13. Terpampang Nyata

1155 Words
"Amara. Apa kamu mendengarku?" tanya Diah yang cemas saat melihat sang teman hanya terdiam. Diah bahkan sampai mengusap punggung Amara, memastikan gadis itu baik-baik saja. Sentuhan itu membuat Amara tersadar dari lamunannya, dia menatap dia dengan air mata yang menggenang. "Diah. Aku mohon padamu jangan pernah kamu menyebut nama b******n itu, karena aku sudah tidak memiliki hubungan lagi dengannya," ucap Amara dengan bahu bergetar, mencoba menahan emosi yang menggelegak di dalam hatinya. Diah menghembuskan nafasnya dengan kasar, akhirnya Amara menyadari juga jika Hansen adalah pria yang tidak baik. Tapi apakah seseorang baru akan menyadari kesalahannya, jika telah jatuh terpuruk seperti ini. "Aku senang kalau kamu tidak terikat lagi dengan dia, Amara. Kamu ini pintar dan cantik. Anggap aja dia adalah bagian dari masa lalumu yang buruk, sekarang kamu harus bangkit. Masih banyak cowok lain yang lebih baik darinya. Jadi jangan lama-lama sedihnya. Kamu masih harus menghadapi sempro dan membuat skripsi agar kuliahmu lulus," ucap Diah yang membuat Amara hanya terdiam. Mungkin untuk menyelesaikan kuliahnya, Amara akan melakukannya. Tapi untuk mencari pria lain, dia tidak akan melakukannya lagi. Dan lagi dia juga ragu, jika ada seorang pria yang mau menerima masa lalunya yang kelam. Diah yang menyadari jika Amara hanya terdiam, tidak melanjutkan lagi ucapannya. Diah memilih duduk dan menemani sang teman yang sedang berjuang bangkit dari keterpurukannya. "Aduh!" Amara berteriak saat merasakan kedua dadanya nyeri, hembusan napas panjang berkali-kali dia lakukan untuk meredakan rasa sakit itu. Saat tak sengaja menyentuh salah satu payudaranya, Amara baru teringat jika sudah waktunya untuk menyusui atau memompa ASI. "Amara! Kamu nggak apa-apa? Kamu kelihatan pucat sekali!" Teriak Diah yang membuat orang-orang di sekitar keduanya menoleh. Beberapa mulai mulai mendekat, bertanya apakah Amara mau dibawa ke klinik kampus. Namun Amara menolaknya, tidak mau jika seluruh kampus mengetahui jika dia pernah hamil dan melahirkan. "Ayolah Mara, kita ke klinik kampus. Wajahmu sudah semakin pucat," ucap Diah dengan memelas, merasa khawatir dengan keadaan sang teman. "Aku ... hanya butuh ... istirahat, Yah," kata Amara dengan kalimat terputus, menahan nyeri yang semakin terasa. "Tapi, Mara. Kamu udah keringat dingin seperti ini," bujuk Diah. Napas Amara mulai tersengal, dan beberapa dari mahasiswa sudah bersiap untuk membopong gadis itu menuju klinik kampus. "Ada apa ini?" suara seorang pria yang berat memecah keributan yang mulai timbul. "Pak Raymond!" Salah satu mahasiswi berteriak sembari menghampiri sang dosen. "Amara terlihat sakit dan kami mau membawanya ke klinik kampus, tapi dia menolak. Coba Bapak bujuk Amara, siapa tahu dia mau mendengarkan Bapak." Raymond segera menyusul langkah mahasiswi itu mendekati Amara. Benar saja, dia melihat wajah pucat gadis itu. Dia menghela nafas kasar sebelum akhirnya bersuara. "Kalian semua bubar. Berikan amara ruang untuk bernapas." Semua yang tadinya berkerumun satu persatu mulai membubarkan diri. Yang hanya menyisakan Raymond, Amara dan Diah. "Kamu kenapa Amara?" tanya Raymond sembari berlutut dan memegang wajah gadis itu. Jika saja Diah tidak merasa panik, mungkin gadis itu dapat merasakan sentuhan fisik yang dilakukan oleh Raymond sudah melebihi batas perhatian seorang dosen kepada mahasiswinya. Amara mengerjap lemah, menatap wajah Raymond yang hanya berjarak sejengkal. Nafasnya belum teratur, namun kehadiran pria itu seolah menjadi jangkar yang membuatnya tidak ambruk total. “Saya ... hanya butuh istirahat, Pak,” bisik Amara pelan, nyaris tak terdengar. Tubuhnya sedikit berguncang, dan Raymond dengan sigap menopang bahunya. Diah yang berdiri di samping ikut bicara, kali ini nadanya serius, “Pak, sepertinya Amara memang butuh penanganan medis. Tapi dia nggak mau dibawa ke klinik kampus. Saya nggak tahu harus bagaimana.” Raymond menatap Diah sejenak, lalu kembali pada Amara. “Amara, kalau kamu keberatan ke klinik kampus, bagaimana kalau saya antar kamu ke rumah sakit. Atau ... kalau kamu setuju, saya bisa antar kamu pulang sekarang." Amara terdiam. Rasa sakit di dadanya semakin menjadi, dia harus segera memompa ASI atau tubuhnya akan meriang. Namun, bagaimana cara dia mengatakannya, jika ada Diah di antara mereka. Dengan suara lirih, dia akhirnya mengangguk. “Tolong saya, Pak. Tolong. Rasanya sakit sekali." Awalnya Raymond tak mengerti mengapa Amara sampai memohon seperti itu, tapi matanya terbelalak saat tak sengaja melihat ke arah d**a gadis itu. Bagian itu basah dan mencetak sesuatu yang tidak seharusnya dia lihat. "Diah. Saya akan mengantarkan Amara ke rumah sakit. Kamu nggak usah khawatir dan cepat masuk kelasnya Pak Rizky," ucap Raymond pada Diah yang masih terlihat cemas. "Tunggu apa lagi. Cepat ke kelas Pak Rizky. Kamu tahu sendiri kalau beliau lebih killer dari saya." Diah tersentak saat mendengar 'ancaman' dari Raymond. "Ekh. Kalau begitu saya titip Amara, Pak. Saya permisi dulu. Mara, cepat sembuh, ya." Setelah mengatakan itu, Diah berlalu dari hadapan Raymond dan Amara. Setelah bayangan Diah tak lagi terlihat, Raymond langsung menyampirkan tas Amara ke bahunya dan menggendong Gadis itu menuju mobilnya. "Kamu mau ke rumah mama untuk menyusui Theo atau pulang ke apartemen untuk memompa ASI?" tanya Raymond sembari memanaskan mesin mobil. "Terserah Bapak saja. Aduh ... sakit sekali ..." Amara mengerang dan tanpa sadar memegang salah satu aset berharganya membuat Raymond langsung mengalihkan pandangannya. "Kalau begitu. Kita pulang ke apartemen yang lebih dekat dari sini," ucap Raymond yang segera melajukan mobil keluar dari area kampus. Sepanjang perjalanan, dia melirik Amara beberapa kali melalui sudut matanya. Wajah gadis itu masih pucat, tapi napasnya sudah lebih tenang. "Sejujurnya saya tidak memperkirakan kalau akan terjadi hal seperti ini. Sepertinya mulai besok kamu harus sering memompa ASI agar dadamu tidak terasa sakit," ucap Raymond pelan. Amara memejamkan mata sejenak dengan wajah memerah, tak menyangka dapat membahas hal sensitif ini kepada sang dosen yang sejak dulu sering berargumen dengan dirinya. Tapi Amara terlalu lelah karena menahan rasa nyeri di d**a, dia akhirnya memilih memejamkan mata agar Raymond tidak mengajaknya bicara lagi. Sesampainya di apartemen, Raymond memarkir mobil dan turun lebih dulu. Dia lalu membukakan pintu dan langsung menggendong Amara. Amara mengerang pelan ketika tubuhnya bersandar pada d**a Raymond. Meski awalnya sempat menolak dibawa, kini dia merasa pasrah. Nyeri yang terus menusuk dan tubuhnya yang mulai menggigil memaksanya untuk bersandar penuh pada pria yang selama ini hanya ia kenal sebagai dosen yang galak dan blak-blakan. Pintu apartemen dibuka Raymond dengan cepat. Dengan kaki panjang dan langkah sigap, ia membawa Amara langsung ke dalam dan menidurkannya di sofa, lalu meraih selimut tipis dan menyelimutinya. "Kamu tunggu di sini. Saya ambilkan bantal dan alat pemompa ASI," ucap Raymond yang segera masuk ke dalam kamar Amara. Lagi-lagi dia bersyukur karena Juwita sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Jika tidak, sudah bisa dibayangkan Betapa paniknya Raymond saat ini saat melihat a Amara kesakitan saat ini. Beberapa menit kemudian Raymond keluar dari kamar dan membantu Amara mempersiapkan peralatan untuk memompa ASI. "Saya ke dapur dulu untuk mengambilkan kamu air hangat." Amara mengangguk pelan. Setelah Raymond pergi ke dapur, dia membuka kancing baju bagian atas dan mulai memompa ASI dengan tangan gemetar. Saat cairan itu berpindah ke dalam kantung khusus ASIP, rasa sakitnya perlahan mereda. Beberapa menit kemudian, Raymond yang kembali sambil membawa segelas air hanya mematung. 'Sial! Kenapa aku harus melihat d**a gadis itu lagi, sih?' Maki Raymond di dalam hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD