Pelanggaran Batas yang Disengaja.

1178 Words
​Perjalanan dari Blackwell Corp menuju apartemen Lily terasa seperti perjalanan antar dimensi. Di dalam Range Rover hitam Ethan yang mewah, keheningan mencekik, dipenuhi oleh memori singkat pelukan panik di lift yang gelap. ​Mobil berhenti di depan gerbang kompleks apartemen sederhana Lily di Jakarta Selatan. Cahaya lampu jalan yang remang-remang memantul di kaca mobil. ​Ethan mematikan mesin, keheningan total menyelimuti ruang sempit itu. Ia menoleh ke arah Lily yang terlihat sangat rapuh setelah insiden lift. ​“Kamu sudah sampai,” katanya singkat. ​“Terima kasih sudah mengantar, Tuan Ethan,” ucap Lily akhirnya, mencoba mencairkan suasana. Ia berusaha keras untuk terdengar profesional, untuk membangun kembali dinding batas yang baru saja diruntuhkan. ​Ethan melirik sebentar, senyum samar muncul di sudut bibirnya—senyum yang membuat wajah tegasnya terlihat berbahaya. “Jangan terlalu formal. Rasanya aneh kalau kamu manggil aku begitu di luar kantor. Itu bukan namaku.” ​Lily menelan ludah. Ia tahu Ethan mengacu pada janji mereka. “Maaf, aku—" ​“Ethan.” Suaranya rendah, tenang, tapi cukup membuat Lily salah tingkah. Nada d******i itu tak pernah hilang, meskipun ia hanya menyebut nama. "Cukup Ethan jika kita hanya berdua. Di luar hierarki kantor." ​Hening kembali mengisi ruang sempit mobil. Lily berpikir keras untuk segera menutup percakapan agar tidak semakin canggung. Ia pun mengalihkan pandangan ke luar jendela, lalu berkata basa-basi yang kemudian ia sesali, “Kalau mau … Anda bisa mampir sebentar. Hanya kalau tidak keberatan, tentu saja. Sekadar minum teh hangat.” ​Ia berharap Ethan menolak dengan sopan, sekadar formalitas belaka. Ia ingin menunjukkan bahwa ia masih gadis yang sopan, terlepas dari insiden lift. Namun, jawaban yang ia dengar justru membuat jantungnya berdetak tak karuan, seolah menerima tantangan yang mematikan. ​“Boleh,” jawab Ethan singkat, matanya lurus menatapnya. ​Lily spontan menoleh, tidak menyangka pria itu benar-benar menerima ajakannya. Wajahnya yang pucat karena kelelahan kini memerah. “S-serius?” tanyanya ragu, hampir menyesali kata-kata yang tadi keluar begitu saja. ​Ethan mencondongkan tubuh sedikit. Jarak antara wajah mereka kini hanya hitungan inci. Aroma maskulin yang kuat dan memabukkan menusuk indra Lily. “Aku tidak terbiasa basa-basi, Lily. Kalau aku bilang ya, berarti aku memang mau. Aku ingin kopi buatanmu.” ​Lily terdiam. Ruangan sempit mobil mendadak dipenuhi ketegangan samar—antara sesuatu yang berbahaya dan menggoda. Ini bukan lagi insiden ketakutan; ini adalah pilihan yang disengaja. ​Mereka keluar dari mobil, Ethan menyerahkan kunci mobil pada petugas keamanan apartemen. Lift berhenti di lantai delapan, pintunya terbuka dengan bunyi ting pelan. Lily melangkah keluar lebih dulu, langkahnya sedikit tergesa, seolah ingin menghindari gaze Ethan yang terasa membakar punggungnya. ​Ethan berjalan di belakangnya dengan tenang. Jas mahal bespoke-nya yang elegan terlihat mencolok di koridor sederhana itu. Tangan Ethan dimasukkan ke dalam saku celana hitamnya, napas panjangnya begitu stabil—kontras dengan napas Lily yang tak beraturan. ​Lily berhenti di depan pintu nomor 8-12, merogoh tas mungilnya sambil berusaha menenangkan degup jantung yang semakin tak karuan. ​“Ini … apartemenku,” katanya pelan, setengah berbisik. ​Ethan mencondongkan tubuhnya sedikit, menatap angka pintu sebelum kembali menatap Lily. Tatapan matanya kini membawa lapisan bahaya yang lebih tebal. “Heum,” gumamnya pendek. “Tidak buruk. Lebih aman dibandingkan tempat kos biasa. Sebuah refuge.” ​Lily tersenyum kaku. “Ya, cukup nyaman untuk sendirian.” ​Ia buru-buru memutar kunci, lalu menoleh sebentar. “Anda … benar-benar mau masuk?” tanyanya, dengan nada bercanda yang kering. Ia masih berharap Ethan hanya akan mengangguk sopan, lalu pamit di depan pintu, mempertahankan ilusi batas. ​Tapi pria itu justru menatapnya dalam-dalam. Senyum tipis, penuh kemenangan, terbit di bibirnya. “Bukankah kamu yang menawari aku masuk?” ​Lily tercekat. Godaan kecilnya ternyata ditanggapi serius, dan kini menjadi jembatan yang Ethan gunakan untuk menyeberang. “Aku … hanya basa-basi.” ​“Sayangnya aku bukan tipe pria yang bisa menolak ajakan seperti itu, Lily,” jawab Ethan datar, tapi ada sesuatu di matanya—seperti percikan kecil yang tak bisa ia sembunyikan. Itu adalah campuran gairah yang telah dibenarkan dan obsesi yang dilepaskan. ​Jantung Lily berdegup makin kencang. Tangannya sempat ragu. “Kalau begitu ….” Dia membuka pintu, mendorongnya perlahan. “Silakan masuk, E-Ethan.” ​Ethan melangkah tanpa ragu, tanpa jeda, seolah apartemen mungil itu memang sudah mengenalnya sejak lama. Lily menutup pintu di belakang, lalu menempelkan punggungnya sebentar, mencoba menarik napas panjang. Apa yang baru saja kulakukan? pikirnya panik. Ia tahu, dengan mengizinkan Ethan melangkahi ambang pintu, ia telah mengizinkan Ethan melangkahi batas terakhirnya. ​Ruang tamu apartemen itu sederhana—sofa abu-abu dua dudukan, meja kaca kecil, rak buku yang dipenuhi novel dan jurnal kerja. Kontrasnya mencolok: Ethan adalah kemewahan, apartemen ini adalah kesederhanaan. ​Ethan berdiri sejenak, menelusuri seisi ruangan dengan tatapan tenang, mengamati setiap detail kecil yang menceritakan kehidupan Lily. “Rapi,” komentarnya, menurunkan nada suara hingga terdengar dalam. “Aku kira seorang wanita yang sibuk dan cerdas sepertimu akan membiarkan piring menumpuk di wastafel.” ​Lily tersenyum kaku. “Aku terbiasa hidup sendiri. Kalau berantakan, aku sendiri yang terganggu.” ​Ethan melepaskan jasnya, melipatnya pelan, dan meletakkannya di sandaran sofa—sebuah tindakan yang terasa sangat domestik dan intim. Ia duduk santai, bersandar dengan satu kaki disilangkan di atas kaki lain. Tatapannya tajam, tapi kelelahan samar dari malam tanpa tidur yang dipicu Vicky terlihat di sana. ​“Jadi,” ucapnya akhirnya, menyeruput kopi yang disajikan Lily. “Apakah kamu selalu menawari semua atasanmu untuk mampir ke apartemen?” ​Lily tercekat, hampir tersedak tehnya. Pertanyaan itu langsung menusuk ke intinya. “Tentu saja tidak! Anda yang pertama. Tidak pernah terlintas di pikiran saya.” ​Ethan menaikkan sebelah alis. “Begitu? Itu membuatku merasa cukup … istimewa. Aku adalah yang pertama yang melihat dinding aslimu, Lily.” ​Lily berusaha menutupi kegugupannya dengan berjalan ke dapur. “Mau minum lagi? Aku cuma punya teh dan kopi instan. Tidak ada yang mewah.” ​“Kopi saja,” jawab Ethan, masih memperhatikannya. ​Tangan Lily sedikit gemetar saat menuang air panas ke dalam cangkir. Suara mendesis air terdengar jelas di ruang yang sunyi, mengisi kekosongan canggung. Ia mencoba mengalihkan pikiran dengan bertanya, “Anda selalu menyetir sendiri? Padahal banyak CEO lain yang lebih suka pakai sopir pribadi.” ​Ethan mengambil jeda sebentar sebelum menjawab, menyesap kopinya perlahan. “Aku tidak suka ada orang lain yang mendengarkan percakapanku. Terlalu banyak telinga yang bisa jadi berbahaya. Aku tidak suka didominasi.” ​“Ah ….” Lily mengangguk pelan. “Anda tipe yang lebih suka mengendalikan segalanya, ya?” ​Ethan tersenyum samar, senyum yang mencapai matanya. “Kamu cepat belajar, Lily.” ​Ia menerima cangkir dari tangan Lily, jari mereka sempat bersentuhan singkat—cukup untuk membuat Lily menarik tangannya buru-buru, seolah tersengat listrik. Sentuhan kecil itu membawa kembali memori pelukan erat di lift. ​Lily duduk di sofa sebelahnya, tapi menjaga jarak satu lengan. Ia menyesap tehnya perlahan, berusaha tenang. Tapi hening panjang yang menyelimuti ruangan membuatnya makin sadar akan keberadaan Ethan yang terlalu dekat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD