4 | Butuh Psikolog

1759 Words
Fix, hatiku bermasalah! Aku perlu menemui dokter cinta, barangkali. Sekadar bertanya, kenapa rasa patah hatiku berbeda? . . Ketahuilah, untuk membintangi film adaptasi dari drama Korea, di mana isinya tentang kehidupan menikah. Sedangkan, Cely belum bersuami. Untungnya, dia punya pengalaman jatuh hati. Demikian, agar bisa mendalami perannya sebagai istri sah yang diselingkuhi, Cely membayangkan pria kecintaan dan memosisikan diri sebagai pihak tersakiti. Dalam sebuah acara talk show yang isinya membicarakan soal film tersebut, Cely menjelaskan, "Iya, untuk mendalami peran itu aku sampai nonton full episodenya, bahkan ada adegan yang aku tonton berulang-ulang, terlebih saat besoknya aku akan take adegan itu. Tapi tentu nggak yang 'plek' aku samain karena kami juga mengusung khas perfilman Tanah Air, cuma memang aku banyak nonton drama Koreanya. Ya, aku pelajarilah gitu." Tanggapan Cely pun menuai pujian netizen di media sosial. Sedang Cely amati. Syukurlah, tidak ada hujatan. Malah kebanyakan memberi semangat untuk Cely dan memuji aktingnya luar biasa sampai penonton di rumah menjatuhkan air mata di adegan Cely tahu bahwa suaminya mendua. Di samping itu, Cely juga sampai menyesuaikan tampilan wajahnya dengan make up agar terlihat lebih dewasa dari usia asli. Pun, dia diet hingga mencapai berat badan dengan angka ideal tokoh utama di drama tersebut. Karena Cely memang agak membahenol tadinya. Yeah, sekarang kurusan. But, Cely justru suka look tubuhnya yang ini. Bila make up-nya dipupus, Cely jadi seperti usia dua puluh empatan lagi; sesuai umur. Ini menurutnya, ya. "Cel, standby!" Oh, sudah mau mulai lagi. Cely harap syuting film ini lekas selesai, lalu tayang sampai end, sebelum muncul skandal buruk tentangnya. "Camera ... rolling ... action!" Waktu demi waktu berlalu, adegan demi adegan diambil, hingga sutradara berucap, "Cut!" Ini yang terakhir di malam itu. Ya, pukul sepuluh Cely baru selesai. Pernah sampai jam tiga pagi. "Cel." "Iya, Kak?" "Kamu kenal cowok yang namanya Regan?" ucap Kak Andrew—salah satu kru di sini. Sambil menyerahkan minuman hangat untuk Cely, sama seperti yang lain; diberi minuman. Seketika Cely menegang, tetapi tidak begitu kentara. "Kenapa emang?" Selepas berterima kasih. "Nyariin. Katanya, 'sebut aja nama saya. Regan. Cely juga kenal.' Gitu. Minta ketemu." Waduh. "Di mana orangnya?" Kak Andrew mengedik dagu menunjuk ke arah belakang—sebetulnya itu pelataran depan, tetapi posisi Kak Andrew memunggungi. Yakni, area parkir. "Deket mobil kamu." Gawat. "Oh ... oke, oke. Makasih, Kak." "Tapi hati-hati, Cel. Jangan asal nemuin." "Iya, Kak. Nggak. Ini aku lagi nunggu Kak Tito." Dan Kak Andrew tadi pun berlalu. Cely lantas masuk ke sebuah ruangan yang agak jauh dari orang-orang. Lokasi syutingnya memang di sebuah rumah gedongan. Well, dia menghubungi nomor asing yang selama ini suka meneleponnya. Tiga kali terdengar nada sambung, panggilannya diangkat. Cely langsung bilang, "Ada perlu apa datang ke tempat syutingku?" Hening. "Bicara lewat telepon aja, Mas. Silakan, kali ini aku dengerin." Masih hening. "Mas, plis, jangan gini. Hubungan kita berakhir juga, kan, gara-gara Mas sendiri. Udah, ya? Jangan ganggu aku. Ikhlas aja hubungan kita berakhir." Sampai seperti itu pun masih tidak ada jawaban. Wait. Cely mengecek layar. Teleponnya masih terhubung. Ini betul kontak Mas Regan, kok. Cely pernah dapat telepon dari nomor tak dikenal, lalu sesudahnya nomor itu mengirim pesan dan ada identitas Mas Regan. Nah, nomor ini ... oke, Cely cek lagi. "Mas Regan?" Ah, tidak. Ya Allah .... Bukan! Nomornya beda, di saat Cely sedang mencocokkan. Seketika jantung Cely bertalu-talu kencang. Dan di detik hendak dia matikan, dari seberang telepon sana terdengar suara pria yang berucap, "Saya Sakti." Oke, bye! Cely auto klik ikon merah di layar. A-apa-apaan ini? Cerobohnya dia. Hanya karena nomor asing, Cely langsung mengklaim itu kontak sang mantan. Namun, dia tidak salah tentang nomor asing yang masuk memang ada yang atas nama Mas Regan. But, yang Cely hubungi ini beda nomor. Kebiasaan buruk Cely, yakni sembrono. Bisa-bisanya dia memilih jadi artis dengan kebiasaan buruk macam ini. Oke, tenang. Tadi katanya ... siapa? Sakti? Eh? SAKTI?! Cely tatap nomor ponsel itu lagi. Yang saat hendak dia hubungi ulang, detik itu Cely terkesiap atas kedatangan seseorang. "Di sini rupanya." Kak Tito menghela napas lega. Cely ikutan lega. "Ditelepon, kok, sedang berada di panggilan lain, sih, Cel?" Ya, memang. "Aku lagi teleponan tadi." "Oh. Ya udah, yuk, pulang? Jadwalmu udah selesai." Tidak, tidak. Tunggu! Cely menahan langkah Kak Tito. "Kenapa?" tanya beliau. Karena Kak Tito satu-satunya orang yang tahu soal masalah percintaan Cely, maka dia ceritakan tentang sosok bernama Regan yang ada di sini. Di dekat mobilnya. "Kalo gitu temui aja, Cel. Tapi nggak sekarang dan bukan di sini. Biar Kakak yang hadapi dia dulu. Kalian emang harus ketemu dan ngobrol berdua. Ya, Kakak anterlah nanti. Gimana?" "Kapan?" "Mau besok aja? Di Kafe Universe yang aman. Kayak kemarin itu." Di sini cukup sepi. Obrolannya juga pelan. "Oke, deh. Jadi ini aku tunggu sini dulu?" "Iya. Kamu gabung aja, tuh, sama yang lain. Nanti Kakak ke sini lagi jemput." Baiklah .... "Makasih, Kak." Ya, seperti itu saja. Namun, sebentar! Ini serius kontak Kak Sakti? Yang tadi Cely telepon. *** Tiba di rumah sekitar jam setengah sebelas malam. Cely langsung masuk kamar. Bebersih badan, juga skincare-an. Sesudahnya dia beranjak rebahan di ranjang, dengan membawa serta ponsel di tangan. Cely melihat lagi kontak Kak Sakti. Kapan kiranya awal mula nomor itu menghubungi. Oh, ini nomor yang menelepon di hari Cely pulang dari bengkel. Namun, kok, bisa itu nomor Kak Sakti? Maksud Cely, nomor pribadinya ini sangat rahasia. Hanya orang-orang tertentu yang tahu, termasuk Mas Regan. Belum sempat Cely ganti. Kak Sakti tahu dari mana kontaknya? Jangan-jangan valid seratus persen soal praduga bahwa Kak Sakti adalah laki-laki yang diterima pinangannya oleh papi? Jantung Cely berdetak semakin kencang. Gemuruhnya menyenangkan. Dan ... muncul harapan. Haruskah Cely telepon lagi sekarang? But, untuk apa? Atau dia chat dulu saja? Ah, tetapi ini sudah tengah malam. Oke, besok. Dan ketika esok hari tiba, Cely sempatkan sarapan bersama keluarga. Begitu adik-adik Cely selesai lebih dulu dan mereka bubar, kini hanya tersisa tiga orang. Papi bertanya, "Habis film yang jadi projek Kakak ini selesai, apa udah ada taken kontrak buat film judul lain?" "Belum. Baru-baru ini Kakak biasa nerima tawaran film paling nggak jeda beberapa bulan setelah tayangan film terbaru Kakak selesai." Cely menyuap melon yang sudah diiris-iris. "Oke, jangan dulu ambil." "Tapi memang kenapa, Pi?" "Kakak, kan, mau nikah," seloroh mami. Cely hampir tersedak. Tunggu, tunggu! Menikah? Ya ampun! "Ini pernikahan Kakak, tapi kenapa, kok, kayak Papi sama Mami yang atur? Kakak bahkan belum tahu pasti siapa cowoknya." Jelaslah dia protes. Mami terkekeh. "Bercanda. Kaget, ya?" "Mi, plis! Jangan gitu." Cely betulan syok. "Papi mau kita semua liburan keluarga setelah Kakak selesai dengan film ini." "Berarti jadwal lain juga harus Kakak kosongin, dong, Pi?" "Iya. Kakak sesuaikan dulu aja. Minimal satu minggulah." Cely mengangguk. Untungnya, bila dulu Cely yang mencari uang, sekarang uang yang mencari Cely. Dalam arti, Cely dulu mencari projek apa lagi yang bisa dia ambil. Sekarang justru Cely yang kebanjiran projek sehingga bisa menolak tawaran dan hanya mengambil beberapa. "Ya udah, Kakak mau siap-siap dulu." Ada jadwal pemotretan pagi ini. *** Seperti biasa, jadwal pagi Sakti adalah kunjungan ke bengkel motornya. Menjelang siang, dia datangi bengkel cat dan body repair. Tidak lama di sana, Sakti pun berakhir di EliteMobil Service sampai sore. Soalnya, kantor Sakti juga berpusat di situ. Sakti ada pikiran untuk membuka jasa cuci kendaraan juga. Namun, dia belum menemukan lokasi yang tepat. Lantas, pagi ini Sakti mendapati ponselnya berdering. Dia pun menepi ke sisi bengkel yang jauh dari bising kegiatan. Pukul delapan memang bengkel sudah mulai beroperasi. Atas nama Cely. "Halo?" Terdengar suara semalam yang juga menghubungi. Sakti balas dengan lantunan salam. Lalu tampaknya Cely berdeham sebelum menjawab, "Waalaikumsalam. Ini Kak Sakti?" "Sepertinya kamu senggang," balas Sakti, tanpa mengiakan. "Dapat kontakku dari siapa?" Tampaknya, Cely sangat penasaran dan mulai yakin bahwa ini nomor Sakti. Memang benar, kok. "Pak Mars." Sakti seolah bisa membayangkan bagaimana raut wajah Cely sekarang. Reaksinya itu sangat bisa dibaca. Ya, Cely memang ekspresif sedari dulu. "Tunggu, tunggu! Ada banyak banget pertanyaan di kepala aku." "Santai saja. Tanyakan satu per satu." Sakti pun berpindah ke mobilnya. Teleponan di dalam mobil terasa lebih privat. "Kok, bisa?" "Dari sekian banyak tanya di kepalamu, itu yang kamu keluarkan paling awal?" "Kak Sakti dekat sama papiku?" "Beliau wali murid saya dulu." Iya, iya, Cely muridnya. "Dan saya pernah tinggal cukup lama di rumah Pak Mars." Itu Cely juga tahu. Di sini, di tempatnya. Cely sedang di mobil dalam perjalanan menuju lokasi pemotretan. "Maksud aku, hubungan kalian sebatas itu, kan? Tapi sekarang, kok ...." "Semakin dekat," timpal Sakti. Menatap jari manisnya yang bertengger di setir kemudi. "Kak ... nanti kita bicara lagi. Tapi aku mau kita ketemu." "Boleh. Tentukan saja tempat dan waktunya." "Oke. Aku save nomornya." "Silakan." "Y-ya udah ... udah dulu." Cely terdengar gugup. "Iya." Lalu hening. Cukup lama sebelum Cely bilang salam, Sakti menjawabnya. Barulah telepon dimatikan dari seberang. Sakti pun mengantongi ponsel dan kembali ke bengkel. *** KYAAA ...! Itu gambaran suara teriakan Cely yang dia tahan-tahan di benaknya. Ya Allah, Ya Allah! Apa ini, Pemirsa? "Sepertinya kamu nggak benar-benar cinta sama Regan, ya, Cel?" Eh? "Kok, tiba-tiba Mas Regan, Kak?" Kak Tito menatap dari cermin depan. "Mukamu jelas banget nggak kayak manuisa yang lagi patah hati. Apalagi kasus kalian itu, kan, termasuk yang tragis buatmu. Harusnya, ya." "Benar juga," gumam Cely. Lalu tertawa. "Tapi pada masanya, aku cinta, kok, sama Mas Regan. Cuma ... iya, ya? Kenapa aku nggak ada muka patah hati - patah hatinya?" Seraya becermin di cermin bedak. Duh, iya. Kok, malah kayak tampang bahagia? Semringah semriwing gimana gitu, ya. Aneh ini. Fix, Cely harus buat jadwal ke psikolog. Kak Tito sampai geleng-geleng kepala. Cely berdeham-deham. Tapi memang aneh, kan? "Jangan lupa siang ini ketemu Regan di Kafe Universe, Cel." Cely menutup bedak dengan lunglai. "Untuk ukuran manusia yang baru putus, kamu bener-bener gambaran sosok yang gampang move on." Masa? Tapi, kok, dulu Cely susah sekali move on dari Kak Sakti, ya? Dia sampai menangis konyol berhari-hari. Iya, menangisi pria yang bahkan Cely yakini sama sekali tidak ada rasa padanya. Cely sendiri masih SMP waktu itu. Hari-harinya sangat suram. Dan rasanya ... itu patah hati paling sakit yang Cely rasakan. Padahal dibanding dengan kasus Mas Regan ... harusnya yang dulu tidak seberapa. Namun, ini seakan terbalik. Padahal, Cely benar-benar mencintai Mas Regan dan beliaulah yang membuat Cely lupa akan perasaannya terhadap Kak Sakti. But, saat terkuak sebuah fakta menyakitkan tentang hubungannya dengan sosok Regan, lalu Sakti muncul secara tiba-tiba setelah sekian lama, kenapa semudah itu perasaan Cely dijungkirbalikkan jadi ke kondisi awal mula sebelum ada Regan? Benar, Cely butuh pendapat psikolog. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD