Bab 8. Selidiki Dia

1206 Words
“Heh, kamu. Berhenti!” panggil Sean sedikit berteriak. Panggilan dari Sean itu mampu menghentikan langkah kaki Ellena. Wanita itu langsung merasa tulangnya seperti membeku dan tidak bisa bergerak lagi. Sean masih menetap ke arah Ellena yang kini berada sedikit jauh di depannya. Pandangan mata Sean tertancap lurus ke arah punggung Ellena yang sampai detik ini belum juga bergerak sedikit pun dari posisinya. “Ada apa Pak, kok panggil Ellena?” tanya Bima yang sedikit kaget kenapa Sean sampai memanggil karyawannya seperti itu. “Siapa dia?” tanya Sean mencoba untuk mengenali wanita di depan ya itu. “Ellena. Dia Ellena, karyawan bagian pemasaran yang saat ini sedang ada di urutan teratas daftar promosi kita,” sahut Johan yang sejak tadi tengah berbincang dengan Sean. “Ellena,” panggil Johan agar wanita itu bisa mendekat pada dirinya. ‘Aduh, kenapa pakai dipanggil sama Pak Johan segala sih,’ gumam Ellena dalam hati. “Iya, Pak,” jawab Ellena sambil tersenyum kaku. Ellena melangkah perlahan mendekati para atasannya yang memanggilnya. Tatapan mata Ellena sempat mendapati sorot mata tajam Sean yang sangat tidak ramah itu Ellena segera mengalihkan pandangannya dari Sean, karena tetap saja pria itu terlalu menakutkan baginya. Alih-alih berdiri di depan Sean, Ellena memilih untuk berdiri di samping Johan saja. Dia tidak mau terlalu menampakan diri pada Sean yang tampak ingin marah kepadanya. “Nah, ini Ellena.” Johan memperkenalkan Ellena pada Sean. “Kamu. Kamu orang yang tadi pagi telat datang briefing kan?” Sean langsung mengenali Ellena. “Maaf Pak, tapi saya tadi benar-benar butuh harus ke toilet,” jawab Ellena sedikit lega karena ternyata sayang hanya mengenalinya sebatas itu. “Kamu saat ini sudah jadi sorotan, jadi jangan bikin sesuatu yang bisa mengurangi nilai kamu,” tegas Sean. Ellena sedikit kaget dengan pernyataan dari atasannya itu, “Loh emangnya telat briefing aja bisa mengurangi poin, Pak?” tanya Ellena ingin jawaban yang jelas. “Ya kalau secara penilaian promosi sih enggak Ell. Tapi bisa jadi nanti Pak Sean kasih penilaian pribadi ke kalian. Gimana pun juga kan kalau orang dalam masa promosi itu semuanya harus dinilai selama dia ada di kantor ini. Jadi mungkin Pak Sean ingin orang yang ada di daftar promosi jadi pegawai yang benar-benar menjadi pusat percontohan sebelum naik jabatan nanti,” terang Johan yang lebih lembut daripada Sean. “Oh gitu, saya ngerti, Pak. Tapi saya tadi minta maaf banget kalau telat, tapi lain kali akan saya usahakan untuk tidak terlambat lagi.” Ellena berjanji akan lebih baik agar dia tidak mendapatkan pengurangan poin. Ellena mendengar ada suara mobil dan menoleh ke arah pintu karyawan, “Maaf Pak, mobil jemputannya udah datang. Saya permisi dulu.” Ellena berpamitan pada para atasannya. “Kamu nggak mau pulang bareng saya aja?” Johan menawarkan diri. “Gak usah Pak, nanti malah ngerepotin. Saya permisi dulu, Pak,” pamit Ellena yang kemudian segera pergi meninggalkan para atasannya. “Tapi Ell ....” “Jangan keliatan murahan di depan karyawan!” tegur Sean yang tidak suka dengan sikap dari Johan. Johan menoleh ke arah Sean, “Maksud kamu apa ngomong kayak gitu?” protes Johan. “Pikir aja sendiri. Bima, kita pulang!” perintah Sean yang kemudian segera pergi meninggalkan Johan sendirian. Sean meninggalkan Bima begitu saja tanpa peduli dengan apa yang saat ini sedang dirasakan oleh Johan padanya. Bagi Sean, sikap Johan pada Ellena tadi terlalu menunjukkan kalau Johan sangat menyukai Ellena. Sean dan Johan memang saling mengenal sebelum Sean memimpin perusahaan. Tapi sejak dulu Johan tidak menyukai karakter Sean yang terlalu dingin dan cenderung tampak sombong. “b******k! Masih aja dia nyebelin kayak gitu. Kalau dia bukan atasanku, udah pasti bakal ku tonjok dia tadi. Emang kenapa kalau aku baik sama Ellena? Aku bukan kayak kamu yang nggak suka sama perempuan!” gerutu kesal Johan yang kini hanya bisa menatap punggung Sean. Mobil Sean sudah terparkir di depan lobi kantor. Bima segera membukakan pintu belakang mobil agar atasannya itu bisa masuk. Setelah memastikan posisi duduk Sean sudah tampak nyaman, pria itu segera menjalankan mobil menuju ke kediaman atasannya Mobil melaju meninggalkan kantor dengan membawa pikiran tentang Ellena yang terus berputar di kepala Sean. Pria itu masih memikirkan Ellena yang memiliki aroma mirip dengan wanita yang bersamanya malam itu. “Bima, cari tahu tentang Ellena!” perintah Sean yang sedikit mengagetkan Bima. Bima melihat sayang sekilas dari spion tengah, “Ellena? Apa yang harus saya cari dari Ellena, Pak?” tanya Bima. “Cari tahu semua tentang dia dan parfum apa yang dia pakai malam ini.” Mendengar kata parfum diucapkan oleh atasannya, Bima kembali teringat akan tugas yang diberikan kepadanya tadi secara pribadi oleh Sean. Tampaknya Sean sudah menemukan aroma parfum yang hanya diingat oleh indra penciuman atasannya itu. “Apa Ellena orangnya, Pak?” tanya Bima sambil melihat ke arah Sean lewat spion tengah. “Belum tahu juga. Tapi aroma wanita itu sama dengan aroma Ellena,” jawab Sean yang masih belum terlalu yakin. “Maaf, Pak. Tapi saya tidak mencium aroma spesial dari parfum yang dikenakan oleh Ellena. Tampaknya itu hanya parfum biasa yang mungkin juga bisa dimiliki oleh orang lain.” “Iya, aku tahu itu. Tapi apa salahnya kalau kita cari tahu dulu. Sementara ini hanya aroma Ellena yang aku kenali sebagai wanita itu. Nanti kalau aku mendapatkan aroma yang mirip lagi, kita akan selidiki lagi.” “Baik Pak, saya akan segera menyelidiki tentang Ellena.” Bima segera melajukan mobil atasannya itu menuju ke apartemen milik Sean. Pria itu memang tidak tinggal bersama orang tuanya lagi, karena Sean lebih menikmati hidupnya dengan tinggal sendirian di apartemen. *** Hari ini Ellena agak sedikit sibuk. Dia harus mengikuti seminar khusus untuk karyawan yang sedang ada dalam masa promosi lalu disusul lagi dia harus mengawasi pelatihan untuk karyawan baru karena dia harus menggantikan Siska, atasannya. Tubuh Ellena terasa sedikit gontai ketika dia keluar dari ruang pelatihan. Perutnya terasa sangat lapar setelah dia dipaksa untuk berpikir keras sejak pagi tadi. Bahkan Ellena yang terbiasa mengkonsumsi banyak air minum ketika bekerja pun, kini asupannya sangat berkurang. “Lemes amat Bu? Laper ya,” ledek Vira yang mendapati Ellena masuk ke ruang kerja dengan badan yang lemas. “Laper, haus juga. Kita makan yuk ... di kantin aja, aku dah laper banget,” jawab Ellena yang kemudian segera meneguk air dalam botol minumnya hingga tandas. “Oke deh, yuk ke kantin. Aku juga udah laper,” Vira segera mematikan laptopnya dan bersiap pergi ke kantin bersama dengan sahabat baiknya itu. “Ellena,” panggil seseorang dari arah belakang. Ellena menoleh ke belakang dan melihat ada Bima sedang berjalan ke arahnya. Dia menganggukkan kepalanya untuk memberi salam pada pria itu. “Pak Bima, ada apa, Pak?” tanya Ellena sambil berdiri di samping tempat duduknya. “Ell, saya mau ngomong bentar sama kamu,” jawab Bima. “Oh, iya. Boleh, Pak.” Bima melihat ke arah Vira, “Ell, aku ke kantin duluan ya. Ntar aku pesenin kamu makan. Pak, saya permisi dulu,” pamit Vira yang mengerti kalau tatapan Bima itu untuk mengusirnya. ‘Duh, kalo Vira sampe gak boleh di sini, pasti ini penting banget. Mau nanya apaan ya?’ ucap batin Ellena. “Ell, malam itu kamu jadi ketemu sama Pak Sean gak?” tanya Bima sambil menatap tajam ke arah Ellena.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD