Lihat Aku Bersama Pria Lain

2265 Words
Tanpa banyak tanya, Rain meraih ponsel itu pelan. “Eh, jangan!” seru Liora cepat, tapi Rain sudah lebih dulu menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel itu ke telinganya. Suara Zayne langsung terdengar dari seberang, tergesa dan putus asa. “Liora?! Sayang, please, aku mohon … aku cuma mau ngomong sebentar. Tolong jangan matiin lagi … please, jangan tinggalin aku gini—” Rain menjawab tenang tapi tajam. “Dia lagi sarapan.” Nada suaranya datar, nyaris tak beremosi. Tapi justru karena itu, kalimat itu terasa menghantam. Hening sejenak dari seberang. “…Lo siapa?” suara Zayne terdengar lebih dalam sekarang, waspada. “Gue pengen bicara sama Liora. Sekarang lo kasih HPnya balik!” Rain tidak mengubah posisinya. Satu tangannya masih memegang sendok, tangan lain tetap menempelkan ponsel ke telinga. “Dia nggak mau dengar suara lo,” ujarnya singkat. Kemudian ia menambahkan, pelan tapi menusuk, “Dan jujur aja … menurut gue, lo nggak layak buat didengerin lagi.” Zayne terdengar menghela napas keras. “Gue nggak tahu lo siapa—tapi ini urusan gue sama Liora. Jangan ikut campur!” Rain mengangkat alis sedikit. Tatapannya tetap tenang, tapi bibirnya mulai menyeringai kecil. “Lo bener. Gue nggak tau lo bikin dia kenapa. Tapi cuma cowok b******k yang bisa bikin seorang cewek kelihatan segitu sakitnya.” Zayne terdiam. Rain menunggu dua detik, lalu mengakhiri telepon dengan satu klik pelan. Ia meletakkan ponsel itu kembali di meja dengan santai, tepat di depan Liora, lalu kembali menyuapkan bubur seperti tak terjadi apa-apa. Liora masih diam, tubuhnya tegang, pandangannya kosong ke depan. Nggak tahu harus marah, terharu, atau pingsan. Rain melirik sekilas padanya. “Kalau kamu masih mau balikan sama dia, itu urusan kamu. Tapi satu hal yang pasti …” Ia menyeka sudut bibirnya dengan tisu, suaranya lebih tenang. “Kalau nama seseorang bisa bikin kamu gemetar kayak tadi … itu tandanya, dia udah jadi racun dalam hidup kamu.” Liora masih terdiam. Tapi kali ini, air mata tak jatuh. Hanya ada satu napas panjang yang keluar perlahan dari bibirnya, napas yang terasa seperti membuang satu beban yang sudah terlalu lama disimpan dalam diam. Dan Rain? Ia hanya menatapnya sebentar. Lalu kembali menyeruput es tehnya. Setelah mangkuk bubur kosong, tissue kucel, dan gelas plastik berisi es teh tinggal separuh, Rain berdiri lebih dulu, merapikan jas dokternya yang sempat ia sandarkan di kursi. “Makasih ya, Mas. Buburnya juara dunia,” katanya sambil mengangkat tangan santai ke si tukang bubur. Mas bubur tertawa. “Sip, Mas Dokter. Kapan-kapan mampir lagi bareng Mbaknya ini, ya. Tambah cocok tiap liat!” Liora hanya bisa menunduk lalu buru-buru jalan cepat menyebrang. “Kita cabut ya, Mas. Makasih.” Rain mengangguk sopan, lalu menyusul langkah Liora menyeberangi jalan kecil menuju gerbang RS Valleshire. Begitu mereka sampai di sisi halaman rumah sakit, langkah Liora sedikit melambat. Matahari mulai naik, tapi udara pagi masih cukup sejuk. Liora menyisipkan rambut ke belakang telinga, lalu berkata pelan sambil tetap berjalan, tanpa menoleh. “Next time … aku yang traktir.” Rain menoleh sedikit. Alisnya terangkat, lalu senyum itu muncul lagi, setengah mengejek, setengah menggoda. “Hmm?” Ia sengaja memperlambat langkahnya agar sejajar. “Kamu ngajak aku ngedate?” Liora langsung berhenti di tempat, menoleh cepat dengan ekspresi setengah ngakak setengah muak. “Idih! Geer banget, sumpah. Jadi orang … narsisnya tuh pol banget!” Rain menahan tawa, pura-pura kaget. “Lho … terus kenapa bilang mau traktir?” Liora menyilangkan tangan, ekspresinya kesal tapi pipinya sedikit bersemu. “Aku cuma nggak suka hutang budi! Jadi ya wajar dong, next time gantian!” Ia menggeleng kecil sambil berjalan lagi. “Sumpah baru kali ini aku ketemu cowok yang bikin kesel dan lega dalam waktu yang bersamaan.” Rain menyusul, tangannya masuk ke saku jas putih. “Good. Berarti kamu belum pernah ketemu yang kayak aku sebelumnya.” “Dan semoga nggak banyak yang kayak kamu juga,” gerutu Liora, walau ujung bibirnya mulai terangkat. Langkah mereka akhirnya masuk kembali ke lobi Rumah Sakit Jiwa Valleshire. Tapi kali ini, tidak ada tegang, tidak ada panik, tidak ada sakit yang menggantung terlalu berat di udara. Ada sesuatu yang baru … ringan dan hangat. * * Beberapa Hari Kemudian … Suasana kampus seperti biasa. Ramai, berisik, penuh tawa dan obrolan ringan di setiap sudut. Mahasiswa lalu lalang di koridor fakultas, sebagian sibuk dengan jadwal kuliah, sebagian nongkrong di taman tengah sambil ngopi dan bercanda. Tapi bagi Liora, semua itu cuma jadi latar kosong. Hidupnya memang masih berjalan, tapi rasanya seperti nonton film dari balik kaca. Dia hadir, tapi tak benar-benar ada di sana. Ia melangkah di koridor Fakultas Pendidikan dengan dagu terangkat dan langkah percaya diri. Senyum tipis terpasang di wajahnya, senyum yang sudah seperti topeng, sempurna dan dingin. Dari luar, ia tampak seperti Liora yang semua orang kenal. Gadis cantik, tinggi semampai, pintar, cool, dengan body aduhai yang bikin banyak mata menoleh. Tidak ada seorang pun yang tahu, di balik tatapan tenangnya, badai masih bergemuruh. Terutama untuk satu orang. Evelyn Wijaya, adik tirinya. Gadis satu tahun lebih muda yang seolah hidupnya tak lengkap tanpa membuat hidup Liora berantakan. Setiap kali mereka berpapasan di rumah, bahkan kantin atau parkiran kampus, Evelyn selalu memamerkan senyum manis penuh provokasi, senyum yang seolah bilang aku menang. Dan Liora? Ia hanya menatap balik dengan ekspresi datar, mata dingin seperti belati, lalu melengos. Tidak ada emosi. Tidak ada air mata. Tidak ada kata-kata. Karena buat Liora, tidak bereaksi adalah bentuk balas dendam paling elegan. Selama itu juga, Liora berhasil menghindari Zayne. Setiap kali cowok itu muncul di lorong fakultasnya, Liora langsung berpaling. Kadang pura-pura sibuk dengan bestienya. Kadang tertawa keras-keras di kafe kampus sama teman kelompoknya sambil membuka laptop, seolah benar-benar tenggelam dalam tugas. Ada saja alasannya. Semua pesan Wh4tsApp Zayne diabaikan. Semua panggilan tidak dijawab. 51 missed call berubah jadi ratusan. Chat penuh kalimat putus asa, pengakuan bersalah, permintaan maaf, tapi semua diswipe, diskip, dibiarkan terbaca tanpa balasan. Namun, Liora juga tidak memblokirnya. Entah kenapa, sebagian dari dirinya masih belum siap menekan tombol itu. Mungkin karena rasa sakit itu terlalu besar untuk benar-benar diakhiri. Mungkin karena sebagian kecil hatinya masih berharap semuanya cuma mimpi. Dan hasilnya? Zayne Lesmana, Ketua BEM yang dulu selalu tampil sempurna, kini terlihat … hancur. Lingkar matanya menghitam. Rambutnya acak-acakan. Langkahnya berat. Saat rapat BEM, ia duduk diam, tak lagi menatap siapa pun. Biasanya, Zayne adalah pusat ruangan, semua orang menunggu arahannya, kagum pada karismanya. Sekarang? Ia seperti bayangan dirinya sendiri. Bisik-bisik mulai terdengar di seluruh fakultas. “Eh, Ketua BEM kenapa ya? Mukanya kayak orang belum tidur tiga hari.” “Katanya berantem sama pacarnya, tuh.” “Pacarnya kan si Liora, ya? Duh, kasihan juga … dulu mesra banget.” Liora hanya terus berjalan melewati mereka. Dagunya terangkat. Pandangan lurus ke depan. Dari luar, ia tampak tak peduli. Seolah rumor itu cuma angin lalu. Tapi di dalam daada, setiap kata, setiap bisikan itu, terasa seperti serpihan kaca yang menembus kulitnya. Ia menelan semuanya dalam diam, karena di dunia Liora sekarang, kelemahan bukan untuk ditunjukkan. Terutama kalau Evelyn masih berkeliaran di sekitarnya, menunggu celah untuk menyerang. Kepalanya tetap tegak. Langkahnya tetap mantap melewati koridor kampus yang penuh tatapan ingin tahu. Namun, di dalam hati, suaranya berbisik lirih, mengulang-ngulang seolah itu adalah mantra. “Aku harus kuat. Aku harus bikin semua orang percaya aku baik-baik aja … walaupun sebenarnya aku udah hancur.” * * Zayne meraih lengan Liora tepat di ambang gerbang utama kampus. Jari-jarinya gemetar, suaranya tercekat. Cowok itu memang sudah sengaja menunggu Liora disana. Dia hapal seluruh jadwal kuliah Liora di luar kepala. “Lio …” Liora menoleh. Tatapannya tajam tapi tenang. Ada kilau luka di matanya, tapi luka itu bukan lagi luka biasa, itu adalah api yang sedang dikurung. Api yang tidak akan menyala hari ini. Tapi nanti … saat waktu dan posisi tepat, ia akan membakar semua yang menyakitinya. “Zayne.” Suaranya dingin, nyaris tanpa nada. Zayne menelan ludah. Rambutnya berantakan, kemejanya kusut, matanya sembab dengan lingkar hitam yang jelas. Bukan lagi Ketua BEM yang selalu rapi dan percaya diri, melainkan pria patah yang sedang menggantungkan dirinya pada satu harapan terakhir. “Liora … tolong. Aku cuma mau jelasin … sebentar aja. Aku nggak minta kamu maafin sekarang. Aku cuma … aku cuma pengen kamu denger penjelasan aku.” Liora diam beberapa saat Kepalanya menunduk sedikit, seolah berpikir … tapi pikirannya sudah jelas. Biarkan dia merasa punya kesempatan. Biarkan dia merasakan harapan. Lalu remukkan. “Aku ada janji sama dokter,” ucapnya akhirnya, dengan nada lembut. Zayne langsung mengangguk, cepat-cepat menangkap celah. “Aku antar, ya? Biar aku aja yang antar kamu, please.” Ada nyala di matanya. Sedikit, tapi cukup untuk memperlihatkan bahwa Zayne masih percaya hubungan mereka bisa diperbaiki. Dan itu adalah kesalahan pertama yang Liora biarkan dia buat. “Oke,” jawabnya pelan. Zayne terlihat sedikit tercengang. Lalu senyumnya muncul, samar, gugup, seperti seseorang yang baru bangkit dari kubur. Ia melepaskan lengannya dari Liora dan menyeka wajahnya cepat, malu-malu, sebelum kembali berjalan di sisi gadis itu. Mereka berjalan berdampingan melewati taman tengah kampus. Suasana kampus tetap riuh, tapi dunia seperti menyempit di sekitar mereka. Mahasiswa yang duduk di bangku taman mulai melirik. Bisik-bisik pelan terdengar. “Eh, itu Zayne sama Liora lagi bareng?” “Bukannya mereka udah …?” “OMG, mereka baikan? Gila, cepet banget!” Liora mendengar semuanya. Tapi ia tidak bereaksi. Ia hanya memasang senyum tipis, bukan untuk Zayne, bukan untuk mereka, tapi untuk dirinya sendiri. Senyum kemenangan kecil dari seseorang yang tahu … ini adalah permainan. Dan dia sedang memegang semua kartu. Zayne sesekali melirik ke arah Liora. Matanya lelah, tapi penuh harap. “Terima kasih, Lio. Sumpah … makasih banget udah mau ngomong. Aku janji, nanti aku jelasin semua. Dari awal, dari kejadian itu. Aku tahu aku salah, tapi, aku nggak mau kamu benci aku …” Liora mengangguk pelan. “Setelah dari dokter, ya.” Hanya itu, tidak lebih. Tidak ada janji. Tidak ada ‘aku juga kangen kamu’. Tapi cukup untuk membuat Zayne merasa masih punya kesempatan. Mereka sampai di parkiran. Zayne dengan refleks membuka pintu mobilnya untuk Liora, seperti dulu, sikap refleks dari seseorang yang masih ingin percaya bahwa segalanya bisa diperbaiki. Tapi Liora? Ia masuk ke dalam mobil dengan tenang. Mata lurus ke depan. Hatinya dingin. Karena hari ini bukan tentang penyembuhan. Ini adalah langkah pertama, langkah yang kecil tapi terencana. Langkah menuju balas dendam yang tidak akan datang dalam satu hentakan, tapi dalam serangkaian luka halus yang akan mengiris pelan-pelan, sampai orang-orang yang menghancurkannya merasakan rasa sakit yang tak bisa disembuhkan. Dan Zayne Lesmana? Adalah target pertama dalam permainan panjang yang baru saja dimulai. * * Kursi ruang tunggu dr. Gabriel penuh sesak. Beberapa bumil duduk sambil mengelus perutnya, ada pasangan yang berbisik pelan sambil menggenggam tangan. Liora duduk tegak di pojok ruangan. Rambutnya diikat rapi, wajahnya tanpa ekspresi, matanya hanya terpaku pada papan antrean elektronik di dinding. Sementara di sampingnya, Zayne duduk gelisah. Mata cowok itu sembab dan sayu, tampak seperti seseorang yang sudah berhari-hari tidak tidur dengan benar. Kenapa Liora ke dokter kandungan? Pertanyaan itu menari di benak Zayne sejak tadi, seperti duri yang tak bisa dia cabut. Tapi lidahnya kelu. Ia tidak berani menyinggung, takut salah bicara, takut kehilangan kesempatan kecil yang akhirnya muncul setelah diabaikan. Tadi di mobil, suasananya lebih dingin lagi. Zayne menyetir dalam diam, sementara Liora duduk di sebelahnya menatap ke luar jendela tanpa sepatah kata. Tak ada musik, tak ada percakapan, hanya napas mereka yang sama-sama berat. Sekarang, di ruang tunggu ini, beberapa pasien mulai memperhatikan mereka. Tatapan-tatapan ingin tahu mulai bermunculan. Bisik-bisik kecil menyusul. “Mereka masih mahasiswa, ya?” “Kayaknya masih muda banget deh …” “Kok ke dokter kandungan, sih? Jangan-jangan …” Zayne menunduk. Panas merambat sampai ke telinganya. Rasa malu dan gelisah bercampur jadi satu, tapi dia tetap diam. Ia menoleh sedikit ke arah Liora, lalu berbisik dengan suara lirih, serak, tapi tulus. “Lio …” Liora tidak menoleh. Pandangannya tetap lurus ke depan. Zayne menelan ludah, lalu memaksa senyum kecil muncul di wajahnya yang lelah. “Kamu tau nggak … impian aku selama ini?” Suaranya pelan, nyaris pecah. “Persis kayak gini. Aku duduk di sebelah kamu … nunggu kamu di dokter kandungan. Cuma bedanya, ketika aku udah resmi jadi suami kamu.” Liora menahan napas. Hatinya seperti ditarik antara dua sisi, luka dan tekad. Rasa sakit itu masih ada, tajam dan perih, tapi di baliknya, ada sesuatu yang dingin mulai mengeras. Ia menatap Zayne dalam-dalam. Tatapan itu datar, tapi berbahaya. “Lucu,” katanya pelan. “Aku juga pernah bayangin hal yang sama. Cuma bedanya … sekarang aku sadar, semua itu cuma mimpi bodoh.” Kalimatnya lembut, tapi rasanya seperti pisau yang menembus daada Zayne. Cowok itu terpaku, raut wajahnya menegang dan hancur. “Lio …” suaranya serak, matanya mulai memerah. “Aku akan tebus semua kesalahanku. Aku janji. Aku nggak akan ninggalin kamu. Aku akan jaga kamu, apa pun yang terjadi.” Ucapan itu, yang seharusnya terdengar manis … malah membuat suasana ruang tunggu semakin menegang. Bisik-bisik kembali muncul, lebih jelas dari sebelumnya. “Tuh kan, pacarnya bilang mau tanggung jawab …” “Astaga …” “Anak sekarang ngeri banget.” Beberapa pasangan menoleh tanpa malu, menatap mereka dengan pandangan kasihan bercampur menghakimi. Zayne menunduk dalam, menggenggam tangannya di pangkuan, berusaha tidak meledak oleh rasa malu. Tapi matanya kembali terarah ke Liora, yang tetap tak bereaksi. Ia tidak peduli pada tatapan orang, tidak peduli pada dunia. Yang Liora rasakan sekarang hanya dua hal, sakit … dan dendam. Papan antrean berbunyi. Suara perawat memanggil dari pintu sisi kanan. “Pasien berikutnya, Liora Ella Wijaya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD