Tiga

1470 Words
Jumat (19.31), 26 Maret 2021 ------------------ Malamnya Aska tiba di rumah dengan amarah mendidih di dâda yang berusaha ia tahan sepanjang hari. Dengan kasar ia membuka dua kancing bagian atas kemejanya lalu melepas dasi dan melemparnya ke ranjang. Napas Aska memburu dengan bibir terkatup rapat. Kedua tangan di pinggang sementara otaknya berkelana, mengingat bagaimana sikap Nala di restoran yang menurutnya sangat menjijikkan. Dasar jalang! Munafik! Kenapa tidak jadi artis saja sekalian? Aktingnya sangat meyakinkan. Dia pasti akan dengan mudah dinobatkan sebagai artis terbaik. Merasa amarahnya kian memuncak memanaskan kepala, Aska memutuskan mandi di bawah shower, berharap dinginnya air bisa sedikit meredakan hatinya. Usai mandi, Aska merasa lebih baik. Dengan hanya selembar handuk melilit pinggang, dia kembali ke kamar lalu menyadari ponselnya berdering tanda telepon masuk. Namun belum sempat menerimanya, dering ponsel sudah berhenti. Aska mengambil ponselnya yang tergeletak di ranjang bersama dasi dan tas kerjanya. Ada tiga panggilan tak terjawab dari orang yang sama. Lalu beberapa pesan chat. Sayang, kamu di mana? Kenapa gak angkat teleponku? Sayang! Aku gak mau tau. Aku tunggu di club biasa. Tanpa membalas satu pesan pun, Aska melempar ponselnya kembali ke ranjang lalu menuju walk in closet untuk mengenakan pakaian. Dia hafal betul bagaimana sifat Cintya, kekasihnya. Wanita itu sangat keras kepala dan tipe orang yang selalu ingin dituruti. Dia tidak akan berhenti sebelum mendapatkan apa maunya. Seperti jika dia bilang akan menunggu Aska di club, wanita itu akan terus menunggu di sana dan menghubungi Aska tiap sepuluh menit sampai Aska benar-benar datang. Kekasih? Aska mengenakan pakaian sambil tersenyum sinis memikirkan kata itu. Aska tidak pernah benar-benar menganggap Cintya kekasihnya. Wanita itu lebih tepat disebut sex partner. Pertama kali Aska menyebut wanita itu kekasih adalah di depan Nala. Saat Aska berusaha melukai hatinya. Aska ingat betul hari itu. Nala menatapnya penuh tanya lalu beralih menatap lengan Aska yang merangkul pinggang wanita di sampingnya. Tak ada pertanyaan yang keluar dari bibir Nala. Hanya sorot matanya yang menunjukkan kebingungan dan penuh tanda tanya. “Kenalkan dia Cintya, kekasihku.” Dengan sengaja Aska menekan kata terakhir, membuat Nala seolah tersentak lalu kembali menatapnya. Dia ingat luka dalam mata Nala. Wanita itu tak mengatakan apapun. Dia bahkan tak menangis. Hanya matanya yang berkaca-kaca. Membuat Aska semakin geram karena Nala bersikap tegar dan akhirnya memutuskan memperlihatkan pada Nala saat dia nyaris menyetubuhi Cintya. Apa dia mendengar suara Nala hari itu? Mendadak Aska berhenti dengan sebuah t-shirt di tangan. Keningnya berkerut, mencoba menggali ingatan lebih dalam. Nala sama sekali tak berbicara hari itu. Dan setelah dipikir lagi, sepertinya Nala memang sudah tak berbicara pada Aska beberapa hari sebelumnya sejak Aska mulai bersikap kasar padanya. Apa Nala mendadak bisu karena Aska terlalu keras membentaknya? Berdecak malas, akhirnya Aska melanjutkan mengenakan pakaian. Dia tidak pernah mendengar hal sekonyol itu sebelumnya. Mana ada orang langsung bisu hanya karena terlalu keras dibentak? Tidak, itu pasti memang hanya akal-akalan Nala. Betapa liciknya! *** Sebelum ke club, Aska berhenti sejenak di Mall. Dia sudah berjanji akan membelikan beberapa alat memasak untuk Mamanya. Selagi ingat, dia ingin langsung membelinya lalu mengantarnya pada sang Mama besok sepulang kerja. Baru saja memarkir mobil di lahan parkir Mall yang ditujunya, mata Aska menemukan pemandangan yang amat dia benci. Tiga orang di depan sana tampak amat bahagia. Saling tertawa dan bercanda dengan tangan penuh belanjaan. Siapa pun yang melihat mereka, tampak jelas si remaja putri itu begitu disayangi kedua orang tuanya. Bahkan beberapa kali si Ayah menepuk-nepuk kepala putrinya penuh sorot bangga lalu ketiganya kembali tertawa mendengar lelucon si anak. Jemari Aska mencengkeram kemudi mobil semakin kuat. Bibirnya menipis penuh amarah. Handoyo dan istrinya, si jalang Maura. Ternyata mereka masih bisa tersenyum bahagia. Mungkin apa yang Aska lakukan belum cukup membuat mereka menderita. Aska memiringkan kepala, menatap keluarga itu dengan kebencian yang nyata. Tersenyumlah. Silakan tersenyum selebar yang kalian bisa. Karena setelah ini akan kupastikan kalian menangis memilukan. Ya, Aska sudah membuat keputusan. Kali ini Aska tidak akan berhenti. Sampai mereka benar-benar bersujud memohon maaf di bawah kakinya. Sampai mereka tahu siapa dirinya. Sampai mereka sadar apa yang dulu mereka lakukan telah menumbuhkan dendam yang mengharap balasan. *** Rumah kontrakan kecil itu menjadi saksi bisu isak tangis tertahan si penghuni. Isi hatinya tergambar jelas dari derasnya bulir bening yang membasahi pipinya, meski tak ada suara yang terdengar dari bibir kecilnya. Nala tak kuasa menahan tangis begitu tiba di kediamannya. Dia sungguh tak habis pikir mengapa Aska bisa bersikap sekasar itu. Bahkan lelaki itu sampai menuduhnya sengaja mencari simpati dengan pura-pura bisu. Lagi-lagi kenangan kebersamaan mereka tergambar dalam benak Nala. Namun bukan untuk ia kenang, melainkan ia perhatikan tiap detail kecil. Adakah yang Nala lakukan hingga bisa memancing semua sikap buruk Aska? Namun Nala tak menemukan keanehan apapun. Mereka baik-baik saja hingga saat Aska mulai bersikap kasar. Nala menutup wajah dengan kedua tangan seraya mengutuki diri sendiri. Mengapa masih saja terpengaruh? Mengapa lelaki itu masih saja bisa menyakitinya? Nala sanggup menerima hinaan orang lain dan tidak menghiraukannya. Tapi mengapa hinaan Aska masih terasa sangat pedih melukai hatinya? *** Esoknya Aska membatalkan rencana mengunjungi sang Mama sepulang kerja. Dia memilih datang kembali ke Delifood. Tapi kali ini bukan untuk makan. Melainkan sengaja menunggu Nala di pinggir jalan beberapa meter dari restoran itu. Hanya dengan sebuah perintah, Aska dengan mudah mendapat data pribadi Nala. Bahkan sampai hal kecil seperti jam berapa Nala pulang kerja dan bersama siapa biasanya dia pulang. Keakuratan informasi yang didapat Aska tak perlu diragukan. Hanya dengan menunggu sekitar sepuluh menit, Nala benar-benar keluar dari restoran itu bersama beberapa rekan yang lain dengan senyum di bibir mendengar celoteh salah satu rekannya. Lalu dia berjalan sebentar menuju halte tak jauh dari mobil Aska terparkir. Namun bukan bus yang dia tunggu di sana. Melainkan angkot yang akan mengantarnya ke wilayah dekat rumah kontrakannya. Begitu angkot yang ditumpangi Nala melaju, Aska segera mengendarai mobilnya membuntuti. Sekitar lima belas menit kemudian, Nala turun di area dusun yang termasuk padat. Rumah-rumah dibangun saling merapat hingga tak memiliki halaman. Jalanan berupa gang sempit yang hanya muat dilalui satu orang. Mau tak mau Aska turun dari mobilnya untuk membuntuti Nala. Sebelum mencapai rumah-rumah penduduk, dari jalan raya Nala masih harus melewati area pertokoan yang sudah tutup menjelang malam, membuat area itu sepi dan remang. Namun sama sekali tak tampak sikap takut dari dalam diri Nala. Dia sudah terbiasa. Ditambah lagi area itu memang dikenal aman karena tiap kali ada yang melaporkan tindak kejahatan di sana, RT, RW dan aparat setempat akan langsung bertindak. Aska terus membuntuti dalam senyap. Lalu mendadak iblis dalam diri Aska menggeliat begitu menyadari kesunyian di sekelilingnya. Sejenak dia melirik sekitar, memastikan tidak ada orang. Yakin tidak ada saksi mata yang akan memergoki aksinya, Aska mempercepat langkah lalu menyergap Nala dari belakang dan menyeretnya ke salah satu gang sempit sepi antar toko. Refleks Nala meronta begitu menyadari ada orang yang menyergapnya. Namun perlawanannya seketika terhenti begitu orang itu mendorong punggungnya hingga menubruk dinding lembab lalu berdiri di depannya. Meski remang, wajah orang itu terlihat jelas. Nala tertegun dengan bibir terbuka, tak percaya dengan penglihatannya. “Kau tahu? Aku benci sekali melihatmu masih bisa tersenyum. Apalagi sekarang dapat banyak simpati karena pura-pura bisu.” DEG. Perih. Hanya dengan beberapa kalimat dan luka hati Nala kembali berdarah. Dengan mata berkaca-kaca Nala berusaha mendorong dâda Aska. Namun lelaki itu bergeming. Masih berdiri kokoh di tempatnya mengurung Nala. Senyum sinis Aska terbit melihat Nala yang tampak begitu lemah. Bahkan wanita itu tak mencoba berteriak. Berusaha mempertahankan kebohongannya? Lihat saja. Sampai kapan dia sanggup melakukannya. “Terus pertahankan aktingmu,” bisik Aska dengan suara serak seraya menunduk, menyapukan hidung dan bibirnya di belakang telinga Nala. Semakin mudah Aska melakukannya karena Nala berusaha memalingkan wajah menjauh dari wajah Aska. “Terus seperti ini sampai aku puas menikmati tubuhmu.” Lalu dengan kurang ajarnya satu tangan Aska merayap meraba dâda Nala, meremasnya sedikit keras. Nala semakin meronta. Kali ini disertai isak tangis tanpa suara. “Berteriaklah. Maka aku akan berhenti,” geram Aska. Namun Nala hanya bisa terus menangis sementara rontaannya kian melemah. Air matanya bergulir, jatuh menetes mengenai tangan Aska. Lalu entah mengapa, ada rasa tak nyaman yang merasuki dâda Aska melihat bagaimana wanita itu terus terisak tanpa suara. Dia terdiam, dengan keheningan yang menyelimuti sekeliling mereka padahal wanita di depannya bisa dikatakan tengah menangis meraung. Satu tangan Aska yang sejak tadi mencengkeram lengan atas Nala perlahan mengendur. Sementara tangan yang satu lagi menjauh dari dâda Nala. Tatapannya terus terpaku pada wanita itu yang menolak menatapnya dengan wajah yang kian basah. DEG. Refleks Aska menggigit bibir bagian dalamnya saat merasakan nyeri yang aneh di dâda. Jemarinya mengepal, sangat terganggu dengan perasaan asing ini. Lalu tak ingin berlama-lama terjebak dalam situasi tak nyaman, Aska segera berbalik pergi meninggalkan Nala yang masih menangis tersedu lalu merosot ke tanah lembab. Lelaki itu sama sekali tak menoleh, hanya terus bergegas menuju mobil dan melaju pergi. ----------------------- ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD