Angka di jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.45, tapi mata Cantika masih enggan terpejam. Kamar pengantinnya di rumah keluarga Maverick sudah di decor meski nanti dia dan Cantika tidak akan menempatinya karena Ezra sudah memesan sebuah suit dengam harga lima puluh lima juta semalam di sebuah hotel, gaun pernikahan tergantung di lemari kaca, sepatu satin putih berhiaskan kristal menunggu di bawahnya. Ia duduk di balkon lantai dua, bersandar pada kursi rotan, selimut tipis melingkupi kakinya. Dari sini, lampu kota Jakarta berkilauan seperti hamparan bintang. Jantungnya berdetak cepat, bukan karena udara malam, tapi karena besok—hanya beberapa jam lagi—ia akan berjalan menuju Ezra. Ketika pikirannya mulai larut dalam campuran gugup dan bahagia, suara ketukan pelan terdengar di pintu ba

