Kedua mata Sean masih menyorot tajam pada satu noda merah kecokelatan yang tampak sangat jelas di hamparan putih. Noda kecil itu tampak terlalu jelas hingga menyita perhatiannya.
Sean kembali mengangkat pandangannya. Pikirannya kembali pada peristiwa semalam yang terlalu samar sehingga dia tidak mampu mengingatnya dengan baik.
Sean berusaha keras mengingat siapa wanita yang bersamanya tadi malam. Namun, apa yang ada di ingatannya hanya siluet wanita itu sedang ada di dalam kuasanya.
“Aku harus segera mencarinya sebelum mulutnya membuat ulah! Aku gak akan biarkan orang dengan seenaknya menghancurkan aku!” tekad Sean sambil sedikit menggertakan giginya dan meremas sprei di tangannya dengan kuat. “Tapi di mana aku harus mencarinya, ya? Sampe sekarang aja aku masih gak inget orangnya kayak gimana. Pasti akan aku temukan. Gak ada yang gak bisa aku temukan di muka bumi ini, bahkan kalau dia sembunyi di dalam lubang semut sekalipun!” geram Sean sambil menggertakan giginya.
Saat ini, Sean sedang ada di puncak kariernya. Meski dia baru saja pindah ke Jakarta, tapi dalam dua tahun ini, dia mampu membawa perusahaan milik papanya itu terbang makin luas menguasai pasar dunia.
Sean tahu, kalau dirinya saat ini sedang menjadi bidikan banyak orang yang menjadi pesaing bisnisnya. Namun, Sean tetap waspada pada segala sesuatu yang terjadi padanya. Dia tidak mau hancur hanya karena sebuah noda kecil yang dia lakukan secara tidak sengaja itu.
Sean mencoba untuk mencari petunjuk siapa orang yang ada bersama dia tadi malam. Tapi sudah beberapa kali dia memeriksa sampai ke sudut kamar pun, tidak ada satu petunjuk yang dia dapatkan.
Sean menghela napas berat. Dia sedikit kesal dengan pikirannya yang sedikit kacau pagi ini. Kepalanya juga masih sedikit pusing, efek dari mabuk dan gairah tinggi tadi malam.
Saat menghadiri pesta jamuan dari salah satu rekanan bisnisnya semalam, entah mengapa Sean merasa tubuhnya sangat terbakar. Dia sampai merasa tidak mampu pulang karena kepalanya sangat pusing, tapi kejadian setelah itu dia sudah tidak ingat lagi.
“Tadi semalam aku sama Lisa. Apa dia orangnya?” ucap Sean mencoba menebak. “Kalo dia yang ada sama aku tadi malam, pasti dia masih ada di kamar ini. Wanita ambisius itu, pasti gak akan melewatkan hal seperti ini,” ucap Sean yang kemudian segera menghubungi Bima kembali.
“Iya, Pak. Saya sedang dalam perjalanan menjemput, Bapak,” jawab Bima saat dia menerima panggilan telepon atasannya.
“Mana Lisa?” tanya Sean tanpa menjawab ucapan Bima.
“Tadi Lisa izin gak masuk kantor, Pak. Katanya dia lagi gak enak badan.”
“Jadi, dia lagi sakit.”
“Iya, Pak. Memangnya ada apa, Pak? Apa saya perlu suruh Lisa ke kantor sekarang?”
“Tidak perlu, kamu buruan sini!”
Sean pindah duduk ke sofa sambil menunggu asistennya. Dia segera memainkan ponselnya untuk mengecek berkas-berkas yang masuk ke dalam emailnya. Namun, saat Sean sedang sibuk dengan pekerjaannya, sudut matanya sedikit terganggu dengan benda yang mengkilap karena terkena pantulan sinar matahari yang menerobos masuk melalui sela-sela gorden. Sontak saja, pandangan Sean langsung teralihkan ke benda itu.
“Kancing.” Sean mengambil benda itu dan melihatnya sampai dua alis tebalnya hampir terpaut.
“Ini pasti punya wanita itu. Aku harus cari dia sampai dapet, aku gak akan biarkan dia lolos gitu aja! Aku harus pastikan dia gak bisa mengambil keuntungan dari kejadian ini.”
Sean menyimpan kancing kemeja yang dia temukan itu di dalam saku celananya. Meskipun bukti itu sangat meragukan akan mempermudah dia menemukan orang yang dia cari, tapi setidaknya kini dia memiliki sebuah petunjuk. Sean berharap, petunjuk kecil itu akan berguna nantinya.
Sean pun berdiri dan kembali duduk. Dia mencoba berkonsentrasi lagi dalam pekerjaannya, tapi entah kenapa pikirannya masih terganggu dengan pertanyaan besar yang menghantuinya saat ini.
Sean kembali mencoba mengedarkan pandangannya lagi. Dia berusaha untuk mencari petunjuk lagi, siapa tahu masih ada petunjuk yang luput dari pandangannya.
Setelah tak menemukan apa-apa lagi, pria itu pun mengakhiri pencariannya tepat di saat dia mendengar suara bel berbunyi. Sean segera meninggalkan kamar itu dengan membawa kancing yang sudah dia masukan ke saku celana.
Sepi. Suasana di dalam mobil yang dikendarai oleh Bima sangat sunyi. Sean yang ada di kursi belakang tampak sibuk memeriksa emailnya, sementara Bima tetap fokus mengendarai, membawa atasannya agar segera tiba di kantor.
***
Ellena masih terduduk diam di atas tempat tidurnya. Dia masih menutupi tubuhnya dengan selimut kamar kosnya sambil menahan perih.
Rasa perih di inti tubuhnya memang sudah tidak begitu terasa lagi, tetapi rasa perih di hatinya setelah mengalami malam kelam bersama atasannya itu yang membuat Ellena sangat bersedih. Dia tidak menyangka, kedatangannya tadi malam itu akan membawa bencana untuk dia.
“Kenapa Pak Bima harus nyuruh aku ke sana tadi malam. Kenapa gak Pak Bima sendiri yang anter berkas itu. Kenapa harus aku!” ucap Ellena sambil menangis. “Kalo tadi malam aku gak pergi, aku gak akan mungkin ngalamin nasib kayak gini. Sekarang, aku udah hancur! Aku udah kotor!” pekik Ellena tertahan.
Ellena kembali menumpahkan air matanya di atas bantal. Dia masih menyesali kejadian semalam yang seolah membuat dia tak ingin lagi hidup.
“Gak ada gunanya lagi aku hidup. Aku udah kotor. Gak ada lagi orang baik yang mau sama wanita kotor seperti aku. Aku hanya akan membuat ibuku malu. Aku pasti bakal bikin ibu sedih,” ucap Ellena sambil sesenggukan.
Ellena membuka laci lemari kecil yang ada di samping tempat tidurnya. Dia mengacak isi lemari itu untuk mencari sesuatu yang dia pikir akan mampu membantunya menghilangkan rasa perih yang dia rasakan.
Ellena memegang kuat sebuah cutter di tangannya. Dia mengeluarkan mata pisau tipis itu dari sarungnya, lalu dia menatapnya dengan tajam. Ellena sudah gelap mata.
“Aku udah terlalu kotor. Aku udah gak layak hidup. Aku gak layak ketemu sama ibuku lagi. Maafin Ellena, Bu. Maafin Ellena yang udah mengecewakan Ibu. Maafkan Ellena, Bu,” ucap Ellena sambil mencucurkan air mata.
Ellena terpuruk. Dia sangat sedih dengan perlakuan Sean semalam. Perlakuan di mana pria itu seakan mengabaikan masa depannya, tanpa memikirkan bagaimana dia harus menjalani hidupnya dengan mahkota yang terenggut.
Ellena menatap ujung pisau tipis itu sambil terisak. Ada rasa takut saat ingin melakukannya. Namun, dia lebih takut melanjutkan hidupnya. Meski sempat ragu, akhirnya Elena pun mulai menempelkan bagian pisau itu pada pergelangan tangannya. Ellena memejamkan mata sambil sedikit menahan perih di kulit putihnya itu.
“Maafkan aku, Bu ….”