Apartement Lily.

1133 Words
“Kamu sudah sampai,” katanya singkat. “Terima kasih sudah mengantar, Pak Ethan,” ucapnya akhirnya, mencoba mencairkan suasana. Ethan melirik sebentar, senyum samar muncul di sudut bibirnya. “Jangan terlalu formal. Rasanya aneh kalau kamu manggil aku begitu di luar kantor.” Lily menelan ludah. “Maaf, aku—” “Ethan.” Suaranya rendah, tenang, tapi cukup membuat Lily salah tingkah. "Cukup Ethan jika kita hanya berdua." Hening kembali mengisi ruang sempit mobil. Lily berpikir keras untuk segera menutup percakapan agar tidak semakin canggung. Ia pun mengalihkan pandangan ke luar jendela, lalu berkata basa-basi, “Kalau mau … Anda bisa mampir sebentar. Hanya kalau tidak keberatan, tentu saja.” Ia berharap Ethan menolak dengan sopan, sekadar formalitas belaka. Namun, jawaban yang ia dengar justru membuat jantungnya berdetak tak karuan. “Boleh,” jawab Ethan singkat, matanya lurus menatapnya. Lily spontan menoleh, tidak menyangka pria itu benar-benar menerima ajakannya. “S-serius?” tanyanya ragu, hampir menyesali kata-kata yang tadi keluar begitu saja. Ethan mencondongkan tubuh sedikit, membuat jarak mereka lebih dekat. “Aku tidak terbiasa basa-basi, Lily. Kalau aku bilang ya, berarti aku memang mau.” Lily terdiam. Ruangan sempit mobil mendadak dipenuhi ketegangan samar—antara sesuatu yang berbahaya dan menggoda. *** Lift berhenti di lantai delapan, pintunya terbuka dengan bunyi ting pelan. Lily melangkah keluar lebih dulu, langkahnya sedikit tergesa seolah ingin menghindar dari tatapan yang terus mengikuti punggungnya sejak tadi. Ethan berjalan di belakangnya dengan tenang, tangan dimasukkan ke dalam saku celana hitamnya, napas panjangnya begitu stabil. Udara malam yang dingin ikut merayap ke koridor apartemen, bercampur aroma karpet yang baru saja dibersihkan petugas kebersihan. Lily berhenti di depan pintu nomor 8-12, merogoh tas mungilnya sambil berusaha menenangkan degup jantung yang semakin tak karuan. “Ini … apartemenku,” katanya pelan, setengah berbisik. Ethan mencondongkan tubuhnya sedikit, menatap angka pintu sebelum kembali menatap Lily. “Heum,” gumamnya pendek. “Tidak buruk. Lebih aman dibandingkan tempat kos biasa.” Lily tersenyum hambar. “Ya, cukup nyaman untuk sendirian.” Ia buru-buru membuka pintu, lalu menoleh sebentar. “Anda … benar-benar mau masuk?” tanyanya, dengan nada bercanda yang kering. Ia mengira Ethan hanya akan mengangguk sopan, lalu pamit di depan pintu. Tapi pria itu justru menatapnya dalam-dalam, senyum tipis terbit di bibirnya. “Bukankah kamu yang menawari aku masuk?” Lily tercekat. Godaan kecilnya ternyata ditanggapi serius. “Aku … hanya basa-basi.” “Sayangnya aku bukan tipe pria yang bisa menolak ajakan seperti itu,” jawab Ethan datar, tapi ada sesuatu di matanya—seperti percikan kecil yang tak bisa ia sembunyikan. Jantung Lily berdegup makin kencang. Tangannya sempat ragu, kunci hampir terjatuh. “Kalau begitu .…” Dia membuka pintu, mendorongnya perlahan. “Silakan masuk.” Ethan melangkah tanpa ragu, seolah apartemen mungil itu memang sudah mengenalnya sejak lama. Lily menutup pintu di belakang, lalu menempelkan punggungnya sebentar, mencoba menarik napas panjang. Apa yang baru saja kulakukan? pikirnya panik. *** Ruang tamu apartemen itu sederhana—sofa abu-abu dua dudukan, meja kaca kecil dengan majalah yang ditumpuk rapi, dan rak buku yang dipenuhi novel serta beberapa jurnal kerja. Di sudut, ada dapur mungil dengan lampu kuning temaram. Ethan berdiri sejenak, menelusuri seisi ruangan dengan tatapan tenang. “Rapi,” komentarnya, menurunkan nada suara hingga terdengar dalam. “Aku kira seorang wanita yang sibuk seperti kau akan membiarkan piring menumpuk di wastafel.” Lily tersenyum kaku. “Aku terbiasa hidup sendiri. Kalau berantakan, aku sendiri yang terganggu.” Ethan melepaskan jasnya, melipatnya pelan dan meletakkannya di sandaran sofa. Ia duduk santai, bersandar dengan satu kaki disilangkan di atas kaki lain. Tatapannya tajam, tapi ada kelelahan samar di sana. “Jadi,” ucapnya akhirnya, “apa kamu selalu menawari semua atasanmu untuk mampir ke apartemen?” Lily tercekat. “Tentu saja tidak! Anda yang pertama.” Ethan menaikkan sebelah alis. “Begitu? Itu membuatku merasa cukup … istimewa.” Lily berusaha menutupi kegugupannya dengan berjalan ke dapur. “Mau minum? Aku cuma punya teh dan kopi instan. Tidak ada yang mewah.” “Kopi saja,” jawab Ethan, masih memperhatikannya. Tangannya sedikit gemetar saat menuang air panas ke dalam cangkir. Suara mendesis air terdengar jelas di ruang yang sunyi. Ia mencoba mengalihkan pikiran dengan bertanya, “Anda selalu menyetir sendiri? Padahal banyak CEO lain yang lebih suka pakai sopir pribadi.” Ethan mengambil jeda sebentar sebelum menjawab. “Aku tidak suka ada orang lain yang mendengarkan percakapanku. Terlalu banyak telinga yang bisa jadi berbahaya.” “Ah .…” Lily mengangguk pelan. “Anda tipe yang lebih suka mengendalikan segalanya, ya?” Ethan tersenyum samar. “Kamu cepat belajar.” Ia menerima cangkir dari tangan Lily, jari mereka sempat bersentuhan singkat—cukup untuk membuat Lily menarik tangannya buru-buru, seolah tersengat listrik. Lily duduk di sofa sebelahnya, tapi menjaga jarak satu lengan. Ia menyesap tehnya perlahan, berusaha tenang. Tapi hening panjang yang menyelimuti ruangan membuatnya makin sadar akan keberadaan Ethan yang terlalu dekat. “Kenapa kamu terlihat tegang?” suara Ethan memecah hening. “Aku tidak tegang,” jawab Lily cepat, terlalu defensif. Ethan menatapnya lekat, matanya tajam menembus. “Kamu berbohong. Matamu terlalu jujur.” Lily membuang pandang ke arah meja, pura-pura membaca majalah yang tergeletak. “Anda suka menuduh.” “Bukan menuduh,” Ethan mengoreksi lembut. “Hanya mengamati.” Detik itu Lily menyadari betapa berbahayanya pria di sebelahnya. Bukan karena kata-katanya kasar, melainkan karena tatapannya mampu membuka hal-hal yang berusaha ia sembunyikan. Lily merasa suasana terlalu intens. Ia bangkit berdiri, menaruh cangkirnya di meja. “Anda pasti lelah. Mungkin sebaiknya Anda pulang—” Belum sempat ia melangkah, Ethan juga berdiri. “Atau aku bisa tetap di sini sebentar lagi.” Nada suaranya tenang, tapi cukup membuat Lily berhenti di tempat. Ethan berjalan mendekat, langkahnya pelan namun mantap. Ia berdiri hanya beberapa inci dari Lily, cukup dekat hingga Lily bisa mencium aroma parfumnya yang maskulin bercampur sedikit aroma kopi. “Kenapa kamu mengajakku masuk kalau pada akhirnya ingin aku cepat pergi?” bisiknya rendah. Lily terdiam, menelan ludah. “Aku … aku hanya tidak ingin terjadi salah paham.” “Mungkin salah paham memang tak terhindarkan,” jawab Ethan, menatapnya dalam. Mereka berdiri berhadapan di depan pintu kamar Lily. Udara terasa menipis, waktu seakan berhenti. Lily bisa merasakan panas tubuh Ethan meski belum ada sentuhan. “Ethan ….” Auaranya hampir tak terdengar. “Kita tidak seharusnya .…” Ethan mencondongkan tubuh sedikit, wajahnya semakin dekat. “Aku tahu. Tapi anehnya, aku tidak ingin pergi.” Tatapan mereka bertemu, saling menahan, saling menguji. Ada magnet tak terlihat yang menarik keduanya semakin dekat. Lily tahu ia seharusnya mundur, membuka pintu, dan mengakhiri malam itu dengan batas aman. Tapi bibirnya enggan mengucap kata “selamat tinggal”. Ethan mengangkat tangannya perlahan, menyentuh dagu Lily dengan ujung jarinya. Sentuhan ringan itu membuat seluruh tubuh Lily bergetar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD