Deg!
Ellena kaget mendengar pertanyaan dari Bima. Dia tidak menyangka kalau Bima akan menanyakan hal itu kepadanya saat ini.
Padahal Ellena sudah beberapa kali bertemu dengan Bima, tapi pria itu tidak pernah menanyakan hal ini kepadanya. Ellena jadi curiga apakah ada maksud lain dari pertanyaan Bima tersebut.
“Ell, kok kamu malah ngelamun. Jadi gimana Ell, kamu waktu itu ketemu nggak sama Pak Sean?” tanya Bima mengulang kembali pertanyaannya.
“Oh maaf Pak, saya agak nggak konsen gara-gara lapar. Soal malam itu, saya nggak jadi ketemu sama Pak Sean,” bohong Ellena yang tidak ingin Bima tahu kalau dia malam itu bersama dengan Sean.
“Beneran kamu nggak ketemu sama Pak Sean?”
“Iya, Pak. Malam itu saya emang datang ke hotel dan langsung naik ke kamar yang Bapak sebutkan. Tapi waktu itu saya nunggu agak lama di depan pintu, tetap aja Pak Sean nggak bukain pintu kamarnya. Padahal saya udah nekan bel pintu beberapa kali, mungkin Pam Sean udah tidur kali ya, Pak. Ya terus saya pulang aja.” Ellena merancang kalimatnya agar Bima tidak curiga kepadanya.
“Oh, jadi kamu beneran nggak ketemu sama Pak Sean ya. Terus berkas yang waktu itu kamu bawa itu kamu taruh mana?” tanya Bima lagi.
“Saya kirimkan ke kantor lewat Vira, Pak. Berkas itu diserahkan Vira ke Bu Lisa. Coba tanya aja sama Bu Lisa Pak, karena saya dengar waktu itu Bu Lisa juga nggak masuk bareng sama saya.”
“Oh iya, kamu bener. Lisa emang sempat izin karena dia habis nemenin Pak Sean di pesta itu sampai pagi. Ya udah kalau gitu, saya cari dulu berkasnya. Kamu buruan makan sana, nanti dinilai jelek sama Pak Sean kalau kamu oleng gini.”
“Baik Pak, kalau gitu saya permisi duluan ya, Pak. Maaf Pak, saya udah laper banget.”
Bima menganggukkan kepala sambil tersenyum pada Ellena, kemudian dia pergi terlebih dahulu dari ruang kerja Ellena. Dia akan segera melapor pada atasannya apa yang dikatakan oleh Ellena kepadanya.
Mendengar suara sepatu Bima yang sudah semakin menghilang, Ellena menoleh ke belakang sebentar untuk memastikan kalau Bima sudah keluar dari ruang kerjanya. Ellena duduk lemas karena dia kembali harus diingatkan dengan kejadian naas itu.
“Pak Sean, terus aja nyari aku. Ini gawat, bisa-bisa dia bakal singkirkan aku kako Pak Sean ingat. Gak bisa, aku nggak bisa resign, kasian ibu Dan Dian. Udah ah ... mau makan dulu, perutku udah laper banget.”
Ellena segera menyambar ponsel dan dompetnya yang ada di atas meja. Dia berjalan dengan sangat cepat menuju kantin karena perutnya sudah sangat lapar.
Jam istirahat kantor juga sudah lama berjalan, tandanya dia juga harus cepat agar tidak mendapat pengurangan poin lagi dari Sean.
“Wah, untung aja nggak pakai ngantri lagi. Makasih ya, sayang,” ucap Ellena yang langsung berhadapan dengan menu makan siangnya.
“Sama-sama cantik. Aku sengaja nggak ambilkan kamu urapan, karena kan kamu nggak suka. Udah cocok nggak menunya?” jawab Vira sambil meminta pendapat pada sahabat yang baiknya itu.
“Cocok banget. Orang kalau lapar makan apa aja juga pasti cocok.”
Ellena makan dengan sangat lahap. Sesekali dia mengobrol dengan Vira dan juga beberapa rekan kerjanya yang lain di mana saat ini mereka duduk Satu meja.
Ellena memang dikenal sebagai karyawan yang ramah dan baik pada semua orang. Oleh sebab itu rekan kerja Ellena pun banyak yang suka dengan Ellena dan selalu mendukung promosi yang saat ini sedang Ellena jalani.
“Eh Ell, coba deh lihat itu. Lihat tuh siapa yang datang,” ucap Vira sambil sedikit menendang kaki Ellena yang duduk di hadapannya .
“Apaan sih? Emang siapa yang datang?” tanya Ellena yang kemudian menoleh ke arah belakang .
“Cie ... beneran ya Ell kamu sekarang pacaran sama Pak Johan?” celetuk salah satu teman kerja Ellena
“Kok pacaran sih? Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Pak Johan. Dia tetap atasan aku, sama kayak kalian juga,” sanggah Ellena yang tidak mau digosipkan menjadi kekasih dari Johan.
“Masa sih? Pak Johan Kelihatan banget loh suka sama kamu.”
“Ya itu kan urusannya Pak Johan . Kalau aku mah biasa aja kok.”
“Ell, kamu makan di sini?” ucap Johan dari arah samping Ellena duduk.
“Iya Pak, saya males keluar ... soalnya udah laper banget.”
“Oh gitu, saya kira kamu makan di luar tadi,” ucap curhat sambil tersenyum ramah.
“Cie ... senyumnya itu amat, Pak,” ledek salah satu rekan Ellena yang juga mengenal Johan.
“Emang kenapa sama senyum saya?” tanya Johan balik.
“Senyumnya beda Pak, senyumnya kayak senyum orang yang lagi ketemu sama ayangnya.”
Johan tergelak ringan, “Kalian itu ada-ada saja. Ya udah, saya tinggal makan dulu ya. Ell, makannya pelan-pelan. Nanti kamu bisa tersedak kalo makan kayak gitu,” pesan Johan sembari pamit karena Johan yang merasa tidak enak pada Ellena karena predikat teman temannya tadi.
“Iya, Pak,” jawab Ellena sambil melihat ke arah Johan.
Ellena kembali meneruskan makan siangnya. Dia tidak peduli dengan ledekan dari teman temannya, karena baginya itu tidak penting. Ellena tidak ingin menambah pikirannya hanya demi sebuah gosip murahan yang dikeluarkan oleh teman-temannya.
Setelah mengambil makan, Johan memilih duduk di bagian para manajemen. Sebenarnya tadi dia ingin duduk di meja Ellena karena di sana masih ada satu bangku kosong. Tapi karena teman-teman Ellena tadi ada yang meledeknya karena menyapa Ellena, Johan merasa tidak enak nanti kalau dia dan Ellena menjadi bahan ledekan orang lain.
“Ell, kenapa sih kamu nggak mau sama Pak Johan?” tanya salah satu rekan kerja Ellena.
“Iya bener Ell, kenapa kamu nggak mau sama Pak Johan? Padahal kan Pak Johan itu ganteng, udah gitu kaya. Pasti kamu bakalan enak kalau mau sama Pak Johan,” imbuh teman Ellena yang lain.
“Aku nggak sematre itu kali. Lagian kalau mau jalin hubungan itu kan berurusan sama hati, bukan sama hartanya gais. Bener kan?” Ellena menjawab pertanyaan teman temannya.
“Tapi Ell, ada yang bilang katanya kalau nanti sering barengan bakalan tumbuh cinta. Emangnya kamu nggak pengen nyoba itu dulu, soalnya ini yang naksir kamu Pak Johan loh, bukan orang biasa-biasa aja. Dia juga banyak fans di sini tau.”
Ellena melihat ke arah teman-temannya, “Kalian tahu dari mana sih Pak Johan naksir sama aku? Aku loh nggak ngerasa kayak gitu sama sekali, tapi kenapa kalian malah sebarin kabar kayak gitu sih. Gak enak tau kalo ntar Pak Johan denger,” tanya Ellena balik.
“Yaelah Ell, dari gelagatnya aja udah tahu kali gimana perasaannya Pak Johan ke kamu. Semua orang yang ngelihat juga pasti tahu akan hal itu, tapi cuma kamu doang yang nggak tahu,” sahut Vira.
“Ah udahlah, nggak usah mikir yang kayak begitu. Entar malah aku dianggap kegeeran gara-gara percaya omongan kalian. Aku sekarang lagi pengen fokus sama promosi aku dulu.” Ellena berharap setelah ini tidak ada lagi gosio tentang dia di kantor ini.
“Eh eh ... lihat tuh siapa yang datang. Nggak salah tuh si ganteng makan di sini,” ucap salah satu teman Ellena yang di depannya.
“Si ganteng? Siapa lagi sih itu.” Ellena memutar badannya untuk melihat orang yang ada di belakangnya.