Jumat (19.35), 26 Maret 2021
------------------------
“Menikahlah denganku. Akan kubuat kamu menjadi wanita paling beruntung di dunia.”
Nala tertegun dengan mata berkaca-kaca. Kedua tangan menutup mulutnya yang terbuka penuh rasa tak percaya. Aska melamarnya. Tepat di ulang tahun Nala. Dengan cincin putih bertatahkan berlian, lelaki itu berlutut di depan Nala.
Nala masih juga tak bersuara. Air matanya mengalir yang kemudian berubah menjadi isak penuh haru.
Nala?
Panggilan lembut itu menggema dalam benak Nala seolah kejadian penuh kebahagiaan itu baru terjadi kemarin, bukannya dua tahun lalu. Saat ini, Nala juga menangis sama seperti hari itu. Penyebabnya juga orang yang sama. Tapi dengan alasan yang jauh berbeda.
Nala terus menangis. Suaranya yang entah bagaimana bisa menghilang membuatnya bebas meraung sepuas hati tanpa takut ada orang yang tahu.
Namun tangis memilukan tak juga meredakan perih di dâdanya akibat perlakuan Aska. Lalu tiba-tiba pandangan Nala terpaku pada pisau dapur yang bisa dilihatnya dari kursi di ruang tamu tempatnya berada. Rumah Nala kecil. Hanya seperti satu ruangan dengan sekat-sekat untuk membagi kamar tidur, ruang tamu, dan dapur. Lalu ada kamar mandi kecil di dekat dapur.
Nala berdiri dengan tekad di hati. Langkah kakinya membawanya semakin dekat ke tempat pisau di dapur. Jemarinya mantap menggenggam gagang pisau. Tangannya yang bebas terulur, siap disayat besi tajam yang ia pegang.
Namun di detik terakhir, tangis Nala kembali pecah. Rasa takut menguasainya, membuat pisau yang dia pegang terlepas lalu jatuh menghantam lantai, menciptakan bunyi keras yang dalam beberapa detik menghalau keheningan.
Nala memegang dâdanya lalu dengan penuh kekesalan memukul-mukul dâdanya sendiri dengan kepalan tangan. Dia benci karena dirinya terlalu lemah. Dia benci sikap pengecutnya. Mengapa dirinya tak pernah bisa berubah? Jika seperti ini terus, dia akan terus diinjak-injak. Terutama oleh Aska yang tampaknya menikmati rasa sakitnya.
***
Dentam musik di salah satu night club terkenal ibukota memenuhi seluruh ruangan. Kelap-kelip lampu disko menambah heboh goyangan di lantai dansa, seolah merasuki tiap aliran darah para manusia di sana, membuat mereka bergerak mengikuti irama.
Salah satunya adalah Aska. Yang bergoyang seru dengan senyum merekah dan satu tangan mencengkeram botol minuman. Dia tampak menikmati suasana sekelilingnya. Tapi siapa yang menyangka, lelaki itu hanya berusaha membohongi diri sendiri, karena pikirannya tengah kacau dikuasai sosok mungil dengan tangis tanpa suaranya.
“ARRGGHH! Brêngsek!”
Akhirnya emosi Aska meluap juga. Membuat orang-orang yang menari di sekelilingnya berhenti lalu menatap Aska dengan pandangan aneh.
Aska tak memedulikan pandangan mereka. Dengan kekesalan yang kian memuncak, dia membelah keramaian lantai dansa menuju kursi tempatnya duduk bersama Raffi.
Salah satu alis Raffi terangkat melihat kilat amarah dalam mata Aska. Namun dia tidak bertanya, hanya menyesap rokoknya tak peduli. Dia sudah berteman dengan Aska sangat lama. Tahu betul sifat Aska, baik dan buruknya.
Sejak Aska menghubunginya mengajak bertemu di club ini, Raffi sudah tahu ada yang mengganggu pikiran Aska. Namun sahabatnya itu tak mengatakan apapun. Hanya terus berbicara tentang pekerjaan.
Raffi membiarkannya. Dan tak berusaha mengorek informasi apapun. Sama seperti dirinya yang tak tahan memendam masalahnya sendiri tanpa menceritakannya pada Aska, sahabatnya itu pada akhirnya akan menyerah dan memberitahu Raffi apa yang mengganggu pikirannya.
“Rasanya gue pengen mecahin semua gelas yang ada di sini,” geram Aska dengan satu tangan memijit pelipis.
“Pecahin aja. Setelah selesai jangan harap gue masih di sini,” sahut Raffi enteng.
“Kenapa?”
“Malu-maluin tau gak? Kalo mau ngamuk, ngamuk aja di rumah sendiri. Banyak piring di dapur lo, kan?”
Aska menatap Raffi kesal. “Lo sama sekali gak ngasih solusi.”
“Apa mecahin gelas di club orang lo anggap solusi? Yang ada cuma nambah masalah aja. Lagian kapan lo minta pendapat gue? Kapan lo cerita masalah lo terus minta solusi dari gue?”
“Oke... oke...!” Aska angkat tangan menyerah. “Tumben amat lo cerewet kayak mak-mak.”
Raffi memilih tak menanggapi. Dia hanya meneguk minumannya sebentar lalu kembali menyesap rokok.
Lama kemudian keduanya sama-sama terdiam. Namun akhirnya Aska tak tahan untuk tidak bercerita.
“Gue ketemu Nala.”
Raffi yang semula menatap lantai dansa, beralih menatap Aska yang menunduk memperhatikan bibir gelas lalu sesekali menyusurkan jari telunjuknya di sana.
“Nala? Mantan lo?”
Aska mengangguk.
Salah satu alis Raffi terangkat lalu senyum geli tampak di bibirnya. “Kenapa memangnya? Nala udah nikah dan punya anak terus lo cemburu?”
Aska mendongak menatap Raffi kesal. “Cemburu? Emang gue gak ada kerjaan lain? Yang ada gue tambah muak dan dengan senang hati bikin keluarga kecilnya hancur.”
Raffi memiringkan kepala, tampak berpikir. “Jadi itu yang lo rasain sekarang? Lo liat Nala bahagia dan pengen ngehancurin kebahagiaannya?”
Aska terdiam. Bayangan Nala dengan gerakan-gerakan tangannya di restoran lalu berubah menjadi tangis tanpa suara di gang sempit sepi beberapa jam lalu mengganggu pikirannya.
“Sayangnya bukan.”
Aska masih termenung lalu tiba-tiba dia menggebrak meja, membuat Raffi melonjak kaget.
“Sialan lo!” umpat Raffi.
“Dia itu makin licik. Persis Nenek Sihir.” Aska menjentikkan jemari menciptakan bunyi yang teredam dentam musik. “Sekarang gue bener-bener ngerti kenapa dia pura-pura bisu. Dengan aktingnya itu, ditambah sikapnya yang kayak cewek lemah, bikin dia jadi pusat perhatian. Bikin orang-orang di sekelilingnya iba. Bikin mereka yang mau nyakiti dia ragu trus milih mundur.” Aska menepuk meja geram. “Dan gue nyaris aja terjerat mantranya. Untung gue cepet sadar.”
“Tunggu dulu. Maksud lo... Nala bisu?”
“Gak masuk akal, kan?” Aska meneguk minumannya untuk meredam kekesalan di hatinya.
Sementara Raffi masih diam, tampak berpikir, “Lo yakin dia gak kecelakaan atau apa yang bikin dia jadi bisu?”
Aska menggeleng tegas. “Memangnya lo pernah denger ada orang kecelakaan trus jadi bisu?”
“Nggak sih.”
“Makanya,” geram Aska. “Gue gak mau lagi ketipu sama aktingnya. Liat aja. Bakal gue bikin dia bener-bener menderita.”
Raffi diam. Hanya menatap sahabatnya itu tajam lalu kembali meneguk minumannya. Sedari dulu dia tidak pernah setuju dengan perlakuan Aska pada Nala. Tapi Raffi tidak bisa mencegah karena apa yang Aska lakukan juga demi menyembuhkan luka Aska sendiri.
Sebagai sahabat dia sudah berkali-kali menasihati. Tapi ketika nasihatnya tak digubris, dia memilih hanya menjadi pengamat sambil bertanya-tanya dalam hati, apa akhirnya nanti luka hati Aska akan sembuh dengan menyakiti Nala atau malah semakin lebar dan pedih?
***
Esok siangnya Aska kembali mendatangi Delifood dan langsung memilih duduk di area Nala. Tapi keningnya berkerut saat pelayan yang menghampirinya bukan Nala. Dia bahkan sampai menatap sekeliling, membiarkan si pelayan berdiri menunggu dengan tatapan bingung.
“Pak, kalau Anda belum ingin memesan, saya pergi ke meja lain dulu.”
“Tunggu.” Lalu Aska mengalihkan perhatian pada si pelayan wanita. “Di mana Nala?”
Sejenak pelayan itu tertegun. Tampaknya dia mulai mengingat Aska sebagai lelaki yang sempat membuat keributan beberapa hari lalu. “Oh, Nala. Dia tidak masuk kerja hari ini.”
“Kenapa?”
“Dia sedang sakit. Apa Anda mau memesan sekarang?” tampak jelas si pelayan tidak ingin membahas Nala lebih jauh dengan Aska.
Menyadari keengganan pelayan itu, Aska segera berdiri. “Mendadak aku ingin makan di tempat lain saja.”
Begitu Aska berbalik, pelayan wanita yang geram di belakangnya membuat gerakan hendak memukul belakang kepala Aska dengan buku menu di tangannya. Aska menyadari itu namun tak menggubris sikap si pelayan yang menurutnya sangat kekanak-kanakan.
Tiba di mobil, Aska tak langsung menyalakan mesin mobil. Dia duduk diam lalu tiba-tiba memukul kemudi mobil dengan geram.
Sakit? Apa gara-gara kusentuh? Dia pikir aku bibit penyakit?
Dengan penuh kekesalan, Aska menyalakan mesin mobil lalu melajukannya kembali ke perusahaannya seraya menghubungi sang sekretaris untuk memesankan makan siang.
***
Anton dan beberapa rekan kerja Nala yang lain menjenguknya sepulang kerja. Mereka mendesak Nala untuk pergi berobat namun Nala menolak dengan tegas meski suhu tubuhnya sangat tinggi dan dia tampak sangat kepayahan.
“Ini sudah tidak sepanas semalam. Aku sudah merasa lebih baik,” tulis Nala di buku kecil yang selalu dibawanya untuk berkomunikasi.
“Tapi tetap saja kau harus berobat,” desak Mita.
Nala menunjuk obat penurun panas di meja nakas samping ranjangnya yang biasa ditemukan di toko-toko kelontong.
“Sudahlah. Dia memang keras kepala,” gerutu Anton. “Tapi kita harus menguji apa Nala memang benar-benar sudah baikan.” Anton diam, menunggu semua mata mengarah padanya dengan rasa penasaran. “Ayo makan soto babat di warung depan sana!”
“Huuuu...!”
“Pasti ujung-ujungnya soto.”
“Dasar pecinta soto!”
“Hei... hei...! Nala kan memang harus makan. Dia pasti belum makan,” Anton membela diri.
“Iya. Tapi tanyakan yang sakit mau makan apa.”
“Na, mau makan apa? Soto, ya?” bujuk Anton.
Nala tertawa melihat mereka.
“Tapi Anton yang bayar,” usul Mita, seketika disambut anggukan setuju yang lain.
“Huuuu... giliran gratisan pada manggut-manggut kayak mainan di dashboard mobil.”
“Kalau gratisan, Bang, asal gak beracun dan masih sebangsa makanan pasti eike makan kok.”
Seketika tawa memenuhi rumah kontrakan kecil Nala yang biasanya sepi. Membuat Nala juga tertular tawa rekan-rekan kerjanya.
“Gimana, Na? Mau, ya?”
“Kamu yang bayar kan, Ton?”
“Iya, bawel,” sahut Anton kesal.
“Yeayy!”
“Asyik!”
“Tapi entar potong gaji yah,” celetuk Anton membuat banyak tangan langsung mengincar lengannya untuk dicubit atau mendorong kepalanya gemas.
Diam-diam Nala mengusap air mata di sudut matanya karena haru. Dia bersyukur saat yang lain terus menyakitinya bahkan menikmati rasa sakitnya, masih ada orang-orang baik yang dikirim Tuhan untuk menguatkan langkah kakinya.
***
“Eh, Na. Cowok itu dateng lagi,” ujar Mita pelan saat mereka berjalan di antara kegelapan menuju warung soto di area pertokoan dekat rumah kontrakan Nala.
Nala menoleh menatap Mita dengan kening berkerut penuh tanya. Sebenarnya dia masih sedikit kepayahan untuk berjalan. Rasanya seluruh tubuhnya remuk. Tapi demi meyakinkan teman-temannya bahwa dirinya baik-baik saja, Nala memilih ikut dan bukannya tetap berbaring.
“Cowok ganteng yang beberapa hari lalu ganggu kamu.” Mita mendesah. “Sayang yah. Padahal ganteng. Gak taunya mata keranjang.”
DEG.
Nala menelan ludah. Pasti itu Aska. Sepertinya dia masih akan terus mengganggu sampai yakin Nala benar-benar hancur. Lalu rasa sakit itu kembali mencengkeram dâda Nala saat ingatannya melayang pada perlakuan buruk Aska di gang sempit kemarin malam.
“Hei, malah ngelamun.”
Nala tersentak lalu kembali menoleh ke arah Mita. Teman-teman mereka yang lain berjalan sambil bersenda gurau beberapa meter di depan mereka.
“Kamu kenal cowok itu, ya?” tebak Mita tepat sasaran.
Buru-buru Nala menggeleng.
“Pasti kenal,” lagi-lagi Mita menebak dengan tepat. “Berarti dia bukan sekedar cowok iseng.”
Nala memegang lengan Mita agar berhenti melangkah. Lalu dia mencari-cari buku catatannya di saku dan segera menulis. Beruntung Nala sudah terbiasa hingga suasana remang sama sekali tak mengganggunya.
Nala memang tidak seperti orang bisu pada umumnya. Dia bisa bicara namun tak bisa mengeluarkan suara. Seorang dokter yang pernah ditemuinya bilang itu akibat keengganan Nala untuk bicara. Lebih karena trauma, bukan penyakit tertentu. Pada akhirnya Nala akan kembali bersuara saat dia ingin, begitu kata si dokter.
Tapi sungguh. Nala tidak merasa enggan untuk bicara. Seperti saat ini, dia berharap tak perlu membuat orang menunggu dia selesai menulis saat dia ingin menyampaikan sesuatu. Tapi entah mengapa dia tetap tak bisa mengeluarkan suara. Bukankah dokter itu bilang ini hanya karena Nala enggan bicara? Tapi saat dirinya ingin, kenapa dia tetap tak bisa bersuara?
Usai menulis dengan cepat, Nala menunjukkan notesnya pada Mita. “Tolong jangan bahas cowok itu lagi. Dan jangan cerita pada siapa-siapa tentang dugaanmu.”
Mita mendesah tapi tak punya pilihan selain mengangguk. “Oke, lupakan dia. Malam ini kita makan dan bersenang-senang. Selagi gratisan,” katanya penuh semangat seraya merangkul lengan Nala.
“Hei! Kalian lambat sekali kayak keong!”
Seruan Anton membuat Mita menjulurkan lidah. Lalu dia dan Nala tertawa bersama.
Tanpa mereka sadari, sepasang mata cokelat memperhatikan mereka dengan tajam dari balik kaca depan mobil. Jemarinya yang memegang kemudi mencengkeram kuat penuh amarah.
“Sakit apanya?” geram Aska. “Kayaknya udah cukup gue kasih lo kebebasan, Na. Udah waktunya lo rasain arti menderita yang sebenarnya.”
----------------------
♥ Aya Emily ♥