Kebohongan Manis.

1025 Words
​Pukul sebelas malam, Ethan Blackwell memasuki penthouse pribadinya di puncak salah satu gedung pencakar langit Jakarta. Namun, ketinggian ini tidak memberinya kebebasan; justru memberinya perasaan kesepian yang absolut. Suite seluas lima ratus meter persegi itu, dengan desain minimalis Italia dan furnitur mahal, terasa seperti makam marmer yang dingin, berkilauan di bawah cahaya lampu yang terukur. Di sini, kekuasaan tidak berharga, karena ia tidak bisa membeli kehangatan. ​Ethan baru saja menyelesaikan rapat dewan direksi yang sengit—sebuah pertempuran tanpa henti untuk mempertahankan kendali atas Blackwell Corp, yang media sebut dengan julukan CEO Hyper karena dominasinya yang kejam. Ia melempar tas kulit mahalnya, yang berisi berkas-berkas bernilai miliaran dolar, ke atas meja konsol. Ia mengendurkan dasi sutra, merasa bahwa ikatan itu mencekiknya, sama seperti ikatan pernikahan yang ia jalani. ​Ia berjalan menuju kamar utama. Di dalam, Victoria D’Amore (Vicky), istrinya, sudah terbaring di ranjang king size yang diselimuti sutra Prancis. Victoria tidak tidur; ia dalam mode istirahat strategis. Wajahnya ditutupi masker emas, tangannya sibuk membalas pesan di ponsel, mungkin dari rekan sosialita atau direktur yayasan amal. Ia tampak sempurna, elegan, dan dingin—seperti patung yang terlalu berharga untuk disentuh. ​Victoria tidak menoleh saat Ethan masuk. "Kamu baru pulang?" tanyanya, suaranya datar, tanpa nada penyambutan, seolah Ethan hanyalah sopir yang terlambat. ​"Ya. Rapat dewan," jawab Ethan. Ia berjalan menuju walk-in closet—sebuah ruangan sebesar kamar tidur biasa—untuk mengganti pakaian. Ia kembali dengan jubah mandi beludru hitam. Saat ia melihat ke cermin, ia melihat wajah yang tampak lelah, mata abu-abu dingin yang haus akan sesuatu yang nyata. ​Ethan mendekati ranjang, duduk di tepi, menyebabkan kasur pegas yang mahal itu sedikit berdesir. Ia meraih kaki Victoria, yang terbungkus celana pendek sutra, dan membelainya, sebuah isyarat yang lambat dan disengaja. Ia mencoba, sekali lagi, untuk menjangkau istrinya. ​"Aku butuh sesuatu, Vicky," ujar Ethan, suaranya pelan dan rendah, menunjukkan kebutuhan biologis yang mendesak, sekaligus kerinduan akan keintiman yang telah lama mati. ​Victoria menarik kakinya. Gerakan itu cepat dan tegas. Dia menatap Ethan, bukan dengan gairah seorang istri, melainkan dengan tatapan kesal karena waktu istirahatnya terganggu. Masker emas itu membuat ekspresi wajahnya menjadi lebih keras, seperti topeng pualam yang sombong. ​"Ethan, jangan sekarang. Aku lelah," tolak Victoria, kembali fokus pada ponselnya. "Aku baru saja menyelesaikan sesi facial anti-penuaan tiga jam hari ini, dan besok aku harus menghadiri charity gala bersama orang-orang penting. Tidur yang cukup adalah prioritas. Kamu tahu, citra itu penting." ​Penolakan itu bukanlah hal baru. Dalam delapan tahun pernikahan kontrak mereka, penolakan Victoria telah menjadi rutinitas yang dingin. Tetapi malam ini, penolakan itu disertai alasan yang membuat Ethan merasa seperti hanya seorang pengganggu. ​Kemarahan yang terpendam membuncah. Ethan berdiri, tangan terkepal. "Lelah? Kamu menghabiskan harimu di salon, di pusat kebugaran elit, dan di boutique yang tidak menghasilkan dividen satu sen pun bagi Blackwell Corp, sementara aku berjuang mempertaruhkan reputasiku sendirian di dewan!" ​Victoria bangkit, duduk tegak. Ia meletakkan ponselnya, dan kini, tatapan mata biru tajamnya—yang selalu ia gunakan untuk menghakimi sosialita lain—tertuju sepenuhnya pada Ethan. ​"Jangan bodoh, Ethan. Gaya hidup yang kujalani ini adalah investasi kita," balas Victoria, suaranya bernada superiority yang membuat Ethan muak. "Kehadiranku di acara gala dan charity menjaga citramu, menjamin bahwa Blackwell terlihat stabil dan berkelas. Pernikahan ini adalah kontrak bisnis, ingat? Dan dalam kontrak ini, aku adalah aset yang menjaga citra publikmu. Aku bukanlah b***k yang harus memuaskan kebutuhan biologismu kapan pun kamu mau!" ​Kata-kata Victoria menghantam Ethan dengan kekuatan yang meremukkan. Dia tidak hanya menolak hasratnya; dia merendahkannya, mengingatkan Ethan pada kenyataan pahit pernikahan mereka. Ethan menyadari, di mata Victoria, ia hanyalah alat untuk memegang nama Blackwell dan menjaga status D'Amore. ​"Kontrak," ulang Ethan, melangkah mundur. Suaranya penuh bahaya, dingin seperti baja. "Kontrak ini juga mencakup kewajiban. Aku butuh kehangatan, Vicky. Aku butuh gairah yang nyata, bukan formalitas yang dijadwalkan di kalender sosialmu. Kita adalah suami istri, bukan rekan rapat." ​Victoria tertawa, tawa hambar yang tidak mencapai matanya. Tawa itu seperti gesekan porselen. "Gairah? Itu permintaan kekanak-kanakan, Ethan. Jika kamu butuh saluran biologis, ku tahu di mana kamar tamu berada. Kamu bisa menelepon partner yang sesuai. Selama kamu menjaga kerahasiaan, memastikan nama Blackwell tidak terseret skandal murahan, dan tidak memilih seseorang yang bisa merusak citraku—aku tidak peduli." ​Victoria meremehkan hasrat Ethan, meremehkan kebutuhannya, dan secara tidak langsung memberinya izin untuk berselingkuh, namun dengan nada yang membuat Ethan merasa menjijikkan untuk melakukannya. Ethan bukan tipe pria yang mencari p*****r; ia mencari gairah dan sentuhan yang tulus, sesuatu yang Victoria, dengan sifatnya yang dingin, tidak akan pernah bisa berikan. ​"Dia bahkan tidak peduli jika aku mencari wanita lain. Dia hanya peduli pada citranya. Dia menjualku, menjual dirinya, demi nama. Dia benar-benar ratu es yang tidak punya jiwa," ucap Ethan dalam hati. ​"Kamu benar. Ini kontrak. Dan kamu telah melanggar klausul keintiman dasar yang tak tertulis, klausul yang mengikatku untuk tetap bersamamu," ujar Ethan, matanya menembus topeng emas Victoria. Ia merasa muak, jijik pada kekejian kontrak ini. ​Ethan membalikkan badannya. Dia tidak mengucapkan selamat malam, tidak ada sentuhan, tidak ada isyarat perdamaian. Dia hanya meninggalkan Victoria yang kembali meraih ponselnya, seolah pertengkaran itu hanyalah interupsi kecil. ​Ethan berjalan cepat menuju ruang kerjanya, sebuah ruangan yang menghadap langsung ke panorama kota yang bersinar—kota yang ia kuasai, tetapi ia tidak bisa menguasai hidupnya sendiri. Ia mengunci pintu. Dia menghabiskan sisa malam itu di sofa kulit mahalnya, ditemani sebotol wiski single malt yang mahal. "​Vicky tidak akan pernah bisa memberiku apa yang kubutuhkan. Dia terlalu sibuk menjadi Victoria D’Amore yang sempurna. Aku lelah berpura-pura." ​Kekosongan emosional dan kebutuhan biologis Ethan kini menjadi jurang yang mendesak untuk diisi. Ethan tahu, setelah penolakan yang merendahkan ini, ia telah resmi bebas secara emosional. Dia akan mencari kehangatan, kebenaran, dan gairah yang nyata. Dan orang yang akan membantunya melarikan diri dari penjara emas ini akan segera hadir. *** ​Pagi berikutnya, ia bangun dengan tekad baru: mencari anomali, sesuatu yang bisa mematahkan kebosanan dan kepalsuan ini, meskipun itu harus melanggar semua aturan kontraknya. Jantungnya, yang selama bertahun-tahun hanya berdetak untuk Blackwell Corp, kini mulai mencari detak yang lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD