam pegangan koper lebih erat. “Rumahku … ranjangku … semuanya cuma ngingetin aku sama kesengsaraan hidup aku.” Kalimat itu jatuh pelan, seperti batu ke danau yang tenang. Dan di dalam lift yang sempit itu, hanya suara mekanik gerak mesin dan detak diam-diam yang menggantung. Rain menoleh, hendak menjawab, tapi belum sempat berkata apa-apa, suara mekanik terdengar. TING! Pintu lift terbuka perlahan di lantai dua. Angka digital menyala merah. Liora melirik Rain sekilas. “Lantaimu?” Rain menoleh, matanya bergerak ke arah angka di dinding lift, lalu kembali menatap Liora. Bahunya terangkat pelan. “Tadinya iya …” “…tapi sekarang kayaknya aku pengen naik satu lantai lagi.” Liora langsung menatap bingung. Ia memutar tubuh sedikit, menatap Rain dengan alis terangkat. Rain menyandarkan punggung ke dinding lift sebentar sebelum pintu kembali tertutup dan mereka naik ke lantai tiga. Bibirnya menyeringai tipis, khas Rain. “Kalau aku bilang ‘nganterin anak ayam ke kamarnya biar nggak nyasar’, kamu bakal terharu?” Liora mendelik galak ke arah Rain, tapi mulutnya menahan senyum kecil yang hampir tak terlihat. “Aku hafal jalan. Nggak perlu dikawal.” “Yakin?” Rain menyipitkan mata. “Soalnya kamu bawa koper kayak lagi mau kabur dari rumah.” Liora diam sejenak. Jari-jarinya menggenggam pegangan kopernya lebih erat. “Emang aku lagi kabur,” bisiknya pelan. Rain menatapnya lebih dalam sekarang. Tatapan yang hanya bertahan dua detik, tapi dalam dua detik itu, ada bahasa yang tak terucap. Ia tidak membalas kata-kata Liora dengan simpati atau nasehat. Ia hanya berjalan pelan di sebelahnya. Begitu pintu lift terbuka di lantai tiga, Liora melangkah lebih dulu, lalu mendengar suara pelan di belakangnya. “Jadi … kaburnya ke rumah sakit jiwa. Gawat banget. Tapi keren.” Liora menoleh cepat. “Kamu ngeledek?” Rain mengangkat tangan, ekspresinya pura-pura innocent. “Enggak. Justru kamu unik. Biasanya orang kabur ke Bali, ke hotel, atau ke rumah sahabat. Kamu kaburnya ke RSJ buat tidur di samping mama kamu.” Ia menoleh sekilas, suaranya sedikit lebih rendah. “Ada niat mulia di balik pelarian, itu … langka.” Liora tercekat. Untuk beberapa saat, ia nyaris membiarkan ekspresinya melembut. Tapi ia cepat-cepat menunduk lagi, menyembunyikan gejolak yang muncul. “Ini bukan pelarian,” katanya akhirnya. “Ini cuma … satu-satunya tempat yang masih bisa nerima aku.” Rain tidak menjawab. Ia hanya melangkah di sebelah Liora, membiarkan diam yang ada menjadi jawaban yang paling menghargai. Sampai akhirnya mereka berhenti di depan kamar bernomor V312. Liora menggenggam gagang pintu. “Thanks. Sampe sini aja.” Rain bersandar sebentar di dinding koridor. Tatapan matanya masih mengamati Liora dengan cara yang tidak biasa, seolah ia sedang menyusun ulang persepsi tentang gadis ini dari awal. Sebelum Liora membuka pintu, Rain berkata pelan, dengan nada menggoda khasnya kembali. “Oh, satu lagi …” Liora menoleh. Rain mengangkat dagunya sedikit, senyumnya muncul samar. “Kalau kamu bosan tidur di kamar ini, aku punya space kosong di ruang jaga. Kasurnya keras, tapi aku jamin, pelukannya enggak.” Liora melotot pelan, mulutnya membuka sedikit. “Kamu—!” “Bercanda,” ujar Rain cepat tapi sambil ngedip. “Atau … enggak. Tergantung respon kamu.” Liora buru-buru memutar badan dan membuka pintu, nyaris membantingnya ke dalam. Tapi sebelum pintu tertutup, Rain sempat mendengar suara pelan dari balik ambang. “Id1ot …” Dan senyum di wajah Rain semakin lebar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD