Kontras yang Menyengat.

1244 Words
​Pagi hari di kantor pusat Blackwell Corp terasa seperti arena gladiator yang diselimuti sutra dan baja. Udara di lantai eksekutif Ethan Blackwell berbau kopi mahal, ozon pendingin udara, dan ambisi yang dingin. Namun, pagi itu, ada getaran kecil yang berbeda, getaran yang tidak disadari oleh siapa pun kecuali, mungkin, oleh Ethan sendiri. ​Pagi ini adalah hari pertama Lillian “Lily” Rosemont bekerja sebagai Sekretaris Pribadi baru CEO. ​Lily tiba tepat pukul 07.30, setengah jam lebih awal dari jam kantor. Tubuhnya dibalut setelan blazer yang dibeli dengan diskon khusus, tampak sedikit kebesaran di bahunya yang ramping. Dia bukan wanita fashionable seperti kebanyakan staf eksekutif yang mengenakan merek-merek mewah, tetapi ia memancarkan kemurnian dan ketulusan yang hampir terasa asing di lingkungan itu. ​Ia adalah fresh graduate dari universitas ternama, lulusan terbaik dengan beasiswa penuh. Keuletan dan kecerdasannya—terutama kemampuan linguistik dan pemahaman finansialnya—adalah alasan mengapa ia terpilih dari puluhan kandidat berpengalaman untuk menggantikan sekretaris lama Ethan yang pensiun karena usia. ​Saat melangkah ke lantai eksekutif, Lily merasakan ketegangan di udara. Semua orang berjalan cepat, berbicara pelan, dan memancarkan aura 'jangan-ganggu-saya'. Jantungnya berdebar, bukan karena takut, melainkan karena ambisi. Ia harus membuktikan bahwa Ethan tidak salah memilih gadis polos minim pengalaman sepertinya. "Ini adalah kesempatanku. Aku harus fokus. Aku tidak boleh membuat kesalahan satu pun. Ini adalah Blackwell Corp," monolog batin Lily. *** ​Ethan sudah berada di kantornya sejak pukul enam pagi, tenggelam dalam berkas dan kopi pahit. Malam tanpa tidur setelah pertengkaran dingin dengan Victoria membuatnya merasa semakin haus akan keteraturan dan substansi—sesuatu yang sama sekali tidak ada dalam hidupnya. ​Saat mantan sekretarisnya, Davies, membawa Lily masuk untuk perkenalan, Ethan hanya mendongak sebentar. ​"Tuan Blackwell, perkenalkan, ini Lillian Rosemont. Dia akan menggantikan saya mulai hari ini," ujar Davies dengan nada keibuan. ​Ethan menatap Lily. Tatapan abu-abu dinginnya menyapu dari kepala hingga kaki, menganalisis. Lily berdiri tegak, matanya yang besar dan hijau memancarkan rasa ingin tahu dan kegugupan yang polos. Rambut cokelat kemerahannya diikat ekor kuda rapi. ​"Selamat datang, Nona Rosemont," ujar Ethan, suaranya dingin dan formal. "Saya tidak peduli dengan latar belakang atau gelar Anda. Saya hanya peduli pada efisiensi. Jangan buat saya menyesal telah memilih Anda." ​"Baik, Tuan Blackwell. Saya akan bekerja tanpa cela," jawab Lily, suaranya mantap, meskipun ia harus mengerahkan seluruh keberaniannya. ​Reaksi Lily yang polos dan to the point tanpa basa-basi pujian atau ketakutan, segera menarik perhatian Ethan. Ini adalah kontras yang menyengat dengan orang-orang di sekitarnya—termasuk Victoria. ​"Matanya ... tidak ada agenda. Tidak ada kerakusan. Hanya kecemasan untuk membuktikan diri. Dia berbeda. ​Lily adalah antitesis sempurna dari Victoria D’Amore. Victoria adalah emas dan perunggu; Lily adalah gading dan linen. Victoria selalu menuntut; Lily hanya ingin melayani. Vicky penuh kepalsuan; Lily penuh kejujuran." Perbandingan itu terjadi secara otomatis di benak Ethan, dan dia segera merasa tertarik. ​Lily segera menunjukkan alasannya terpilih. Meskipun minim pengalaman korporat, ia belajar dengan kecepatan yang fenomenal. Dalam hitungan jam, ia menguasai sistem jadwal Ethan yang rumit, mengatur berkas-berkas rahasia dengan kode-kode yang efisien, dan bahkan mengoreksi sebuah kesalahan kecil dalam presentasi data yang tidak disadari Davies. ​Lily sangat fokus. Ia tidak terlibat dalam gosip, tidak bermain ponsel, dan setiap instruksi Ethan ia serap seperti spons. ​Saat makan siang, alih-alih pergi ke kafe mewah, Lily hanya mengeluarkan kotak makan siangnya—yang berisi makanan sehat rumahan—dan memakannya di mejanya sambil meninjau berkas. ​Ethan mengamatinya dari balik pintu kaca kantornya. Dia melihat etos kerja Lily, sebuah dedikasi yang langka. Lily bukan hanya aset; dia adalah cermin ketulusan yang sudah lama hilang dari hidup Ethan. ​Sore itu, Ethan memanggil Lily ke ruangannya untuk meninjau jadwal padat minggu depan. ​"Nona Rosemont, jadwal besok sangat padat. Batalkan makan malam saya dengan klien di Four Seasons. Ubah menjadi pertemuan tertutup di kantor pukul tujuh malam," perintah Ethan. ​"Maaf, Tuan Blackwell," sela Lily, melihat tablet-nya. "Tapi berdasarkan preferensi Anda, Anda tidak suka rapat bisnis makan malam dengan klien Tiongkok tanpa hidangan laut. Four Seasons adalah pilihan terbaik mereka. Memindahkannya ke kantor akan dinilai tidak sopan. Saya sudah mengatur agar koki hotel menyiapkan ruang privat untuk Anda." ​Ethan terdiam. Ia tidak ingat pernah menyebutkan preferensi itu, tetapi Lily telah menganalisis kebiasaannya dari catatan lama dan mengambil inisiatif. Ethan merasa kagum yang tulus. ​"Bagus sekali, Nona Rosemont. Lanjutkan," kata Ethan, menyembunyikan senyum kecil di balik tangannya. ​Tepat saat Ethan mulai merasa sedikit rileks berkat efisiensi Lily, telepon kantornya berdering. Itu adalah panggilan dari Victoria. ​"Ethan, aku sudah memesan meja untuk kita di gala Indonesian Arts malam ini. Kamu harus datang, Sayang. Menteri Perdagangan akan ada di sana," tuntut Victoria, suaranya terdengar jelas dari speakerphone. ​"Aku sudah bilang, Vicky, aku tidak bisa. Aku ada rapat penting hingga larut malam. Kamu pergi saja sendiri," tolak Ethan, nadanya kembali dingin setelah momen kehangatan dengan Lily. ​Victoria mendengus, tawa menghina yang membuat telinga Ethan panas. "Rapat penting? Kamu selalu punya alasan konyol, Ethan. Lebih penting dari networking di lingkaran elit? Astaga. Kamu benar-benar tidak mengerti bagaimana dunia bekerja. Kamu hanya tahu tentang angka dan aku tahu tentang nama. Jangan permalukan aku dengan ketidakhadiranmu. Kamu adalah CEO, bukan anak kecil yang harus disembunyikan." ​Victoria tidak meminta Ethan karena rindu; dia menuntut Ethan karena status dan citra sosialnya. ​"Dia tidak pernah melihatku sebagai suami. Hanya sebagai aksesoris sosial yang harus dia seret ke mana-mana. Aku benci dia." ​Ethan mematikan telepon itu tanpa mengucapkan selamat tinggal, kemarahan membara di matanya. Hanya beberapa detik yang lalu ia menikmati ketulusan Lily; kini ia harus berhadapan dengan kepalsuan Victoria. Kontras itu menyakitkan dan memicu tekadnya untuk mencari apa yang hilang. ​Lily, yang berada di dalam ruangan, mendengar sebagian besar pertengkaran itu. Meskipun dia berusaha untuk tidak peduli, dia merasakan aura kesepian yang menguar dari Ethan. Dia memberanikan diri. ​"Tuan Blackwell, apakah ada yang bisa saya bantu? Saya bisa menyiapkan berkas yang perlu Anda tinjau lagi," tanya Lily, nadanya hati-hati. ​Ethan mendongak. Ia melihat kepedulian yang tulus di mata hijau Lily, bukan kepedulian yang didorong oleh gossip atau rasa ingin tahu yang jahat. ​"Tidak, Nona Rosemont. Saya baik-baik saja," jawab Ethan, tetapi ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Lily. "Dia tahu aku berbohong. Dia melihatku. Wanita lain hanya melihat CEO. Dia melihat Ethan yang lelah." ​Tiba-tiba, Ethan menyuruh Lily mendekat untuk melihat peta strategis di dinding. Saat Lily membungkuk di sampingnya, aroma sabun Lily yang sederhana dan bersih memasuki indra penciuman Ethan. Itu adalah aroma yang sangat kontras dengan parfum high-end Victoria yang memuakkan. ​Jarak fisik mereka sangat dekat. Saat Lily menunjuk sebuah data, jarinya hampir menyentuh tangan Ethan. Ethan merasakan lonjakan panas yang cepat—sebuah s****l tension yang halus namun tak terhindarkan. ​"Anda harus fokus pada area ini, Tuan Blackwell," ujar Lily, suaranya sedikit bergetar karena kedekatan itu. ​"Ya, saya harus fokus," balas Ethan, suaranya serak. Namun, pandangannya tidak lagi fokus pada peta, melainkan pada leher Lily yang putih. ​Ethan menahan diri. Ia menarik napas dalam, memaksakan dirinya untuk menjauh. Ia tidak akan menyentuh Lily di hari pertamanya. Tetapi ia tahu, benih obsesi itu telah ditanam. Lily, dengan kemurnian dan ketulusannya, adalah oasis yang ia butuhkan untuk melarikan diri dari padang pasir Victoria. Ethan memutuskan: ia akan menunda pulang ke rumah. Ia akan menghabiskan jam-jam larut malam di kantor, di mana setidaknya ada kebenaran di dekatnya. ​Lily, tanpa sadar, telah menjadi penyelamat dan godaan terbesarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD