Turbulensi

1766 Words
Malvino melempar ipad ke meja di depannya membuat Nicholas mendongak dari ponsel yang sedang ia genggam. “Baca tuh, elo dikadalin si Vania.” Malvino kemudian tertawa puas. Dengan tampang malas, Nicholas meraih ipad tersebut lantas matanya memindai apa yang tertera di layar. Sebuah artikel media online memberitakan aktris pemeran pembantu salah satu film Hollywood yang kini sedang booming di seluruh dunia, terlihat bergandengan tangan keluar dari hotel bersama seorang pria pemeran utama film tersebut. Vania Cherry, nama aktris yang sedang diberitakan itu adalah mantan tunangan Nicholas. Tatapan sendu Nicholas sempat tertangkap jelas oleh Malvino tapi kemudian netra Nicholas menggelap dengan rahang mengetat. “Biar filmnya laku,” ujar Nicholas yang masih saja membela sang mantan tunangan. Malvino kembali tertawa. “Oke ini settingan tapi gimana kalau dia keenakan? Udah lah Niko, dia itu ambisius dengan kekayaan dan popularitas.” Malvino berusaha mempengaruhi pikiran adiknya yang ia duga masih mengharapkan Vania. “Dia enggak butuh kekayaan, dia lahir dari keluarga kaya.” Nicholas menyanggah ucapan sang kakak. “Nah itu, dia enggak butuh duit tapi gila popularitas sementara pengusaha kaya kita mana pernah wara wiri di televisi, jadi mending lo berhenti berharap sama si Vania.” “Gue udah enggak berharap sama dia lagi,” tukas Nicholas dingin. “Trus mau sampai kapan lo ngejomblo?” Ah, kakaknya ini memang menyebalkan. “Belum ada yang cocok.” Nicholas menatap Malvino kesal. Nicholas ini memang irit bicara, sekalinya bicara yang keluar adalah kalimat pendek. Terkadang Nicholas hanya diam di tengah acara keluarga, entah lah mungkin dia sedang cosplay menjadi batu nisan. Tapi yang pasti selama ini hanya Vania yang mampu membuat Nicholas banyak bicara, apalagi jika sudah membicarakan Vania, terlihat sekali jika Nicholas begitu memuja perempuan itu. “Di pesta Grandpa nanti bakalan abis lo ditanyain kapan nikah ... cuma elo cucu grandpa di umur tiga puluh satu tahun yang belum nikah, sepupu kita si Arsen sama Ivanka aja udah punya gebetan bentar lagi tunangan.” Malvino mengingatkan situasi yang akan dihadapi Nicholas nanti. “Alana belum.” Nicholas menjawab singkat. “Yaelah, si Alana baru juga masuk kuliah ... mana ngerti dia masalah pacaran.” Nicholas menaikan kedua bahunya, ia tidak peduli dengan urusan pacaran juga tidak peduli bila di acara ulang tahun kakeknya nanti akan menjadi bulan-bulanan seluruh keluarga karena belum juga memiliki pasangan. Malvino akan berhenti menggoda adiknya bila Nicholas sudah terlihat malas-malasan diajak bicara. Pria itu lantas beranjak berdiri kemudian melangkah mendekati Sera-sang sekertaris. Memberi kode melalui mata, Malvino meminta Sera mengikutinya. Ke mana lagi jika bukan sebuah kabin tertutup dengan satu ranjang king size yang menjadi tujuan Malvino mengajak Sera. Nicholas menatap punggung Malvino yang berjalan menjauh diikuti sekertarisnya, mengembuskan napas jengah—kesal sendiri karena tidak mampu berbuat apa-apa. Ia hanya bisa mengingatkan tapi tidak ada satu pun nasihat yang diterima dengan baik oleh Malvino sampai akhirnya Nicholas memilih diam membiarkan sang kakak terlibat cinta terlarang bersama sekertarisnya. Malvino telah menikah dengan seorang wanita cantik yang merupakan model terkenal Taiwan dan bersama wanita bernama Cindy Liu itu—Malvino telah memiliki dua orang anak perempuan. Namun tetap saja, Malvino tidak puas dengan kesempurnaan rumah tangga yang dikaruniai Tuhan kepadanya. “Pak,” sapa Ayara sambil menunduk ketika berpapasan di lorong dengan Malvino dan Sera yang hendak memasuki kamar di kabin belakang. Pikiran Ayara mulai liar menduga-duga apa yang akan dilakukan Malvino bersama sekertarisnya di dalam sana. “Lo dicariin Niko tuh,” ucap Malvino berdusta. Ayara membulatkan matanya. “Saya, Pak?” “Iya, buruan sana.” Malvino terlihat serius membuat Ayara percaya. “Baik, Pak ... permisi.” Secepat kilat Ayara melangkah menuju kabin depan di mana sang tuan muda tampan berada. Sementara itu Malvino dan Sera masuk ke dalam kamar untuk menghabiskan sisa perjalanan dengan bercinta. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Ayara bertanya satu detik setelah ia berada tepat di depan Nicholas. Nicholas hanya melirikan matanya tanpa mengubah posisi menanggapi pertanyaan Ayara. Kening pria itu juga berkerut karena bingung, beberapa saat keduanya hanya saling menatap tanpa suara. Dan demi apapun, tatapan dingin Nicholas mampu membuat Ayara membeku sambil menahan napas. “Pergi sana,” usir Nicholas dengan ekspresi terganggu. Ayara mengerjap dengan wajah pias. “Tapi tadi Pak Malvino bilang kalau Pak Niko manggil saya.” “Emang b******k nih si Malvin.” Nicholas membatin, ia berpikir Malvino sedang mengerjainya dan Ayara. “Bawakan saya Wine.” Akhirnya Nicholas memerintah Ayara, kebetulan juga dirinya haus. “Baik, Pak ... sebentar.” Ayara tersenyum kemudian menghilang secepat kilat untuk mengabulkan permintaan Nicholas. “Mau ngapain?” Elza bertanya saat melihat Ayara berhamburan ke arahnya. “Pak Niko minta wine, yang mana katanya wine kesukaan dia? Cepetaaan.” Ayara membuka setiap kabinet di pantry berusaha mencari wine favorite sang tuan muda. “Cie, yang tadi dipangku pak Niko ... ampe stress gini padahal cuma diminta bawaiin wine, nih wine-nya ... enggak kaliatan ya saking grogi.” Elza menyodorkan satu botol wine ke depan Ayara. Tim Ayara mendapat pelatihan khusus sebelum melayani sang owner sehingga mereka sudah mengetahui apa yang disukai dan tidak disukai si pemilik perusahaan ini yang notabene terkadang keinginannya berbeda dengan manusia normal pada umumnya. Ayara langsung memeluk wine itu sambil mengembuskan napas lega. “Ini masalah hidup dan mati, Mbak ... kalau dia sampe kecewa bisa diganti tim kita.” Hal ini sangat penting bagi Ayara karena menjadi air crew Nicholas mendapatkan gaji dan bonus lebih besar dibanding air crew yang melayani penyewa privat jet. “Ooooh, bukan karena ingin memikat hati pak Niko? Kirain lo keenakan duduk di atas pangkuannya ... gedong enggak, Ra?” Elza paling hobby menggoda juniornya yang polos seperti Ayara. Belum juga Ayara menjawab, terjadi turbulensi tiba-tiba yang tidak sempat Abinawa informasikan. Ayara berpegangan dengan satu tangan pada kabinet sementara satu tangannya masih memeluk botol wine erat-erat. “Ups, ma ... maaf, Pak.” Elza yang tidak sempat berpegangan berakhir dalam pelukan Revan-sang sekertaris tampan. “Kamu enggak apa-apa?” Suara Revan terdengar merdu penuh perhatian hingga membuat jantung Elza berdendang ria dan wajahnya seketika merona. Sialannya, meski guncangan telah berhenti—pria itu masih memeluk Elza memastikannya tetap aman. “Eng ....” Elza melirik Ayara yang sedang mengulum senyum. Bisa dibayangkan bullyan balasan dari Ayara yang akan diterima Elza setelah ini. “Enggak ... apa-apa Pak, maaf sa—“ “Permisi, Pak ... saya tinggal dulu, tadi pak Niko minta dibawakan wine,” sambar Ayara menyela kalimat Elza yang kemudian melengos begitu saja tidak lupa memberikan kedipan satu mata untuk Elza. Kedipan mata itu memberitau Elza, jika Ayara akan pergi dan selanjutnya—di pantry—semua terserah Elza dan Revan. Setibanya di kabin tengah, Ayara meletakan gelas di meja untuk Nicholas. Terjadi lagi turbulensi ketika hendak membuka botol wine. Kedua tangan Ayara yang tengah sibuk membuka botol wine membuatnya tidak sempat berpegangan hingga gadis itu kembali terjatuh di pangkuan Nicholas dengan posisi menyamping. Kali ini Nicholas refleks memegang pinggul Ayara karena turbulensi yang terjadi cukup kuat dan panjang. Ayara menahan napas tatkala merasakan kedua tangan dengan gurat otot samar itu melingkupi pinggulnya. Gelas di atas meja nyaris jatuh namun refleks Nicholas sangat sensitif membuat satu tangannya masih sempat menggapai gelas yang belum berisi wine. Suara Abinawa mengudara melalui speaker yang terdapat di sepanjang kabin, sang Pilot memberi intruksi agar memasang seatbelt karena akan menembus kumpulan awan. Kesadaran Ayara segera saja ditarik paksa, ia hendak berdiri namun guncangan semakin hebat membuatnya tidak bisa turun dari atas pangkuan Nicholas. Ayara menunjukan ekspresi menyesal penuh permohonan tapi Nicholas membalasnya dingin tanpa perasaan. Sorot mata Nicholas jelas-jelas mengusir Ayara agar beranjak dari pangkuannya. “Maaf ... saya duduk di atas pangkuan Pak Niko dulu ya sampai turbulensi selesai.” Dengan sangat terpaksa Ayara mengucapkannya, napas gadis itu tertahan karena takut melihat raut wajah Nicholas yang tidak bersahabat. Tapi jika Ayara bergerak, khawatir akan membahayakan nyawanya. Di sisi lain Ayara juga takut timnya diganti karena telah lancang duduk di atas pangkuan Nicholas, padahal jika saja Nicholas bukan bosnya—Ayara bisa menikmati bagaimana rasanya dipangku oleh pria tampan bak titisan Dewa dengan rahang tegasnya yang diselimuti bulu halus. Di situasi genting seperti ini bisa-bisanya Ayara mengkhayal, maklum saja sudah terlalu lama tidak merasakan belaian seorang pria. Saat guncangan sedikit mereda, dengan berat hati Ayara berusaha turun dari atas pangkuan Nicholas. Berpegangan pada sandaran kursi—Ayara menyebrangi lorong untuk tiba di kursi di samping Nicholas. Ayara nyaris limbung ke belakang namun telapak tangan Nicholas lagi-lagi refleks menahan Ayara tepat di b****g lalu mendorong b****g sintal itu agar sampai di kursi lain. Jika saja Ferdi atau Yogi yang melakukan hal tersebut kepada Ayara, sudah dipastikan wajah mereka akan mendapat hantaman heels Ayara. Tapi ini Nicholas Aldrich Lazuardy, owner dari perusahaan penerbangan tempatnya mencari nafkah jadi Ayara maklumi pria itu menyentuh bokongnya terlebih ia tau jika Nicholas hanya bermaksud membantu. Berarti Nicholas masih punya hati, pikir Ayara walau sebenarnya Nicholas hanya tidak ingin Ayara terjatuh lagi di atas pangkuannya. Setelah berhasil menggapai kursi, Ayara langsung duduk dan memakai seatbelt. Botol wine pesanan Nicholas yang sedari tadi ia jaga dengan nyawanya itu Ayara peluk agar tidak jatuh. Guncangan masih belum berhenti meski tidak sekuat sebelumnya. “Tuhan, jangan dulu panggil Aya .. kasian mami sama Dhika ... siapa yang mau bayarin utang-utang papi ... ijinkan Aya hidup lebih lama Tuhan, Aya janji jadi anak baik, nurut sama mami.” Ayara bergumam dan tanpa sadar gumamanya yang cukup kencang menembus gendang telinga Nicholas. Pria itu menoleh dengan kerutan di antara alis. Selama guncangan, mulut Ayara tidak berhenti komat-kamit menggumamkan permohonannya kepada Yang Maha Kuasa. Nicholas pikir jika Flight Attendant tidak takut mati tapi nyatanya mereka juga manusia biasa yang merasa khawatir jika ajal menjemput secara tiba-tiba. Ayara membuka mata ketika pesawat berhenti berguncang. Tanda melepaskan sabuk pengaman pun telah berganti warna menjadi hijau. Ayara sudah bisa melayani Nicholas, membuka tutup botol wine lalu menuangnya ke gelas. “Silahkan Pak, jika masih kurang ... Pak Niko bisa panggil saya dan maaf untuk yang tadi.” Ayara menundukan kepala ketika mengatakannya, tidak berani menatap mata Nicholas yang selalu tajam tidak ramah. Hening, Nicholas tidak menanggapi bahkan pria itu belum menyentuh gelas winenya. “Saya permisi,” ujar Ayara yang mengartikan keterdiaman Nicholas sebagai jawaban ‘Ya’. Ayara berbalik, mulai melangkah dengan kaki lemas menyusuri lorong kabin pesawat. Ia nyaris tersungkur karena kakinya masih gemetar setelah turbulance barusan, bertahun-tahun menjadi pramugari—Ayara belum juga terbiasa. Jika bukan karena harus melunasi hutang mendiang papinya, Ayara sudah berhenti menjadi Pramugari semenjak putusnya pertunangan dengan Abinawa. Tapi pekerjaan ini menghasilkan uang cukup besar setiap bulan yang bisa ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya dan menyicil hutang Robby Pramudhya-sang papi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD