Dua

1415 Words
Senin (17.00), 22 Maret 2021 ------------------ Seperti biasa, Nala tiba di rumah kontrakannya saat langit sudah gelap. Meski tampak jelas hidupnya sangat menyedihkan, Nala selalu punya cara untuk menyibukkan diri dan membuat otaknya tak berpikir muluk dengan mengkhayalkan hal-hal yang tak mungkin dia dapatkan. Namun malam ini berbeda. Kehadiran Aska mau tak mau membuka kembali luka lama. Membuat Nala ingin marah sekaligus mengasihani dirinya sendiri karena masih saja terpengaruh. Begitu berhasil membuka pintu rumah, Nala tak lantas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri seperti biasa. Dia malah menyandarkan punggung ke pintu yang sudah tertutup lalu merosot hingga terduduk di lantai dengan kedua lutut menekuk. Air mata Nala bergulir begitu memori kebersamaannya dengan Aska menguasai otaknya. Kegelapan sekitarnya memperparah derasnya memori itu. Nala ingat setiap detail. Seolah baru kemarin semuanya terjadi. “Apa yang kau lakukan?” Nala mendongak, menatap kesal ke arah pemilik mata cokelat itu yang mêrusak kesenangannya. “Kau hanya akan membuat dirimu sendiri sakit,” balas lelaki itu sama kesalnya. “Aku suka hujan.” Nala merengut. “Kau mengganggu kesenanganku.” Lalu Nala berbalik pergi, meninggalkan lelaki yang baru saja memayunginya. Setelahnya mereka bertemu lagi dan lagi. Hingga tanpa sadar persahabatan terjalin di antara mereka. Aska selalu murah senyum. Dan senyumnya menular pada Nala. Mereka cocok dalam banyak hal. Apapun yang mereka bincangkan selalu seru hingga keduanya enggan untuk mengakhirinya. Saat kekasih Nala mengkhianatinya, Aska juga yang berdiri di samping Nala memberi dukungan. Dia menghibur wanita itu hingga melupakan kesedihannya. Senyum Nala yang berpadu dengan air mata merekah, teringat masa-masa manis itu. Aska selalu memperlakukannya bak putri. Sangat memperhatikannya. Menghapus air mata Nala, memberikan lengan untuk Nala berpegangan, dan dâda untuk Nala bersandar menumpahkan pedih di hatinya. Meski tidak semua masalah pribadinya dia bagi dengan Aska, tapi kehadiran Aska sudah sangat meringankan hatinya dan membuat hidupnya penuh warna. Namun senyum Nala seketika pudar digantikan tangis tertahan begitu kenangan manis itu berubah menjadi perlakuan buruk Aska tanpa Nala sendiri mengerti apa kesalahannya. Aska jadi suka marah. Dia bahkan tak segan melayangkan pukulan. Hingga yang membuat Nala tak tahan, Nala menyaksikan bagaimana Aska menjamah dan nyaris berhubungan badan dengan wanita yang diakuinya sebagai kekasihnya. Saat itulah Nala pergi. Apalagi dia sadar betul Aska sengaja melakukannya untuk menyakitinya. Tapi sampai sekarang Nala masih tak juga mengerti. Apa kesalahannya? Mengapa Aska tega melakukannya? *** Aska berdiri dengan kedua lengan terlipat di depan dâda menghadap dinding kaca yang memenuhi bagian belakang ruang kerjanya. Dari sana dia bisa melihat gedung-gedung pencakar langit lain dan kendaraan-kendaraan yang tampak sangat kecil di bawah. Ada ketenangan sendiri yang dirasakan Aska dengan melihat semua pemandangan itu. Saat ada hal pelik yang harus dicerna otaknya, pastilah Aska akan menghabiskan waktu berdiri lama di sana hingga apa yang dia pikirkan memiliki jalan keluar. Atau setidaknya langkah mencari jalan keluar. Seperti saat ini. Dia juga tengah memikirkan hal pelik. Tapi bukan berhubungan dengan pekerjaan. Ini berhubungan dengan mantannya, wanita dari masa lalunya. Nala Olivia. Bisu? Yang benar saja. Aska tersenyum sinis dengan sorot tak percaya. Dia ingat betul betapa cerewetnya wanita itu. Suka sekali mengomentari banyak hal meski seingat Aska dia termasuk wanita yang menghindari membicarakan keburukan orang lain. Ada saja topik pembicaraan yang selalu dia kemukakan hingga bersamanya tak pernah sepi. Yah, memang Aska juga mengimbanginya. Tapi intinya mendengar Nala sekarang bisu menurut Aska adalah sebuah lelucon yang sama sekali tidak lucu, hanya memancing kekesalannya. Tok... tok... tok.... Klek. Aska mendengar pintu ruangannya terbuka. Tanpa berbalik dia sudah bisa menebak siapa itu. Tidak ada yang berani masuk ke ruangannya tanpa mendengar izinnya. Hanya Raffi—asisten pribadi sekaligus sahabatnya—atau sekretarisnya. Tapi berhubung Raffi masih menjalankan pekerjaan di tempat lain dan baru akan kembali nanti malam, jelas itu adalah sekretarisnya. Lalu seolah membenarkan dugaan Aska, suara wanita mengalun dari belakangnya. “Pak, sudah waktunya makan siang. Anda mau saya belikan sesuatu?” Aska memang termasuk pekerja keras. Dia sanggup menghabiskan waktu berjam-jam mengurung diri dalam ruang kerjanya. Bahkan tak jarang sejak datang pagi, dia tidak keluar sama sekali dari ruangannya—kecuali memang dibutuhkan di tempat lain—hingga waktunya pulang. Karena itu, mengingatkan dan membelikan makan siang untuk Aska menjadi tugas sang sekretaris. Aska tak langsung menjawab. Dia masih berdiri diam menatap keluar sana. Namun bukan pemandangan itu yang memenuhi pikirannya. Ada sosok lain yang ia pikirkan, dengan gerakan-gerakan isyaratnya yang membuat Aska geram. “Pak?” Mendadak Aska berbalik lalu menyambar kunci mobil dan ponselnya. “Aku akan makan siang di luar.” Hanya itu yang dia katakan sebelum keluar ruangannya mendahului sang sekretaris. *** Aska memarkir mobilnya di lahan parkir Delifood. Sejenak dia masih duduk diam memperhatikan keadaan di dalam melalui dinding kaca restoran itu. Namun dari tempatnya berada, bagian dalam Delifood tak tampak jelas. Hanya terlihat banyak orang seperti kemarin. Daerah ini hampir mencapai perbatasan dengan kota lain. Wilayah yang biasanya hanya dilewati Aska tanpa merasa harus berhenti. Tak disangka di tempat inilah Nala tinggal. Padahal Aska pikir setelah insiden antara mereka di masa lalu, Nala memutuskan pergi ke luar negeri hingga Aska tak bisa lagi melacaknya. Keluar dari mobil, Aska berjalan tenang menuju pintu masuk lalu memilih tempat duduk di salah satu sudut. Sekilas memperhatikan saja Aska sudah tahu restoran ini membagi-bagi area untuk ditugaskan pada tiap pelayan. Karena itu dia sengaja memilih kursi yang menurutnya merupakan area Nala. Aska langsung menyadari sosok Nala begitu dirinya duduk. Namun wanita itu belum menyadari kehadirannya karena terlalu sibuk melayani pesanan tamu lain. Lalu dia pergi sejenak untuk menyerahkan kertas pesanan ke area dapur sebelum kembali karena menyadari ada tamu lagi yang duduk di areanya. Namun begitu Nala melihat siapa tamu berikutnya, langkahnya langsung terhenti dengan sorot kaget yang tak bisa disembunyikan. Sejenak dia ragu. Tapi hanya beberapa detik. Buru-buru dia menarik napas pelan lalu melangkah dengan tenang meski jantungnya mulai berulah. Tiba di meja yang Aska tempati, Nala mengulas senyum seraya menyerahkan buku menu. Dalam hati dia terus berkata, “Anggap saja tidak kenal... anggap saja tidak kenal... anggap saja tidak kenal.” Aska menerima buku menu dari tangan Nala. Tapi pandangannya sama sekali tak mengarah pada buku itu. Dia terus menatap tajam Nala, membuat wanita itu semakin tak nyaman. “Bagaimana kabarmu?” Pertanyaan Aska yang tiba-tiba membuat Nala tertegun. Dia tak menyangka lelaki itu akan menanyakan kabarnya. Ragu, Nala kembali tersenyum lalu mengangguk pelan. Salah satu alis Aska terangkat lalu bibirnya membentuk senyum sinis. “Aku bertanya padamu. Apa anggukan adalah sebuah jawaban?” Senyum Nala pudar. Dengan terang-terangan dia mengeluarkan catatan dan pen untuk menulis pesanan sebagai isyarat agar Aska lekas memesan. Tapi entah Aska tak mengerti isyaratnya atau pura-pura tak mengerti, lelaki itu masih diam dengan tatapannya yang semakin tajam menusuk. Melihat Aska yang terus diam, kesabaran Nala mulai habis. Dengan pennya dia menunjuk buku menu di tangan Aska. Tapi mendadak Aska mencekal pergelangan tangan Nala lalu menyentak wanita itu hingga membungkuk mendekatinya. Kini kepala mereka sejajar. Membuat Nala bisa melihat kilat familiar di mata Aska. Amarah. “Mungkin kau bisa menipu orang lain,” geram Aska. “Tapi aku tidak akan tertipu. Kenapa? Sedang berusaha mencari simpati dengan pura-pura bisu?” Mata Nala berkaca-kaca mendengar tuduhan menyakitkan yang dilontarkan Aska. Dia berusaha menyentak tangannya lepas namun cekalan Aska terlalu kuat. Sikap Nala malah membuat Aska semakin geram. “Asal kau tahu, aku sudah berniat melepaskanmu. Tapi sikapmu ini membuatku sangat kesal. Aku benci wanita penuh muslihat sepertimu. Lihat saja. Akan kubuat kau lebih menderita dari yang pernah kau rasakan sebelumnya.” Nala semakin menggeliat. Dia menegakkan tubuh seraya menarik lengannya. “Hei! Apa yang Anda lakukan?!” Anton yang baru saja diberitahu pelayan lain bahwa ada tamu yang mengganggu Nala langsung datang dan menarik tangan Nala lepas dari cekalan lelaki itu. Pelayan wanita yang tadi memberitahu Anton buru-buru menarik Nala ke belakang. Dia tidak berani langsung menolong Nala. Karena itu dia meminta tolong pada pelayan lelaki di dekatnya yang kebetulan adalah Anton. “Tolong bersikap sopan, Pak. Kami bisa menendang Anda keluar dari sini jika mengganggu karyawan kami atau membuat masalah.” Aska tersenyum sinis mendengar itu lalu mengulurkan buku menu di tangannya. “Aku mau pesan menu utama hari ini.” Anton semakin marah melihat sikap tamu di depannya. Dia tidak langsung menerima buku menu yang diulurkan padanya, malah menimbang-nimbang hendak memberikan satu tinju ke wajah angkuh si lelaki. “Ayolah, aku hanya ingin makan siang.” Tahu tidak punya alasan untuk memukul orang itu di depan banyak mata tamu lain yang mengarah pada mereka, akhirnya Anton menerima buku menu dari tangan Aska dengan kasar lalu berbalik pergi. ---------------------- ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD