3 | Cincin Kawin

2132 Words
Aku tidak berani berharap. Tapi kalau ternyata itu kamu, ya, aku batal pikir-pikir dulu. . . Cely masuk. Dia benar-benar ada di dalam. Rupanya bengkel mobil ini memiliki satu ruangan khusus yang cukup nyaman dan bersih. "Tidak bau oli, kan?" Begitu kata sang empu. Ya, sekarang Cely yakin bahwa bengkel ini milik Kak Sakti. Mulai dari sapaan para montir terhadap beliau, lalu gelagat leluasa Kak Sakti ketika membimbing Cely ke ruangan ini, yang ternyata ruangan pribadi. Apa lagi kalau bukan pemilik, ya, kan? Sampai punya ruangan khusus untuk diri sendiri dan Cely melihat ada foto beliau bersama bapak di sini, ada juga foto keluarga, termasuk dengan Onty Bia. Yang belum Cely temukan hanya foto Kak Sakti bersama wanitanya. Ngomong-ngomong .... "Mereka apa kabar?" Tiba-tiba Cely bertanya, tatapannya lurus ke sebuah frame di dinding. Cely kenal mereka, keluarga Kak Sakti. Dulu waktu SMP pernah liburan ke kampung halaman pria ini. Kak Sakti tampaknya mendekat, ikut serta melihat foto yang Cely pandang. Ruangan ini cerah disinari cahaya matahari dari jendela yang tirainya baru tadi dibuka lebih lebar oleh Kak Sakti. "Baik," sahut beliau. "Oh, ya, ini aku masuk-masuk ke sini emang nggak pa-pa?" Seraya berbalik. Agak tersentak saat ternyata sosok Kak Sakti tepat di belakangnya hanya dengan jarak setengah langkah. Otomatis Cely mundur. Sakti mendapati gelagat kurang nyaman dari gadis itu. "Ruangan ini milik saya, selagi saya mengizinkan maka nggak masalah." "Maksudku ...." Tatapan Cely turun ke jemari Kak Sakti yang ada cincinnya. "Nggak bakal ada gosip selingkuh? Aku nggak mau, ya, namaku tercemar. Kupikir tadi di dalam itu nggak yang di dalam ruangan pribadi juga. Kurasa sebaiknya aku tunggu di luar aja." Tak langsung dijawab. "Oh, ya, Kak ... makasih." Sebelum benar-benar memutuskan untuk melenggang. Cely pun hanya tinggal buka pintu, tetapi gerakannya terhenti di detik dia mendengar .... "Kamu punya pacar?" Wait. "Tunangan?" Lelaki itu bicara. Cely sontak berbalik. "Atau suami?" Kening Cely sampai mengernyit. "Kenapa aku? Kakak sendiri udah ada istri, kan?" Maksud Cely, nanti dia yang dituduh pelakor. Atau sekali lagi terkesan seperti gatal kepada laki orang. Baiknya memang tadi dia tidak masuk, tetapi ajakan Kak Sakti sudah seperti sihir ampuh atas langkah kaki Cely hingga tahu-tahu berada di dalam sini. Degan sudah dihubunginya sang manajer agar menelepon bila telah sampai di depan bengkel. "Saya belum menikah." Eh? Cely tertegun. Belum menikah? Oh, oke. "Tunangan barangkali," tukas Cely. "Belum ke tahap itu." Jawaban Kak Sakti memancing percikan api asmara di d**a putri Mars ini, yang sungkan Cely akui. "Oh, pacar berarti." So, di jari manis Kak Sakti rupanya cincin couple kekasih, bukan cincin nikah atau tunangan. Ya, meski demikian, tetap saja Cely tidak boleh dekat-dekat pria yang sudah berpemilik. Dia harus lebih hati-hati. Jadi, segera berbalik untuk lanjutkan niatan keluarnya dari ruangan ini. "Belum bisa dibilang pacar." Namun, lagi-lagi gerakan Cely terjeda. Di belakangnya, Kak Sakti lanjut berkata, "Lagi pula saya bukan tipe yang mau pacaran." Oke, fine. "Terus itu cincin apa?" Dengan agak ngegas Cely menunjuk cincin di jari Kak Sakti. Meski demikian, kok, rasanya dia senang, ya? Hingga detak di d**a mulai awut-awutan lagi, serupa debar yang dahulu kala pernah ada. Saat Cely masih remaja. Perasaannya seolah terlempar ke zaman itu. Cely melihat Kak Sakti menatap jari manisnya sendiri seraya berucap, "Cincin pelindung." Hah? Maksudnya? Kak Sakti percaya yang begituan? I mean, itu cincin dari dukun? Paranormal? Atau— "Supaya orang-orang memiliki praduga seperti kamu, dan saya terhindar dari perempuan yang barangkali ingin dekat-dekat." A-apa katanya? Kak Sakti melangkah maju. "Kamu di sini saja, biar saya yang keluar. Niatnya tadi pun mau begitu kalau kamu nggak nanya kabar keluarga ... dan bicara ke mana-mana." Pintu ruang akhirnya dibuka, tetapi bukan oleh Cely, melainkan Kak Sakti. Hal yang membuat Cely tersentak menyingkir beberapa langkah agar tidak kepentok daun pintu dan tubuh lelaki itu. Oke, Cely sendiri di sini. Diam. Dia sedang mencerna situasi dan ucapan-ucapan yang tadi didengar. Kak Sakti belum menikah, tidak sedang berada di dalam sebuah ikatan pertunangan, tidak punya pacar, dan memakai cincin hanya agar terlindung dari godaan kaum Hawa yang ingin mendekati atau para orang tua yang suka menyodorkan anak gadis mereka. Masuk akal. Namun, kenapa menjelaskan hal itu kepada Cely yang jelas-jelas dia ini perempuan paling berpotensi mendekati beliau? Maksudnya, setelah tahu ternyata makna cincin di jari Kak Sakti seperti itu ... Cely jadi terpikir untuk mencoba menarik perhatiannya. Ah, tidak-tidak. Maksud Cely, dia ini wanita, toh? Sebut saja predator bagi Kak Sakti yang ingin 'melindungi diri dari sosok sejenis dengannya'. Wanita. Harusnya dibiarkan saja Cely berpikir itu cincin kawin, dong? Cincin tunanganlah minimal. Atau tadi cincin couple sama pacar. Iya, iya, benar! Kenapa malah membocorkan rahasia cincin di jari manisnya? Ke Cely? Dia jadi senyum-senyum sendiri begini, kan, duh! Argh, Kak Saktiii! Masih jomlo rupanya. *** "Udah Papi bilang, kan, mobil yang itu jangan dipakai dulu? Memang belum di-service, belum dicek juga." Cely pulang, dia cerita bahwa mobilnya mogok dan untung di dekat EliteMobil Service. Tampaknya papi tidak tahu kalau itu nama bengkel Kak Sakti. Fokus papi pada mobil Cely. "Lupa," kata Cely. "Abisnya itu mobil kesayangan Cely, kenapa nggak diutamakan perawatan mobil yang itu?" "Minggu lalu kamu habis beli baru. Papi pikir memang mau ganti." Soal mobil. "Kalau kesayangan, ya, nggak bakal gantilah, Pi. Rusaknya pun bakal dibenerin. Lagi pula masih bagus, cuma tersisihkan aja perawatannya." Itu, kan, mobil hadiah dari Papi saat Cely pertama kali bisa berkendara roda empat. "Ya sudah, yang penting sekarang kamu udah di rumah, mobilmu juga udah diurus sama montir." "Iya. Sama tadi Cely juga sekalian minta tolong dicek-cekin dan ganti aja kalo udah nggak mumpuni permesinannya biar mulus lagi." Cely asal bicara karena sejatinya dia tidak paham tentang otomotif, tetapi inilah yang dia sampaikan kepada Kak Sakti sebelum pulang saat sudah dijemput oleh manajer. "Dan lagi, Cely beli mobil baru itu buat gonta-ganti aja, Pi. Bukan ganti permanen." "Iya, iya, gimana kamu. Toh, uang Kakak juga. Pesan Papi, sih, asal bukan dipakai ke hal-hal maksiat uangnya." "Aman, Pi." Cely pun pamit ke kamar. But, tidak. Langkahnya berhenti. Cely kembali duduk di depan papi yang sedang scroll media sosial; melihat-lihat berita tentangnya. Biasanya itu kegiatan papi selancar di medsos. Memantau gosip sang anak. "Pi." Pas sekali, mami datang meletakkan irisan buah bertabur keju dan diberi s**u. Untuk papi pastinya. "Apa?" Setelah mengucap terima kasih kepada mami. Mami pun duduk. Papi menyimpan ponsel di meja, ganti jadi memegang mangkuk salad. Cely katakan, "Kakak nggak mau dijodohkan." "Siapa yang menjodohkan memang?" "Papilah. Papi, kan, yang nerima lamaran orang buat Kakak?" Pokoknya, Cely tidak mau. "Kalian udah ketemu?" Ini mami. "Belum." "Belum tau orangnya, kok, udah kekeh nolak?" lontar papi. Ya, Cely belum tahu sampai detik ini karena tidak ada akses untuk melihat CCTV rumah. Itu dipegang papi. Orang-orang rumah juga serempak merahasiakan. Apa-apaan banget, kan? "Oke. Siapa emang? Kasih tau Kakak." "Kemarin mau dikasih tau, disuruh pulang sebelum jam tujuh, malah ngaret. Salah siapa jadi nggak tau?" Papi melahap potongan buahnya. Cely berdecak. Menyebalkan, ya? Dia tidak datang tepat waktu karena itulah aksi unjuk rasanya terhadap putusan papi, meski di sisi lain sangat penasaran siapa laki-laki yang memintanya kepada beliau. Cely pikir dia bisa mencari tahu sendiri lewat pegawai di rumah ini, lewat CCTV juga, tetapi nyatanya tidak ada hasil. Belum lagi ini perumahan yang jauh dari tetangga. Sekalinya ada yang cukup dekat, dinding pagar satu sama lain bermeter-meter tingginya hingga tecermin kawasan individualis. "Ketemu dulu aja, Kak." Ini mami. "Dan nanti kalo dibilangin makan malam di rumah atau apalah, manut. Karena itu bisa jadi ajang pertemuan kalian." "Lagian kenapa, sih, Mi, cowoknya main rahasia-rahasiaan segala? Biar apa coba?" "Ya, biar kamu putus dulu sama pacarmu," celetuk papi. "Papi bilang kalo kamu udah ada pacar, tapi Papi menerima pinangannya karena jujur ... Papi nggak akan pernah setujuin kamu dengan pacarmu." "Udah putus." Akhirnya, Cely ungkapkan. Eh, papi mencibir. Lho, tidak percaya? "Lagi pula Kakak pasti suka. Dia tipe Kakak banget, lho." Mami bicara. Sebaik-baiknya tipe Cely, tetapi kayaknya kalau bukan Kak Sakti dan lalu dia bertemu sosok Kak Sakti yang masih available, Cely tidak akan suka. Ya, kecuali kalau ternyata itu Kak Sakti. Ingin Cely sampaikan hal tersebut, tetapi malu. Ingat masa remaja dulu dia sampai merengek minta papi melamar Kak Sakti dan menjodohkan dengannya. Untuk kelak saat mendewasa. Tentu, tidak papi lakukan. Dan sekarang Cely merasa itu aksi yang cukup memalukan. Nah, kalau sekarang dia sebut Kak Sakti ... malulah. Cely tidak seberani dulu yang urat malunya sering dikesampingkan. Ah, terserahlah! Cely beranjak ke kamar. Lagi pula aneh. Niat merahasiakan tidak, sih? Kalau niat, terus kenapa kemarin mengadakan acara makan malam bersama? Kan, rahasianya cepat terbongkar kalau Cely hadir saat itu. Oh, ponsel Cely berdering. Nomor asing. Yakin, itu Mas Regan. Yang Cely abaikan. Sepertinya dia harus ganti kartu. *** Sakti menerima kartu nama manajer Cely untuk dihubungi saat mobil biru itu selesai diperbaiki. Dia pun menyimpan kontak tersebut ke ponsel pribadinya, tetapi tidak untuk dihubungi saat ini sekali pun mobil Cely selesai dibenahi. Dia lalu mendekat ke arah mobil itu. Bicara dengan montir yang menanggungjawabi perbaikannya, lalu sisanya Sakti yang gantikan. Biar dia yang turun tangan langsung untuk mengurus mobil murid bela dirinya di masa gadis itu remaja dulu. Ada yang me-notice kelakuan bos mereka, meski hanya dengan lirik-lirikan sesaat, lalu fokus bekerja lagi. Ya, bagaimana tidak? Ini Sakti Adhyaksa. Sekalinya terlihat dekat dengan perempuan, rupanya langsung seorang Cely Daneswara Semesta. Siapa coba yang tidak tahu Cely? Ibarat Ariel Tatum di kalangan pemuda Tanah Air. Mereka tahu sosok bintang film itu, yang juga kerap menjadi model brand ternama. Cely pernah ikut Paris Fashion Week. Tadi pun mereka gatal ingin mendekat, minimal minta foto bareng mumpung ada di depan mata. Namun, keduluan dengan munculnya bos mereka. Sakti. Ya, mana berani? Alih-alih kerja, malah mengerubungi publik figur yang sedang kena musibah mobil mogok. By the way, Cely aslinya ramah ternyata. Tadi balas menyapa, disenyumi pun balas senyum, tutur katanya juga baik dan sopan. Paling penting, usut punya usut sosok Cely Daneswara itu kenal dengan bos mereka. Pun, bos mereka tampak akrab dengan gadis itu. Yang tak pernah mereka sangka-sangka. Ternyata selama ini Sakti Adhyaksa bukannya tidak suka wanita, hanya memang tipe idealnya mematok di sosok Cely Daneswara. Ya, pantas saja para gadis yang kerap mendekat, mental seketika. Saingan mereka Cely, cui! Itu obrolan montir di masa rehat mereka tiba, tentu saat tidak ada pak bos di sana. Sekali pun Sakti memakai cincin, tetapi mereka yakin aslinya pak bos jomlo garis keras. Dulu, sih, iya geger dan mengira sudah official, tetapi lama-lama ketahuan juga motif di balik pemakaian cincin itu. Sekarang ketahuan lagi sosok wanita seperti apa yang memikat di mata pemilik EliteMobil Service. Cely Daneswara Semesta rupanya. Mobil wanita itu pun Sakti sendiri yang mengantarkan, alih-alih menelepon sosok manajer, padahal sudah ada kartu namanya. Coba apa namanya kalau bukan sudah terpikat? *** Baru saja Cely mau berangkat syuting. Eh, mendapati ramai-ramai suara papi dan mami di depan. Yang ternyata sedang kedatangan tamu. "Nah, ini anaknya. Cel, mobil kamu, nih, udah beres!" kata mami. Cely mendekat. Detik itu tatapannya bersirobok dengan sorot mata Kak Sakti. Gemuruh lama sepertinya kembali, Cely tidak mengerti kenapa hatinya masih mengenali debar itu. Yang mestinya ini hari-hari patah hati atas perbuatan Mas Regan, tetapi Cely justru ... apa, ya? Seolah tidak ada bekas luka sama sekali. Hanya berupa kesal akibat telah dibodohi. Lebih daripada itu, fokus Cely justru berlabuh di pria ini. Yang mana telah mengantarkan kuda besinya kemari. "Kenapa nggak telepon manajerku aja, Kak? Repot-repot." Dan manajer Cely sudah di mobil, menunggunya. "Bukannya bilang makasih, Cel, udah dianterin supaya manajer kamu yang nggak repot-repot," komentar mami. Cely berdeham. "Iya, makasih udah dianterin. Terus ini habis berapa, ya, Kak? Notanya mana?" "Sudah dibayar." Oh? "Oke. Sekali lagi makasih, ya, udah dianterin." Cely lalu beralih kepada orang tuanya. "Mi, Pi, Kakak berangkat. Udah ditunggu Kak Tito di depan." "Ya udah, hati-hati. Beres syuting langsung pulang, jangan ke mana-mana dulu." "Iya." Seraya cium tangan. Kalau ke Kak Sakti ... tidak perlu salim, kan? Cukup pamit dengan anggukan. Cely pun berlalu. Pintu mobil dibukakan, dia masuk. Duduk di jok tengah. "Kak, tadi abis berapa mobilku?" Saat mobil sudah melaju. "Lho, nggak tau, Cel. Emang nggak bilang ke kamu? Kan, orang bengkelnya masih ada di dalem kalo gak salah. Nggak ketemu?" Gerak Cely yang sedang memoles lipstik seketika berhenti. Apa sudah dibayar oleh papi, ya? Mami? Yang Cely kira biaya tagihannya dikirim ke kontak Kak Tito. Rupanya tidak, ya? Cely lalu tercenung. Yang tiba-tiba saja terpikir, jangan bilang laki-laki yang diterima pinangannya oleh papi itu ... pinangan Kak Sakti? Dari sekian banyak hal yang Cely kait-kaitkan, berhubung katanya Kak Sakti bukan pria berpemilik, lalu mami bilang sosok pria tersebut adalah tipe Cely banget, dan lagi ... pertemuan di pusat kebugaran, di Kafe Universe, hingga aksi Kak Sakti hari ini terhadapnya. Oh, masa iya, sih? Kak Sakti orangnya? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD