Gisela Pov
Aku masih terbayang lelaki baik yang menolongku kemarin, ah kenapa aku bisa sampai lupa menanyakan namanya. Andai aku nanti bisa bertemu lagi dengannya, aku akan menanyakan nama dan mengucapkan terima kasih karena sudah menolongku dari preman-preman jahat itu, andai dia tidak menolongku, mungkin aku tidak tau akan akan nasibku kelak.
“Woyyyy,” astaga jantungku mau copot saat Hilda mengagetkanku dari belakang dan dengan reflek aku memukul dirinya.
“Astaga Hilda, lo mau bunuh gue!” kataku sedikit kesal.
“Habis lo dari tadi gue perhatikan melamun saja, lamunin siapa sih?” tanyanya penasaran.
“Gak ada, sok tau banget sih lo,” aku beranjak dari tempatku duduk dan berjalan menuju latihan. Mungkin dengan latihan aku bisa melupakan pria itu.
Hilda pun mengikutiku dan kami mulai berlatih.
“Lo bebas setelah latihan?” Tanya Hilda
“Hmmmm iya sih, gue rencana mau ke Mall sepulang dari latihan, orangtua gue juga sudah memberi izin, ada apa?” tanyaku, tanganku masih mengikuti alunan musik klasik yang mengalun.
“Nah kebetulan, gue juga mau ke Mall, kita barengan saja ya,” katanya lagi.
“Sip.”
****
Aku dan Hilda meninggalkan sanggar tari, berhubung jalan menuju halte bis sedang dalam perbaikan, aku dan Hilda memutuskan untuk melewati kembali gang sempit di belakang sanggar. Takut sih sebenarnya, takut bertemu kembali dengan preman-preman yang dulu menggangguku, tapi Hilda menenangkanku katanya dia pemegang sabuk hitam dan aku percaya karena Hilda terlihat sedikit tomboy walau dia juga menyukai tarian balet.
“Santai saja, ada gue,” kata Hilda berusaha menenangkanku.
Kami berjalan melewati lorong sempit yang hanya berjarak satu km dari sanggar latihan tapi aku merasa lorong itu jauhnya melebihi satu km,kami melewati beberapa gang gelap dan juga sepi. Di Gang kedua aku melihat sebuah mobil sport hitam, aku merasa pernah melihatnya tapi aku membiarkan dan tetap berjalan bersama Hilda.
Tiba-tiba dari arah gang itu aku mendengar suara tembakan.
“Ya Tuhan, Hilda,” kataku ketakutan.
Hilda mendekati gang itu tapi karena gelap aku tidak melihat apa-apa.
“Kita lari saja yuk, gue takut,” kataku lagi
Saat kami sedang berada di depan mobil, aku melihat seorang pria berlari ke arahku dengan tangan kirinya berlumuran darah. Pria itu menyerahkan kunci mobil kepadaku dan menyuruhku menyetir mobil. Aku yang masih kaget menerima kunci itu dan membuka pintu.
“Gisel, jangan … lo gila apa, kalo dia orang jahat bisa bahaya,” ujar Hilda yang menahan tanganku, aku melihat pria itu dan aku baru sadar itu pria yang kemarin menolongku.
“Gue kenal dia kok jadi lo duluan saja, gue akan bawa dia ke rumah sakit,” aku membuka pintu belakang dan mendudukkan pria tadi dan aku meletakkan tasku di jok samping.
Hilda hanya terbengong melihat keberanianku menolong orang asing yang terluka, kemarin pria ini menolongku dan sekarang saatnya aku menolongnya.
“Tuan kita ke mana, apa perlu ke rumah sakit?” tanyaku sambil melihatnya menahan darah yang terus mengalir di tangannya.
“Tidak ... tidak usah, antar saja saya ke apartemen,” dia terlihat kesakitan menahan luka yang seperti luka tembakan.
Ini tidak bisa di biarkan, dia akan kehabisan darah jika dibiarkan. Aku mengemudikan mobil dan setelah sutuasi terlihat aman, aku meminggirkan mobil dan membuka tasku, aku mengambil sapu tangan dan memasangkannya di tangan yang terluka tadi.
“Ini sementara akan menghentikan pendarahan, kita harus segera mengobati luka ini Tuan,” kataku kepadanya.
“Turun dan terima kasih, orang saya akan datang menjemput, Nona boleh pergi dan terima kasih sekali lagi.”
“Tidak, saya harus yakin Tuan akan baik-baik saja, kalo tidak, mungkin malam ini saya tidak akan bisa tidur dengan nyenyak,” kataku kepadanya.
Pria itu tertawa, ah sungguh sangat manis walau terlihat sedikit arogan.
“Kita tidak saling mengenal nona manis, buat apa anda sibuk memikirkan saya, apa anda menyukai saya, ya walau saya sedikit tampan, tapi anda bukan tipe saya nona manis.”
“Mungkin tuan lupa dengan saya, tapi tuan tidak akan pernah saya lupakan, apa anda lupa dengan saya tuan?” tanyaku sedikit mengingatkannya.
Dia menatapku dan menggeleng.
“Saya Gisela, panggil saja Gisel, kemarin tuan menolong saya dari gangguan preman, di tempat tadi juga, apa tuan ingat?”
Dia terlihat seperti sedang berusaha mengingat kejadian kemarin dan lagi-lagi dia menggeleng, ada perasaan kesal dan juga sedih, aku saja mati-matian mengingatnya sedangkan dia seenaknya melupakan.
“Hahahah jangan manyun dong nona manis, saya ingat kok, nona penari baletkan?” tanyanya lagi.
Ah akhirnya dia mengingat dan aku menunjukkan senyumku.
“Nama aku Gisel, nama kamu siapa?” aku menjulurkan tanganku, sepertinya lebih enak berbincang secara informal, lebih nyaman.
“Buat apa anda mengetahui nama saya nona, nama saya tidak untuk diberikan kepada sembarangan wanita,” katanya dan lagi-lagi aku menghela nafas, susah banget buat mengetahui namanya.
“Pelit banget sih, aku juga hanya pengen tau saja kok,” kataku menggerutu pelan.
“Namaku Vabian, Vabian Maureen,” katanya,
Vabian Maureen nama yang cukup menarik.
“Kamu sudah mengetahui namaku, jadi lebih baik kamu turun dan jika suatu saat kita bertemu kembali jangan pernah menolongku dan aku juga tidak akan menolongmu.”
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
Dia hanya tersenyum dan pindah dari kursi belakang menuju kursi depan. Aku mengambil tasku dan turun. Tanpa mengucapkan sepatah kata kepadaku, Vabian meninggalkanku di tepi jalan.
****
Author Pov
Varrel melajukan mobilnya menuju apartemen, saat dia membuka pintu terlihat Vivian sedang sibuk memasak, apartemen ini memang milik Varrel, tapi Vivian selalu menempatinya karena ketidak akuran Vivian dengan istri baru ayahnya.
“Loh kak, tangan kakak?” Vivian terlihat panik melihat tangan Varrel mengeluarkan darah yang banyak.
“Biasa, ada polisi rese yang mengganggu transaksi tadi.”
“Terus?”
“Ya gagal, barang bernilai milyaran disita polisi.”
“Astaga kak,” kata Vivian dengan kecewa.
“Santai, persediaan barang kita masih banyak kok, yang disita juga hanya sepersekian persen dari cadangan punya kita,” kata Varrel menenangkannya.
“Polisi ganteng itu lagi yang menggagalkan? Apa kakak mau aku menggodanya?” tanyanya sedikit antusias.
“Bukan dia dan sekali lagi kakak ingatkan Vivian, jangan bermain-main dengan polisi,” ujar Varrel mengingatkan,
Vivian hanya mengangguk sedangkan di hatinya, kali ini dia akan membantu Varrel mendapatkan kembali barang-barang itu dan satu-satunya cara dengan mendekati polisi tampan itu.
****
“Sial, darimana tim elang mendapat informasi kalau Geng Drostine melakukan transaksi,” kata Raka kepada timnya.
“Saya tidak tau kapten, tapi tadi saya mendengar kabar jika Tim Elang berhasil menggagalkan transaksi n*****a bernilai milyaran, tapi sayang Varrel Drostine berhasil kabur.”
Raka menjadi geram, ini sudah sangat keterlaluan, kenapa bisa tim elang yang mendapat kasus Drostine, bukannya dia sudah meminta pelimpahan kasus itu dari tim elang ke tim mawar yang dipimpinannya.
Raka mengetuk pintu ruangan atasannya, hari ini dia harus mendapat kejelasanan kenapa tim elang masih mengambil alih kasus itu.
Tok tok tok
“Masuk.”
Raka kemudian masuk dan memberi tanda hormat kepada atasannya.
“Oh kamu Raka, ada apa?” Tanya atasannya
“Kenapa Tim Elang lagi-lagi mendapat kasus Drostine, bukannya saya sudah meminta pelimpahan kasus ke Tim Mawar?” Tanya Raka.
“Oh itu, dari awal Tim Elang sudah mengurus kasus itu dan kamu lihatkan, keberhasilan mereka.” kata atasannya.
“Tapi…”
“Sudahlah Raka, saya tau kenapa kamu sangat antusias dengan kasus Drostine, sudah jangan campur adukkan masalah dendam pribadi dengan pekerjaan, lagipula Tim Elang sudah mempunyai mata-mata di geng itu, jadi setiap mereka bertransaksi, kita akan tau.”
“Mata-mata? Siapa?”
“Kamu tidak perlu tau, yang pasti dia ini akan selalu memberi kita info yang akurat.”
“Kalo begitu, masukkan Raka ke Tim Elang, Raka mau menangkap dia, menangkap Varrel Drostine yang menyebabkan Vicky seperti itu, menyebabkan anak ayah menjadi pecandu dan membuat ayah diturunkan dari kepala polisi menjadi seperti ini,” kata Raka sedikit geram kepada atasan yang juga ayahnya.
Ayahnya tersenyum dan memukul bahu Rakka. “Hapuskan dulu dendam kamu nak, baru ayah akan biarkan kamu masuk ke dalam kasus itu.”
Raka hanya bisa mendengus kesal, sampai kapanpun hasratnya untuk menangkap Varrel tidak akan bisa terjadi jika ayahnya tidak mengijinkan dia masuk ke dalam kasus itu. Satu-satunya cara hanya bekerja di luar tim dan harus diam-diam, jalan awal dengan mendekati gadis kemarin, ya hanya dia yang bisa membuat Raka dekat dengan geng Drostine, sebagai wanitanya Varrel, gadis itu pasti tau sepak terjang Varrel.
Raka mengambil ponselnya dan menghubungi kenalannya.
“Tolong selidiki wanita-wanita terdekat Varrel Drostine, gue tunggu sekarang!”
Raka menutup ponselnya dan meninggalkan kantor yang membuat hatinya kesal. Hanya Gisela yang mungkin bisa membuatnya sedikit terhibur.
****
“Malam tante, Giselnya ada?” Tanya Raka sesampainya dia di rumah Gisel.
“Ada, masuk saja nak Raka, dia di ruang latihan ya seperti biasa” kata Mamanya Gisel, Raka kemudian meletakkan jaketnya dan berjalan menuju ruang latihan Gisel.
Tanpa mengetuk Raka berniat memberikan kejutan kepada Gisel. Raka melihat Gisel sedang duduk dan dengan jalan berjinjit Raka mendekati Gisel.
“Woy.”
“Vabian,” dengan reflek Gisel mengucapkan nama Vabian,
Raka kaget mendengar Gisel menyebut nama pria lain, setaunya hanya dia teman dekat Gisel.
“Eh kak Raka, apaan sih bikin kaget aku saja,” kata Gisel berusaha mengalihkan perhatian Raka.
“Siapa Vabian?”
“Tidak siapa-siapa,” kata Gisel mengelak.
“Sudah main rahasia-rahasiaan ya sama kakak, ayo ngaku siapa Vabian,” kata Raka sedikit penasaran.
“Kepo banget sih kak, tidak siapa-siapa, wekssss,” Gisel kembali dengan aktivitas menarinya dan Raka hanya bisa mendengus kesal. Kenapa seharian ini dirinya dibuat kesal, tidak saja ayahnya sekarang Gisel juga. Raka keluar dari ruang latihan Gisel, hatinya kesal dan juga panas.
“Loh kak mau ke mana?”
“Pulang, mau mandi gerah,” kata Raka memberi alasan, padahal sebenarnya dirinya kesal dengan Gisel yang menutupi siapa Vabian.
“Ya sudah.”
****
Vivian sedang berdiri di depan rumah Raka, Vivian mulai beraksi, berbekal alamat yang diberikan anak buahnya, hari ini Vivian harus berusaha membuat Raka penasaran dengan dirinya. Vivian melihat Raka sedang berjalan kearahnya.
“Aduhhhh sialll ban pake bocor segala, mana baterai ponsel lagi habis, hikssss mana hari sudah malam pula,” kata Vivian dengan aktingnya.
Raka belum sadar wanita yang berada di depannya adalah Vivian, wanita targetnya juga. Raka masih sibuk berjalan tanpa memperdulikan Vivian.
“Sialll, dia cuekin gue,” kata Vivian dalam hati.
“Hikssss, gini nih tidak dengarin kata-kata kak VARREL DROSTINE, andai tadi aku ikut kata-katanya untuk menginap di rumahnya.”
Raka mendengar nama musuh besarnya melihat kearah suara itu, Vivian tersenyum dalam hati.
“Gochaaa, ayo ke sini polisi tampan,” kata Vivian dalam hati, Raka masih memandang kearah Vivian, Raka melihat seorang wanita dengan pakaian kaos dan celana pendek sedang menendang – nendang ban mobil.
Raka mendekati Vivian, ya itu Vivian gadis yang ingin didekatinya.
“Loh kamu!!!” teriak Raka sambil menunjuk muka Vivian.
“Ah Raka sialll bukannya dibaikin malah kasar, bagaimana mau itu cewek dekat sama lo kalo dijutekin” kata Raka dalam hati. Raka merubah wajahnya dari jutek menjadi sedikit bersahabat.
“Kenapa mobilnya?” Tanya Raka dengan pelan.
“Gak tau nih, bannya pake bocor segala.” Vivian memperlihatkan bannya yang rusak karena di tusuk pake pisau tadi.
“Ada ban serap?”
“Gak tau deh, ini bukan mobil aku sih sebenarnya, mobilnya pacar aku,” kata Vivian berbohong.
“Hmmmm, coba saya lihat mana kuncinya,” Vivian menyerahkan kuncinya ketangan Raka.
Vivian tersenyum, ini awal mula menundukkan polisi ganteng ini.
****