Ethan Blackwell
Langit kota malam itu berwarna kelabu, seolah menolak sinar bulan untuk menembus selimut kabut yang melingkupi gedung-gedung tinggi. Dari lantai 52 gedung Blackwell Corp, Ethan Blackwell berdiri di balik kaca setinggi dinding, tubuhnya tegap, jas hitam menempel sempurna di setiap lekuk ototnya. Di tangannya, segelas whiskey berkilau memantulkan lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di bawah sana, sementara matanya tetap kosong, menatap jauh ke cakrawala yang tampak tak terjangkau.
Satu tangan masuk ke saku celana, tangan lain menggenggam gelas whiskey itu seolah mencoba merasakan sesuatu—hangat, pahit, nyata—di dunia yang perlahan kehilangan makna bagi Ethan. Nama Ethan Blackwell selalu terdengar seperti simbol: kekuasaan, uang, dan ketegasan. Tapi di balik semua ketenaran dan kekayaan itu, ada hampa yang terus membesar, menekan d**a setiap kali ia menutup mata.
Selama bertahun-tahun, Ethan telah menjadi versi dirinya yang dipaksakan: CEO yang sempurna, suami yang patuh, pewaris yang tak pernah salah. Semua orang melihat kesuksesan itu sebagai lambang keberhasilan—seorang pria yang mengendalikan segalanya. Tapi hanya dia yang tahu, kekuasaan itu seperti rantai emas yang menjerat, cantik di mata orang lain, namun menyakitkan saat mengekang jiwa.
---
Langkah hak tinggi memecah keheningan ruang kerjanya. Victoria, istrinya, muncul dari pintu, gaun sutra biru laut menempel di tubuh rampingnya, rambut pirang keemasan tergerai rapi, wajahnya sempurna seperti patung marmer. Tapi di balik kecantikannya, ada sesuatu yang menyejukkan sekaligus menusuk: tatapan dingin yang menilai, menghitung, menimbang setiap kata yang keluar dari mulutnya.
“Ethan,” suaranya lembut tapi menuntut. “Kamu akan ikut makan malam dengan ayahku besok malam, kan?”
Ethan menoleh sebentar, sekadar sekilas. Lalu kembali menatap kota, menatap lampu-lampu yang seolah memandanginya balik. “Kalau tidak ada jadwal penting, mungkin,” jawabnya, datar.
“Mungkin?” Victoria mengangkat alis, mendekat dengan langkah elegan tapi penuh wibawa. “Ayahmu dan ayahku menyatukan kita. Kehadiranmu di acara keluarga bukanlah sesuatu yang bisa dinegosiasikan.”
Ethan menaruh gelasnya di meja marmer, suara kaca berdenting halus. “Jangan salah paham. Aku tidak menikahimu karena aku mau. Semua orang tahu itu,” ucapnya, nada berat dan datar.
Victoria menatapnya, matanya menyala, dan dengan desahan dingin, ia membalas: “Kalau begitu jangan heran bila aku juga tidak peduli pada peranmu sebagai suami.”
Ia berbalik, meninggalkan ruangan dengan langkah pasti. Aroma parfum mawar yang menusuk menggantung di udara sesaat sebelum pintu menutup keras. Ethan menarik napas panjang, menekan jembatan hidungnya, merasakan denyut lelah yang tak bisa ia hapus. Pernikahan ini hanyalah sandiwara yang dipentaskan oleh dua orang asing, terjebak dalam kontrak formalitas dan tuntutan sosial.
Ia menatap kembali kota yang luas, bayangan cahaya lampu yang berkelap-kelip seperti puzzle yang tak pernah selesai. Dunia menilai Ethan sempurna—tapi hanya ia yang tahu bahwa di balik semua itu, ada kehampaan yang menelan setiap momen kebahagiaan yang mungkin datang.
Kilatan petir menyambar, memantulkan bayangan dirinya di kaca. Ethan memandang refleksi itu: pria tiga puluh dua tahun, rahang tegas, mata gelap penuh rahasia, dan senyum yang jarang sekali muncul. Pria ini adalah kekuatan, tetapi juga penjara.
---
Keesokan paginya, aroma kopi segar menyebar di lobi Blackwell Corp, bercampur dengan aroma sepatu hak tinggi dan parfum kantor yang tajam. Hari itu, gadis berusia 25 tahun, Lily Rosemont, melangkah dengan gugup namun berusaha tegar. Gedung itu begitu megah: marmer putih, kaca tinggi, layar LED yang menampilkan laporan saham perusahaan.
Hari pertamanya sebagai sekretaris pribadi CEO membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menggenggam tasnya, berbisik pelan, “Tenang, Lily … jangan sampai kelihatan bodoh.” Rambut cokelat gelapnya disisir rapi, wajahnya polos namun menampilkan ambisi tersembunyi yang belum ia kenali sepenuhnya.
Seorang staf HR membimbingnya ke lantai atas. Setiap langkah menimbulkan gema di lorong kaca, menciptakan ritme tegang yang membuat Lily semakin sadar akan posisinya yang baru: bekerja langsung untuk Ethan Blackwell.
Pintu lift terbuka, dan seorang wanita tegas bernama Clara menunggu.
“Kamu Lillian Rosemont?” tanyanya, suara cepat dan tanpa basa-basi.
“Ya, Bu,” jawab Lily, berusaha menenangkan napasnya.
Clara mengangguk singkat, lalu menuntun Lily menelusuri lorong kaca buram menuju kantor CEO. Pintu kayu hitam terbuka, dan di sana dia—Ethan Blackwell—duduk dengan sikap tenang yang hampir menakutkan. Jas abu-abu arang menempel sempurna, dasi hitam kontras dengan kulit pucatnya. Mata gelapnya langsung menatap Lily, dan seketika ruangan terasa hening.
Tatapan itu—dingin, menusuk, penuh kuasa—mampu menembus lapisan rasa gugup Lily, membuatnya ingin menunduk tapi juga menahan diri agar tidak kehilangan harga diri.
“Ini sekretaris barumu, Tuan Blackwell,” kata Clara.
Ethan hanya menatap Lily lama, diam, menilai setiap detail: rambut sederhana, seragam rapi, tangan gemetar halus karena gugup. Sesuatu dalam dirinya—bagian yang sudah lama mati—mendadak bergerak, terbangun dari tidur panjang.
“Nama?” Suaranya rendah, berat, menggantung di udara.
“L-Lillian Rosemont, Tuan,” jawab Lily, hampir bergetar.
Ethan memiringkan kepala, matanya cepat menilai, membaca lebih dari yang seharusnya bisa dilihat orang lain. Polos. Belum ternoda. Dan itu memicu sesuatu—rasa ingin mengendalikan, rasa ingin menantang, dan mungkin, rasa ingin melindungi.
“Mulai hari ini, kau akan berada di bawah pengawasanku langsung,” katanya akhirnya, nada penuh otoritas, tidak ada ruang untuk bantahan. Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan penekanan yang halus tapi mengintimidasi, “Jangan pernah membuatku kecewa.”
Lily mengangguk cepat. “Ya, Tuan. Saya akan berusaha keras.”
Sekilas, bibir Ethan melengkung tipis. Entah itu senyum, atau hanya sekadar gestur yang sulit diartikan. Tapi bagi Lily, itu cukup untuk membuat jantungnya berdebar tak terkendali. Dalam sekejap, dunia yang selama ini ia kenal berubah menjadi sesuatu yang menegangkan, menggoda, dan berbahaya.
Ethan kembali menatap kota. Segelas whiskey masih di tangannya, namun pikirannya sudah jauh melayang—menghitung potensi, membaca kemungkinan. Ada benih sesuatu yang baru, sesuatu yang … tidak semestinya. Lily Rosemont adalah sekretaris baru, tapi tatapan polosnya telah membangkitkan sesuatu dalam Ethan yang ia kira telah lama mati: rasa ingin mengontrol, rasa ingin mendominasi, rasa ingin memiliki lebih dari sekadar profesionalisme.
Dan tanpa disadari oleh Lily, hari itu adalah awal dari benih yang terlarang. Benih yang bisa menumbuhkan konflik, hasrat, dan kekacauan dalam dunia yang selama ini Ethan kendalikan dengan rapi.
Ethan Blackwell menghela napas, memutar gelas whiskey sekali lagi. Cairan amber itu menari mengikuti gerakan tangannya, seolah mencerminkan pikirannya sendiri: kacau, hangat, dan penuh potensi bahaya. Dunia di bawahnya tetap tenang, tak tahu apa yang sedang terjadi di lantai 52. Tapi di sini, di kantor yang sunyi ini, permainan baru telah dimulai.