4. Gara-gara hujan

1575 Words
Keesokan harinya, Freya yang masih terlelap di atas tempat tidur tiba-tiba merasa ada yang mengguncangkan tubuhnya. Gadis itu membuka matanya secara perlahan, kemudian ia mendengus saat mengetahui siapa pelaku yang mengganggu tidur nyenyaknya. "Bangun, Freya!" Ya. Siapa lagi kalau bukan Bara. Lelaki itu sudah berada di rumah ini sejak jam lima tadi. Membantu sang Ayah mertua mencuci mobil dan memotong rumput. Baru setelah itu ia bergegas membangunkan Freya, karena jam sudah menunjukkan pukul 06.00. "Dingin Bar, aku mau tidur aja." Rengek Freya, sambil memeluk gulingnya erat. "Udah jam enam Frey, nanti kamu telat kuliah." "Nggak mau kuliah. Izinin." Ucap Freya, dengan mata yang masih tertutup. "Berapa matkul hari ini?" tanya Bara. "Satu doang. Sampai jam setengah sembilan." "Yaudah kalau gitu." Ucap Bara, sambil membenarkan selimut Freya. Kemudian ia mengambil remot AC dan menurunkan suhunya, agar Freya tidak semakin kedinginan. "Aku berangkat ke Kampus dulu ya." Pamit Bara, membuat Freya langsung membuka matanya. "Pagi amat. Keburu pengen pacaran ya?" sahut Freya sedikit sewot. Membuat Bara menghembuskan nafasnya kasar. "Aku ada bimbingan pagi ini Frey, sebelum Pak Rio ngisi matkul." "Oh, kirain." "Mau dibawain apa nanti?" "Pulang pagi apa siang?" "Pagi." "Bubur ayam depan Kampus." "Okay." "Sama bakso goreng." "Apa lagi?" "Udah, itu aja." Bara menganggukkan kepalanya. Sebelum pergi, lelaki itu mendekati Freya. Kemudian mencium lembut keningnya. Membuat mata Freya terbelalak, dengan jantung yang berdegup kencang. Ini yang Freya benci pada Bara, lelaki itu selalu bersikap manis pada Freya seolah-olah ia tidak memiliki hubungan dengan Elisa. Meskipun Bara selalu mengatakan bahwa ia hanya menganggap Freya sebagai adik, namun perlakuannya ini mampu membuat hati Freya semakin tidak karuan. "Bara anjing!" umpat Freya pelan. Tak lama kemudian, terdengar gemuruh suara hujan yang begitu deras. Sehingga Bara yang tadinya sudah berada di luar kamar, kini kembali memasuki kamar Freya seraya menyengir lebar. "Kenapa?" tanya Freya heran. "Hujan. Aku nggak jadi pergi ke Kampus." Ucap Bara, sambil mendorong pelan tubuh Freya. "Geseran!" perintahnya, membuat Freya mendengus kesal. "Dih. Katanya ada bimbingan? Sana berangkat! Ada mobil Ayah tuh." "Nggak ah. Mobilnya habis dicuci. Nggak enak sama Ayah." Dengan percaya dirinya, lelaki itu masuk ke dalam selimut Freya dan beringsut mendekati Freya. Freya yang tidak nyaman dengan perlakuan Bara, tentu saja langsung menjauhkan tubuhnya dan mendorong kasar tubuh Bara. "Ck. Jangan dempet-dempet ah. Geseran sana!" kesal Freya. "Aku juga kedinginan, Frey." "Ambil selimut di lemari sana!" "Males." Sahut Bara singkat, seraya mendekati Freya kembali. "Bara ih. Sana jauhan! Aku males deketan sama kamu!" Geram Freya. "Kayaknya kamu doang deh, yang nggak mau deketan sama orang ganteng." "Iya. Aku alergi cowo ganteng." Jawab Freya asal. Membuat Bara tertawa kecil. "Sini Frey, aku peluk." Ucap Bara, membuat Freya langsung bergidik ngeri. "Idih. Najis mugholadhoh." "Astaga, mulutnya! Kayak nggak pernah di sekolahin aja. Sini cepet! Aku peluk biar nggak kedingingan." "Nggak mau. Bekas orang lain." Ketus Freya. "Siapa? Nggak ada yang aku peluk dari kemarin." Bantah Bara. "Mandi kembang tujuh rupa dulu. Baru boleh meluk aku." Ketus Freya, seraya membalikkan tubuhnya membelakangi Bara. Apakah lelaki itu tidak peka? Jika orang yang Freya maksud adalah Elisa? Everyone, tolong bantu Freya untuk menyadarkan Bara. "Freya! Frey!" terdengar suara teriakan Mega yang berada di luar kamar. "Iya Bun?" sahut Freya ikut berteriak. Mega membuka pintu kamar Freya. Dirinya sedikit terkejut, saat melihat Bara yang masih berada di sana juga. Ia kira, Bara sudah berangkat ke Kampus. "Loh. Bunda kira, kamu udah berangkat Bar." Ucap Mega, membuat Bara menyengir lebar. "Hehe. Males Bun, lagi hujan." "Katanya ada bimbingan?" tanya Mega. "Mau izin aja. Pak Rio juga lagi sibuk kayaknya." Jawab Bara, yang hanya diangguki oleh Mega. "Eh. Bunda mau keluar dulu ya, Sayang. Tetangga ada yang meninggal. Nanti kalau laper langsung ke dapur aja. Udah Bunda masakin." "Siap Bun." Sahut Bara. "Okay. Bunda pergi ya, Sayang!" ucap Mega, sambil berlalu pergi meninggalkan Bara dan Freya. *** Di aula Fakultas, sudah terkumpul beberapa Mahasiswa yang terpilih menjadi team paduan suara yang diketuai oleh Nanda, wanita yang memilih Freya untuk menjadi dirigen saat di Bogor kemarin. Dari dua belas orang yang terpilih, dua diantara mereka adalah Mika dan Teresa, sahabat Freya. "Okay. Selamat siang teman-teman semua." Ucap Nanda, menyapa para peserta yang sudah berjejer di depannya. "Siang!" sahut semua orang. "Udah pada tau kan, kalau team padus kita dipersiapkan untuk acara wisuda dua bulan kedepan?" "Udah!" ucap semua orang dengan serentak. "Okay. Karena waktu kita nggak lama lagi, jadi saya mohon kerja kerasnya ya teman-teman! Akhir-akhir ini, kita bakal disibukkan dengan latihan. Jadi, teman-teman harus memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin." Ucap Nanda, disertai dengan senyuman manisnya. "Kak Bara ikut wisuda nggak, Kak?" tanya salah satu wanita yang berkacamata. Nanda menggeleng, kemudian kembali berucap "Kak Bara belum selesai skripsinya." "Yaah." Ucapnya kecewa. "Ada yang mau ditanyakan lagi?" tanya Nanda. "Dirigennya Freya kan, Nda?" tanya Mika. Fyi. Nanda adalah teman seangkatan Mika, Teresa dan Freya. Bedanya, ia mengambil jurusan Bisnis dan manajemen. Sama seperti Bara dan Elisa. "Iya, Freya dirigennya. Eh. By the way Freya kemana ya?" ucap Nanda, saat menyadari ketidak hadiran Freya. "Bolos kuliah." Sahut Teresa, yang hanya diangguki oleh Nanda. Tak lama kemudian, Elisa datang bersama team panitia yang lain. "Kenapa Kak El?" tanya Nanda. "Dirigennya bisa diganti nggak?" tanya Elisa balik. Membuat Nanda langsung mengerutkan keningnya bingung. "Nggak bisa dong Kak. Kita semua udah sepakat kalau dirigennya Freya." Balas Nanda. "Kan belum mulai latihan Nda! Bilang aja ke Freya, kalau dia diganti sama orang lain." "Nggak bisa gitu Kak Elisa! Semua panitia udah sepakat kalau dirigennya Freya!" geram Nanda mengulangi ucapannya. Hal itu tentu saja mengundang kejulidan antara Mika dan Teresa. Kedua wanita itu langsung membicarakan Elisa secara pelan-pelan. "Tuh orang ngapain sih? Bikin ribut aja." Bisik Mika pada Teresa. "Tau dah, caper amat! Berasa kayak Kampus milik sendiri aja, seenaknya ngatur-ngatur orang." Sahut Teresa yang terlihat sangat geram. "Iya. Panitia udah cape-cape nyari peserta, eh dia malah seenaknya mau cancel orang." Ucap Mika yang didengar oleh seseorang disampingnya. "Kirain gue doang yang kesel sama dia. Dia tuh pinter doang, tapi nggak pernah mikirin perasaan orang lain. Gue aja pernah sakit hati gara-gara omongan dia." Sahut seseorang yang duduk di samping Mika dengan pelan. "Ya iyalah. Dia kan cuma mikirin perasaan Bara doang." Ucap Mika, membuat orang itu tertawa kecil. Sementara itu di depan sana, Nanda dan Elisa masih berdebat satu sama lain. "Nda, ini acara serius. Bukan upacara 17 Agustusan. Mulai dari MC sampai paduan suara, semua harus dipersiapkan secara matang. Kalau dirigennya nggak berpengalaman, bisa-bisa hancur padus kalian." Cerocos Elisa, membuat Nanda semakin geram. "Ya kan ada waktu latihan selama dua bulan Kak! Lagian, Freya juga nggak belajar secara otodidak kok, ada Bu Ani yang bakal ngajarin dia." Ucap Nanda. "Nanda, kalau nyari peserta itu jangan dilihat dari wajahnya aja. Kamu juga harus lihat profesionalitas dan kemampuan dia. Freya itu urakan, orangnya! Aku nggak yakin, dia bisa serius waktu latihan." Nanda menarik nafasnya, kemudian menghembuskannya secara perlahan. Sebisa mungkin ia harus menahan emosinya agar tidak meledak begitu saja. Apalagi orang yang ia hadapi ini adalah Elisa, orang yang selalu benar di mata Dosen dan semua manusia di Kampus ini. "Kak, mohon maaf banget ya. Kakak kan bukan panitia, kenapa ikut pusing? Udah lah, biar kita aja yang mikirin ini. Masalah kemampuan dan profesionalitas Freya, itu biar jadi urusan kita. Okay?" ucap Nanda. Dari nada bicaranya saja sudah terlihat bahwa gadis ini sedang menahan emosi. "Ck. Yaudah lah, terserah kamu. Nanti kalau ada apa-apa, jangan nyesel ya!" ucap Elisa. Kemudian berlalu pergi meninggalkan Nanda yang masih menatapnya kesal. Setelah kepergian Elisa, Mika dan Teresa kembali membicarakan wanita itu. Lalu disahuti lagi oleh seseorang yang duduk di samping Mika. "Muka Nanda kayak nahan emosi banget." Gumam Teresa. "Iyalah. Gue kalau jadi Nanda juga udah misuh-misuh. Kalau mau usul mah, harusnya dari kemarin." Sahut Mika. "Bukannya, dia udah selesai sidang ya? Kok nggak ikut wisuda?" tanya seseorang di samping Mika. "Pengan wisuda bareng Bara katanya." Jawab Mika. "Ooh." Gumam orang itu sambil menganggukkan kepalanya. "By the way, nama lo siapa dah?" tanya Mika. "Sisil." Jawab wanita itu. "Jurusan apa?" tanya Mika lagi. "Hukum." Jawabnya. "Semester?" "Tiga." "Oh." Setelah itu, kegiatan menghibah mereka selesai. Karena Nanda sudah memulai kembali acara pertemuan mereka. *** Bara berdiri sambil menghadap jendela di kamar Freya, melihat hujan di luar yang turun semakin deras. Sejenak ia mengingat kenangan masa lalunya bersama gadis kecil yang selalu muncul dalam ingatannya. "Kakak, Lala kedinginan." Ucap seorang gadis kecil dengan tubuh yang bergetar. "Kamu pakai jaket aku aja ya!" Bara melepas jaketnya. Dengan tangan yang bergetar, ia memasangkan jaketanya pada gadis kecil itu. Di bawah guyuran air hujan yang begitu deras, seorang gadis kecil dan pria kecil yang baru saja pulang dari sekolah itu berjalan bersama sambil bergandengan tangan dengan erat. "Bara!" panggil Freya, namun tidak ada sahutan dari lelaki itu. "Bar!" panggil Freya lagi dengan sedikit keras, membuat Bara langsung terlonjak dari lamunannya. "Eh. Iya?" sahut Bara. "Kamu ngapain ngelamun di situ? Nanti kesambet loh." Ucap Freya. "Lagi lihatin hujan, kok dari tadi nggak reda- reda." "Biarin aja kali! Malah enakan kayak gini, suasananya enak buat tidur." Bara mengangguk, menyetujui ucapan Freya. Suasana saat hujan memang paling enak dibuat untuk tidur dan bersantai sambil bermain game. "Makan yuk. Keburu dingin lauknya." Ajak Freya. Keduanya berjalan bersama menuju dapur. Suasana rumah sangat sepi, karena Bunda dan Ayahnya sedang takziyah ke rumah orang yang baru saja meninggal. Dengan telaten, Freya menyiapkan makanan untuk Bara dan dirinya. Lalu setelah itu mereka berdua makan dengan khidmat, tidak ada yang membuka suara satu sama lain. Hingga pada akhirnya.... "FAYAAA!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD