Di dalam kamar mandi sempit dengan cermin buram, Amara menopang tubuhnya di wastafel. Matanya terpejam, dan napasnya terengah. "Aku nggak bisa begini terus … aku harus jaga jarak dengan Pak Raymond," gumamnya lirih. "Tapi bagaimana caranya? Pak Raymond ... dia ayah dari bayi yang aku susui sekarang." Air mata menetes tanpa bisa Amara tahan. Sakit di tubuhnya seakan tak sebanding dengan rasa sesak di dadanya. Setelah beberapa menit menenangkan diri, Amara keluar dari kamar mandi. Dia membasuh wajahnya agar tidak terlihat pucat, lalu berjalan perlahan kembali ke warung bakso. Mata Amara sempat bertemu dengan tatapan Raymond yang penuh kekhawatiran saat dia kembali. Gadis itu buru-buru menunduk, dan duduk kembali tanpa sepatah kata pun. Diah yang melihat sahabatnya tampak pucat dan lemas