Bab 3. Sang Penyelamat

1114 Words
“Argh … sakit!” ucap Ellena saat dia merasakan perih di pergelangan tangannya. Ellena yang tadinya ingin mengakhiri hidupnya lewat pisau tipis itu seketika menghentikan niatnya saat mendengar dering telepon berbunyi. “Ibu,” ucap Ellena ketika dia melihat nama ibunya tertera di layar ponsel. Ellena mengambil tisu untuk membungkus goresan luka yang baru saja dia torehkan di pergelangan tangannya. Dia juga minum agar suaranya tidak terlalu serak sebelum menjawab panggilan telepon dari sang ibu. “Halo, Bu.” Ellena mencoba bersikap biasa saja agar ibunya tidak curiga kepadanya. “Ell, maaf Ibu ganggu kamu pagi-pagi gini. Tapi kamu lagi sibuk nggak, Ell?” tanya Sari ingin memastikan keadaan putrinya. “Enggak kok Bu, Ellena nggak lagi sibuk. Emang ada apa Bu, kok kayaknya penting banget?” “Kok suara kamu serak gitu? Kamu kenapa?” tanya Sari yang merasa suara anaknya sangat berubah. “Hmm … ini, Bu, Ellena lagi kena flu. Maklum di kantor itu AC-nya dingin, Bu. Makanya, suara Ell juga jadi serek deh. Oh ya, Ibu ada apa telepon?” “Anu … ini soal uang sekolah adikmu. Surat tagihan dari sekolah udah dateng, kira-kira uangnya ada nggak ya, Ell?” Sari merasa tidak enak pada putrinya karena terus saja merepotkan kehidupan putri sulungnya. “Ya ampun Bu, Ellena lupa transfer, Bu. Uangnya udah ada kok, bentar lagi Ellena transfer, ya. Ibu nggak usah khawatir ... kan Ellena udah janji bakal transfer minggu ini,” jawab Ellena mencoba untuk menenangkan ibunya. “Oh gitu, syukurlah kalau emang uangnya udah ada. Ya udah, Ell, kalo gitu aja kamu kerja dulu, ya! Nanti atasan kamu marah kalau terima telepon lama-lama. Oh ya, jangan lupa istirahat dan minum obat, biar flu kamu cepet sembuh. Pake baju hangat juga Ell kalo di kantor. Ibu gak mau kamu sakit.” “Iya, Bu, Ellena udah pake jaket kok ini. Minum obatnya ntar aja kalo jam istirahat. Ya udah, Bu, nanti Ell kabari kalau udah transfer uangnya.” Ellena ingin memastikan ibunya tidak khawatir lagi. Ellena mengembuskan napas berat setelah mengakhiri panggilan telepon dari sang ibu. Dia baru ingat kalau dia adalah tumpuan bagi keluarga kecilnya yang sangat bergantung pada penghasilannya di kota. Wanita itu tidak bisa membayangkan bagaimana nasib ibu dan adik kecilnya kalau nanti mereka mendengar dirinya mengakhiri hidupnya sendiri. Mungkin setelah mati pun, hidup Ellena tidak akan merasa tenang. Sejak kematian ayahnya 3 tahun lalu, Ellena harus membantu perekonomian keluarganya. Dia siap menanggung biaya sekolah adiknya hingga lulus SMA dari hasil kerjanya. Setidaknya Ellena ingin adiknya memiliki tingkat pendidikan yang cukup untuk modal bekerja nanti. “Tapi gimana kalau aku hamil, ya? Pasti nanti Ibu bakal nanya aku hamil anak siapa. Aku harus cari cara. Pasti ada obat buat cegah kehamilan. Ya, aku harus beli obat itu.” Semangat hidup Ellena yang pudar mulai kembali. Ellena coba menyadarkan dirinya sendiri kalau hidupnya ini bukan hanya miliknya. Ada ibu dan adiknya di kampung yang sangat bergantung pada Ellena. Tak ingin pikiran untuk mengakhiri kembali datang, Ellena pun segera berlari ke kamar mandi yang ada di kamarnya. Dia ingin membersihkan luka yang baru saja dia torehkan sendiri itu agar tidak terinfeksi. Setelah memberikan obat luka, Ellena memplester luka tersebut agar tetap steril. Ellena hari ini memang sengaja tidak berangkat ke kantor karena keadaan emosinya masih belum stabil. Dia tidak ingin melakukan kesalahan di kantor karena pikirannya sedang sangat berantakan. “Aku harus pergi mencari obat itu. Aku gak mau sampai hamil.” Ellena pun bergegas pergi setelah mengobati luka di pergelangan tangannya. Setibanya di sebuah apotek yang letaknya tidak begitu jauh dari kosannya, Ellena segera menemui penjaga apotek untuk menanyakan obat yang dia cari. “Siang Mbak, mau cari obat apa?” tanya penjaga Apotek itu. Ellena mencondongkan tubuhnya ke depan agar lebih dekat dengan si pelayan sebelum berkata, “Mbak, ada nggak obat buat mencegah kehamilan?” tanya Ellena sedikit berbisik. “Obat pencegah kehamilan?” Pandangan penjaga apotek itu mulai berubah pada Ellena. “Iya ... buat temen saya.” Ellena sedikit berbohong. “Tunggu sebentar ya, Mbak! Saya ambilkan dulu.” Penjaga apotek itu masuk ke dalam ruang obat. Ellena menunggu obat yang dia inginkan. Setelah dapat, dia segera membayarnya dan meninggalkan apotek itu. “Moga aja obat ini ampuh. Paling gak, aku harus mencegahnya dari awal,” ucap Ellena sambil meremas obat yang sudah ada di tangannya itu. *** Keesokan harinya, Ellena memutuskan untuk kembali bekerja. Dia tidak ingin membunuh karier yang sudah dia bangun selama beberapa tahun ini, apalagi dia sedang dalam masa promosi untuk kenaikan jabatan. Baru saja tiba di lobi kantor, Ellena melihat ada Lisa yang juga baru datang. Wanita cantik itu segera melambaikan tangannya pada salah satu teman baiknya di kantor. “Katanya kemarin kamu nggak masuk kantor, ya? Kamu sakit, Lis?” tanya Ellena pada Lisa. “Iya, aku agak nggak enak badan kemarin? Kepalaku sakit banget, soalnya kemarin habis nemenin Pak Sean ke pesta relasinya sampai malam,” jawab Lisa bercerita. Mendengar nama Sean disebut, Ellena kembali ingat akan kejadian malam itu. Ada rasa marah dan sedih. Namun, tentu saja itu tak ditunjukkan di depan Lisa. Dia bertekad melupakan semuanya. Apa pun risikonya, Ellena akan menanggungnya sendiri. “Kamu pergi sama Pak Sean?” tanya Ellena sambil mengukir senyum. “Iya, nggak tahu gimana ceritanya tiba-tiba aku udah nginep di hotel aja. Pas bangun, kepalaku sakit banget ... jadi mendingan aku nggak masuk. Eh, kamu mau kopi biasa, Ell?” tanya Lisa ketika mereka sudah ada di dalam Coffee Shop. “Iya, aku mau yang kaya biasa aja,” jawab Ellena sambil tersenyum canggung. “Kalau malam itu Pak Sean pergi sama Lisa, kok di kamar itu aku nggak ngelihat Lisa, ya? Terus Lisa tidur di kamar mana?” batin Ellena sambil melihat ke arah Lisa dengan rasa heran. “Katanya kamu kemaren juga gak masuk. Kamu sakit juga?” tanya Lisa ingin tahu. “Eem ... a-ku ... aku kemaren demam. Iya, aku demam. Kayak mau kena flu gitu. Untungnya aku langsung beli obat dan tidur seharian,” ucap Ellena sedikit gugup kalau Lisa akan curiga dengan jawabannya. “Bagus deh kalo udah sembuh. Cuaca sekarang emang ekstrim banget, banyak yang sakit juga di kantor.” Setelah mendapatkan kopinya, kedua wanita itu pun segera pergi meninggalkan coffee shop untuk naik ke ruang kerja mereka masing-masing. Ellena dan Lisa berdiri di depan lift yang akan mengantarkan mereka naik ke gedung perkantoran yang tinggi itu. “Selamat pagi, Pak,” sapa Lisa yang membuat Ellena langsung menoleh. “Pak Sean … mati aku! Apa dia inget kejadian malam itu? Apa dia tahu jika wanita yang bersamanya itu aku?” batin Ellena merasa sangat gugup jika harus bertemu dengan Sean yang tiba-tiba datang tepat di belakangnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD