1 bulan kemudian.
Pagi itu Amara sudah bersiap untuk kembali ke kampus. Dia mengenakan blouse pink polos dan celan panjang berwarna hitam. Dia mengikat rambutnya setengah dan memakai sedikit riasan untuk menutupi wajahnya yang lelah akibat begadang semalaman karena Theodore rewel.
Raymond yang baru saja selesai bersiap-siap, melihat penampilan Amara hanya terdiam sejenak. Pria itu tak bisa memungkiri, jika gadis itu terlihat sangat berbeda dari empat bulan yang lalu.
Amara terlihat lebih matang, lebih tenang, meskipun raut kesedihan masih terpancar dari wajahnya. Tapi yang paling penting dari semua itu, entah mengapa Raymond merasa ... gadis itu lebih memikat.
“Kamu mau langsung ke kampus?” tanya Raymond sambil merapikan dasinya.
“Iya, Pak. Saya ada jadwal kelas jam 07.30 dengan Bapak dan juga jadwal untuk melanjutkan sempro jam 10:30,” jawab Amara sambil memasukkan beberapa map plastik dalam tasnya.
"Kalau begitu ayo kita berangkat sekarang. Saya akan menitipkan Theo sama Mama, dan jarak dari rumah Mama ke kampus itu lumayan jauh," ajak Raymond.
Di dalam mobil, suasana hening beberapa saat. Amara sedang menyusui Theodore yang tiba-tiba terbangun dan menangis. Sampai akhirnya Raymond membuka suara.
“Amara. Saya tahu situasi kita … aneh. Tapi saya ingin kamu tetap fokus pada kuliahmu dan juga menyusui Theo. Jangan pedulikan omongan orang-orang yang akan mengganggu mentalmu.”
Amara menoleh, menatap Raymond dengan mata berkaca. "Saya akan mencobanya, Pak. Tapi apa menghilangnya saya selama empat bulan, membuat geger satu kampus?"
Raymond menoleh sekilas pada Amara lalu kembali menatap jalan. "Ya seperti yang kamu duga. Semua dosen dan teman-teman seangkatanmu membicarakan kamu. Mereka berasumsi yang tidak-tidak, tapi siapa sangka beberapa dugaan itu ternyata benar."
Amara menunduk, tak dapat menjawab perkataan Raymond. Matanya memanas, tapi dengan cepat dia mengusapnya dengan punggung tangan.
Raymond yang melihatnya hanya diam, membiarkan Amara untuk mengeluarkan sedikit demi sedikit segala emosi yang ada di dalam hati.
Hening kembali tercipta di sepanjang perjalanan menuju rumah orang tua Raymond. Juwita sedang memasak saat mereka tiba, dan menawarkan keduanya untuk sarapan.
"Maaf Mah. Sudah tidak keburu untuk sarapan, mungkin besok aku akan datang lebih pagi," tolak Raymond sembari melihat sekilas smartwatch-nya.
Juwita mengulas sebuah senyum dan nengulurkan 2 kantung kain ke arah Raymond. "Mama sudah menduganya. Ini sarapan untuk kalian, kantung warna pink untuk Amara dan biru untukmu."
Setelah berpamitan pada Juwita dan memastikan Theodore nyaman di dalam boks bayi, Raymond dan Amara kembali masuk ke mobil. Kali ini suasana di dalam mobil terasa lebih hangat, mungkin karena aroma masakan dari dapur Juwita masih terbawa di udara, atau karena perhatian dari wanita paruh baya itu.
"Kalau kamu masih lapar. Makan saja," ucap Raymond sembari mengulurkan kantung bekal pada Amara.
Gadis itu menerimanya dan langsung mengeluarkan kotak bekal berwarna pink dari dalamnya. Mata Amara kembali memanas saat melihat isinya. Nasi goreng telur, potongan buah stoberi dan kiwi. Tak ketinggalan sebotol s**u almond.
Lagi-lagi ingatannya terlempar di masa sang ibu masih sering membawakannya bekal ke sekolah. Air matanya tak dapat lagi dia tahan. Amara menangis dan Raymond yang tidak tahu apa yang ada dalam pikiran gadis itu berpikir jika mahasiswinya ini masih mengalami baby blues pasca melahirkan.
"Tante Juwita perhatian sekali sama saya ... dan saya tidak tahu bagaimana harus membalasnya," gumam Amara setelah menguasai diri.
Raymond menoleh sebentar, lalu tersenyum kecil. "Mama memang seperti itu. Apalagi sekarang kamu tinggal bersama saya, menyusui dan ikut membantu merawat Theodore."
Amara hanya mengangguk pelan, lalu menatap jalanan yang mulai padat. Satu sisi hatinya merasa bersalah karena merasa seperti ‘menumpang hidup’, tapi sisi lainnya merasa ... hangat. Kehangatan keluarga yang sudah lama tidak dia rasakan.
Tak butuh waktu lama, mereka sampai di kampus. Raymond memarkirkan mobilnya di parkiran, pria itu lalu memutar tubuhnya menghadap ke Amara.
“Kalau kamu merasa tidak nyaman, jangan paksakan untuk bertemu banyak orang dulu. Fokus saja di kelas dan pergilah ke perpustakaan untuk mencari bahan untuk skripsimu," ucap Raymond serius.
Amara mengangguk. “Terima kasih, Pak. Untuk semuanya.”
Raymond hanya mengangguk ringan sebelum Amara turun dari mobil dan melangkah menuju fakultasnya. Beberapa mahasiswa yang mengenalnya langsung berbisik-bisik membicarakannya, tapi Amara sudah siap. Dia mendongakkan kepala dan melangkah dengan tenang, seperti yang Raymond ajarkan. Berjalan lurus, jangan terlalu cepat, dan jangan menunduk.
***
Di dalam ruangan kelas, suasana sedikit riuh saat Amara masuk. Beberapa teman seangkatannya menatap dengan ekspresi heran dan penasaran. Penasaran dengan alasan gadis itu menghilang saat jadwal sempro di mulai.
Tapi Raymond yang sudah lebih dulu berada di depan kelas, langsung mengalihkan perhatian mereka.
“Selamat pagi semuanya. semuanya. Kita akan mulai kelas sebentar lagi dan saya akan menjelaskan aturan dalam kelas saya selama semeter ini berlangsung. Jadi mohon perhatiannya."
Amara langsung duduk di barisan depan, membuka laptopnya dan mulai mencatat penjelasan yang diberikan oleh Raymond. Meski kini dia merasakan tatapan menusuk dari belakang, dia tetap fokus.
Di akhir kelas, Raymond menatap seluruh mahasiswa dan berkata tegas, "Sekian kelas pada pagi ini dan jangan lupa kumpulkan tugas kalian pada pertemuan berikutnya."
Suasana kelas tiba-tiba menjadi sunyi, tapi Raymond masih dapat melihat beberapa orang melayangkan tatapan sinis kepada Amara. Dia menghela napas kasar lalu kembali berbicara.
"Mohon perhatiannya. Sebagai dosen, saya ingin mengatakan jika kalian harus menilai teman kalian dari hasil kerja dan semangatnya. Bukan dari gosip atau asumsi semata. Dunia luar sudah cukup kejam, jadi jangan tambah beban orang lain dengan mengatakan hal yang tidak perlu.”
Kalimat itu langsung membuat seisi kelas terdiam. Semua orang tahu maksud kalimat Raymond. Beberapa wajah memerah, merasa tersindir, sementara yang lain menunduk malu.
Setelah kelas selesai, Raymond kembali ke meja dosen dan membereskan berkasnya. Amara menghampirinya pelan, menyodorkan laporan untuk bimbingan sempronya.
“Terima kasih, Pak ... untuk yang tadi.”
Raymond menatapnya dan tersenyum. “Itu memang tanggung jawab saya sebagai seorang dosen."
Amara tersenyum tipis, merasakan jika dunia tak lagi menakutkan seperti yang sudah-sudah.
Amara lalu meninggalkan kelas dengan langkah ringan, membawa semangat yang baru. Di sepanjang lorong fakultas, beberapa mahasiswa masih menatapnya, tapi kali ini tidak lagi setajam tadi pagi. Beberapa bahkan menyunggingkan senyum kaku sebagai bentuk basa-basi. Dan Amara membalas seperlunya.
Di taman kecil belakang gedung, tempat biasa para mahasiswa duduk santai atau menunggu jadwal kelas berikutnya, Amara memilih duduk sendiri. Dia membuka laptopnya dan mulai merapikan dokumen untuk persiapan seminar proposal.
“Amara?”
Suara itu membuatnya mendongak. Seorang perempuan berambut sebahu dengan blouse krem berdiri di hadapannya. Senyum malu-malu tergambar di wajahnya.
“Diah …” Amara menyambutnya dengan suara pelan.
Diah duduk di sebelahnya tanpa banyak basa-basi. "Kamu ke mana aja, Amara? Telepon dan chat aku nggak ada yang kamu balas. Kamu itu udah buat aku khawatir aja."
Amara terdiam saat melihat masih ada yang peduli padanya. Tapi dia tak yakin Diah akan menganggapnya teman, jika nanti gadis itu mengetahui semuanya. Hati kecilnya meraung-raung, mengatakan jika ingin menikmati sedikit saja perhatian yang diberikan oleh Diah.
"Handphone aku rusak dan aku belum sempat beli yang baru. Mungkin weekend nanti aku baru beli."
Diah mengerutkan dahinya merasa heran dengan perkataan Amara, tapi dia mengesampingkan dulu perasaan itu. Gadis itu menatap Amara dengan serius.
"Amara. Beberapa hari yang lalu aku lihat Hansen tentang jalan berdua dengan wanita lain. Apa kalian sudah putus?"
Pertanyaan itu membuat Amara memucat, nama yang sempat hilang berbulan-bulan yang lalu akhirnya muncul kembali. Nama dari seorang pemuda yang menghancurkan dirinya.