Dunia yang Keras.

1112 Words
Pagi itu, Lily berdiri di lobi Blackwell Corp, menatap ke atas pada gedung kaca menjulang yang seakan menusuk langit. Dari luar saja, gedung itu tampak seperti simbol kekuasaan—dinding kaca berkilau, pintu berputar otomatis, dan deretan mobil mewah berhenti bergantian di depan pintu masuk. Bagi Lily, yang terbiasa dengan gedung-gedung sederhana di pinggiran kota, tempat ini terasa dingin, megah, dan … sedikit menakutkan. Tangannya menggenggam erat map cokelat berisi berkas kontrak—tugas pertamanya sejak resmi direkrut ke departemen khusus yang langsung berada di bawah pengawasan Ethan Blackwell sendiri. Hanya mengingat nama pria itu saja sudah cukup untuk membuat telapak tangannya basah oleh keringat. Gaun kerja pencil berwarna hitam pekat membalut tubuh Lily dengan potongan ramping, menegaskan siluet pinggangnya tanpa terlihat berlebihan. Di bagian atas, ia mengenakan blus sutra putih model wrap yang jatuh pas di tubuhnya, membentuk garis leher V yang sederhana namun anggun. Sebuah blazer abu-abu tipis menambahkan sentuhan formal, meski sedikit lebih besar di bahu—pinjaman dari sahabatnya, Clara. “Kamu tidak mungkin masuk rapat besar dengan gaun murahanmu,” kata Clara dengan nada setengah mengejek. “Setidaknya dengan ini, kamu terlihat setengah layak.” Lily menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantung yang seakan berlari maraton. Heels hitamnya beradu pelan dengan marmer putih setiap kali ia melangkah, dan rasanya setiap hentakan sepatu itu justru menguji keberaniannya. “Tenang, Lily,” bisiknya pada diri sendiri. “Ini hanya pekerjaan. Hanya rapat. Kamu bisa melakukannya.” Suara ting dari lift membuat jantungnya meloncat. Pintu terbuka, menampilkan sosok yang membuat langkahnya seketika terhenti: Ethan Blackwell. Pria itu tampak persis seperti yang digambarkan banyak orang—tinggi, tegap, mengenakan setelan hitam yang jatuh sempurna di tubuhnya. Rahang tegas, wajah dingin, dan sepasang mata kelam yang tajam seperti bilah pisau. Ada aura berwibawa yang membuat semua orang di sekitarnya secara instingtif menahan napas. Lily nyaris berbalik, namun suara Ethan terdengar singkat, tanpa emosi, memotong keraguannya. “Masuk.” Satu kata itu cukup membuatnya melangkah kaku ke dalam. Aroma samar parfum maskulin Ethan langsung menyergap, dingin tapi memabukkan. Di dalam, berdiri beberapa direktur senior. Tatapan mereka jatuh pada Lily—tajam, menilai, seolah ingin menimbang seberapa pantas gadis muda ini berada di ruangan yang sama dengan mereka. Ethan sempat melirik sekilas. Blus satin putih dengan garis leher sederhana, dipadukan dengan rok hitam ramping dan blazer abu-abu yang agak longgar. Penampilannya jelas bukan kelas papan atas, namun ada sesuatu yang berbeda. Bukannya tampak kikuk seperti yang ia bayangkan, Lily justru terlihat … elegan dengan caranya sendiri. Bukan glamor, bukan pula pamer, melainkan sederhana namun menonjol. Untuk sepersekian detik, pandangan Ethan bertahan lebih lama dari seharusnya, sebelum ia kembali memasang wajah dingin. Lily menegakkan punggung, meski perutnya terasa mulas. Ia bisa mencium samar aroma parfum Ethan—dingin, maskulin, dan entah kenapa memabukkan. Lift mulai bergerak naik. Hening. Hanya bunyi mekanis mesin yang terdengar. Dan saat itulah malapetaka kecil terjadi. Map yang ia pegang terlepas dari genggamannya, beberapa lembar dokumen jatuh berserakan ke lantai lift. Suasana hening berubah kaku. Salah satu direktur mendengus, menggeleng seolah baru menyaksikan sesuatu yang memalukan. “Beginikah kualitas sekretaris CEO yang baru direkrut?” katanya ketus, dengan nada meremehkan. Pipi Lily langsung panas. Ia buru-buru jongkok, mengumpulkan kertas dengan tangan gemetar. Jantungnya berdetak keras sampai telinganya berdengung. Ya Tuhan, ini baru pagi pertama dan aku sudah mempermalukan diri sendiri. Saat tangannya hampir kehilangan keseimbangan, sebuah tangan besar bergerak cepat, meraih lembaran terakhir sebelum ia sempat meraihnya. Lily terangkat kepalanya, dan mendapati Ethan sudah berdiri dengan kertas itu di tangan. Pria itu menyerahkan dokumen tanpa ekspresi. Matanya menatap tajam, suaranya datar tapi menusuk. “Fokus. Jangan biarkan hal kecil menjatuhkanmu.” Lily terpaku. Ucapan itu bukan sekadar teguran. Ada nada lain di dalamnya—dingin, ya, tapi juga seperti … ujian. Seolah Ethan ingin melihat apakah ia akan hancur karena hal sepele atau justru belajar darinya. Lily menelan ludah, mengangguk cepat. “Ya, Tuan.” Ia menahan rasa terhina, tapi entah kenapa, ada percikan aneh dalam dirinya. Bukannya ingin menyerah, ia justru merasa tertantang. *** Rapat dimulai di ruang konferensi lantai tertinggi, ruangan besar dengan meja oval panjang dari kayu mahoni. Dinding kaca memberi pemandangan kota yang menakjubkan, tapi bagi Lily, pemandangan itu hanya menambah rasa kecil dan asing. Ia duduk di kursi belakang, map di pangkuan, bolpoin di tangan. Setiap kata dari para eksekutif ia catat secepat mungkin. Istilah asing bertebaran: market penetration, equity, EBITDA, growth strategy. Beberapa ia pahami, sebagian besar tidak. Tapi Lily menolak menyerah. Bolpoinnya bergerak lincah, membuat diagram sederhana, garis panah, catatan kecil—berusaha keras menangkap inti dari diskusi itu. Ethan memimpin rapat dengan ketenangan yang menakutkan. Ia berbicara jarang, tapi setiap kata keluar dengan presisi, seperti pisau yang memotong udara. Ketika salah satu manajer mempresentasikan data proyeksi yang jelas-jelas keliru, Ethan menghentikan pembicaraan dengan satu tatapan dingin. “Angka itu salah,” katanya singkat. “Periksa ulang.” Ruangan langsung tegang. Suasana seakan membeku, tak seorang pun berani bersuara. Manajer itu menunduk, wajahnya pucat, lalu buru-buru membalik halaman untuk memperbaiki. Lily merasakan bulu kuduknya berdiri. Inilah dunia mereka. Dunia di mana kesalahan sekecil apa pun tidak ditoleransi. Dunia yang keras, kejam, tanpa kompromi. Ia menunduk, menulis cepat: ‘Tidak ada ruang untuk kesalahan. Ketelitian = kunci.’ Saat sesi istirahat, Lily memberanikan diri. Tangannya gemetar saat ia berjalan mendekati Ethan yang berdiri di sisi ruangan, dikelilingi beberapa direktur yang masih menunggu instruksinya. Ia menunduk sedikit, lalu menyodorkan catatan yang baru ia buat. “Ini … saya coba rangkum poin penting rapat tadi. Mungkin bisa membantu Anda, Tuan.” Ethan menoleh. Untuk sepersekian detik, ekspresi dinginnya terguncang tipis, nyaris tak terlihat. Ia mengambil kertas itu, meneliti cepat. Catatan Lily rapi, penuh coretan kecil, ada diagram sederhana yang menghubungkan strategi dengan risiko, bahkan beberapa pertanyaan yang ditulis di tepi halaman. Itu bukan sekadar catatan—itu upaya memahami. Ethan mendongak, menatap Lily. “Untuk orang yang baru pertama kali hadir, kamu menyerap lebih cepat daripada sebagian sekretaris lama.” Lily menahan senyum. Hatinya hangat mendengar pengakuan itu, meski wajahnya tetap dijaga agar tidak tampak terlalu puas. Tapi Ethan menambahkan, suaranya tetap dingin. “Jangan terlena. Dunia ini tidak peduli seberapa keras kau mencoba. Kalau kamu lengah, mereka akan menginjakmu tanpa ragu.” Kalimat itu menusuk Lily. Ada ketegasan, ada peringatan, tapi juga—anehnya—ada semacam kepedulian samar di baliknya. Seakan Ethan, dengan caranya yang keras, tidak sedang menghancurkannya, melainkan menyiapkan. Lily menunduk, menyembunyikan tatapan matanya yang sedikit bergetar. “Saya akan berusaha, Tuan.” Ethan menatapnya lebih lama dari seharusnya. Ada sesuatu pada gadis itu—ketulusan, keberanian rapuh, dan tatapan mata yang berbeda dari wanita-wanita lain di sekitarnya. Mata Lily tidak dipenuhi ambisi sosial, tidak berkilau karena sorotan kamera, melainkan menyala karena tekad.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD