Setelah menyelesaikan masalah yang terjadi di Hotel, manajer Windy telah meminta maaf pada Ara dan juga Lia. Apalagi, Ara sampai di tampar oleh tamu kamar suiit itu.
Agar berita tidak menyebar, Windy mengajak Ara dan Lia untuk makan malam lebih dulu di Hotel.
Saat itu, Ara benar-benar sangat menyedihkan ketika dirinya di bungkam dengan sebuah makanan enak berupa steak daging.
Ara jelas tau, bahwa tindakkan yang manajer lakukan semata-mata karena takut, jika Ara akan membocorkan masalah yang baru saja terjadi.
Hanya saja, rasa sakit hati dan tamparan yang ia rasakan tidak hilang hanya dengan sepiring steak.
Makan malam itu berjalan cukup lama, hingga Ara berkali-kali melihat jam di tangannya yang sudah menunjukkan hampir pukul 12 malam.
Windy membiarkan Lia pulang lebih dulu, dan meminta Ara untuk tetap duduk di tempatnya.
Windy tau, jika kehidupan Ara begitu pahit. Sehingga apa yang Ara alami hari ini bukanlah apa-apa baginya.
"Ra, apapun bisa terjadi dalam hidup kita. Seperti yang terjadi tadi, tapi saya mohon jangan ceritakan hal ini pada siapapun ya. Saya takut, hal ini akan membawa pengaruh buruk untuk Hotel ini" Akhirnya, Windy menuturkan niat-nya yang sudah Ara ketahui.
"Anda tenang saja. Kalaupun saya bicara, belum tentu ada yang percaya!" Sahut Ara dengan tenang, namun dengan hati yang berkecamuk.
"Terimakasih, Ra. Saya jamin kamu akan terus bekerja paruh waktu disini. Sekarang kamu sudah boleh pergi, dan ini ada sedikit kompensasi untuk membeli salep pereda memar di wajahmu"
Windy memberikan sebuah amplop coklat pada Ara, sebelum meminta Ara pulang.
Ara hanya terdiam, menerima sesuatu yang ia yakini berisi uang.
"Kalau begitu saya permisi, Bu" Tutur Ara, menerima amplop tersebut dan meninggalkan Hotel Nirwana.
Meskipun Ara mengenal Windy dengan baik, namun inilah yang bisa Windy lakukan sebagai manajer untuk menjaga nama baik Hotel.
Dalam perjalanan, Ara membuka amplop tersebut, yang memang benar-benar berisi uang.
Wanita itu tersemyum getir, menertawakan diri sendiri yang sangat menyedihkan.
Rupanya, harga sebuah tamparan di wajahnya hanya bernilai 500 ribu saja. Ara tentu tertawa, melihat tingkah orang-orang kaya yang membungkam mulut si miskin dengan uang.
Apapun itu asalkan menghasilkan uang, Ara akan mengesampingkan harga dirinya.
Malam ini, ia sedikit terlambat datang ke Bar. Pada pukul 12 malam lebih, Ara baru saja tiba di Bar.
Lagi-lagi, setibanya disana ia mendapat omelan dari atasannya.
"Kamu masih mau bekerja disini ngga sih? Jangan seenaknya dong! Memangnya Bar ini milik Kakak-mu apa???" Sentak seorang atasan, sekaligus senior bernama Samuel.
"Maafkan saya, Kak Sam. Saya benar- benar ada urusan mendesak tadi" Sahut Ara, hanya bisa menerima teguran tersebut.
"Sudahlah, nggak ada lain kali ya. Kamu antar pesanan ini meja itu!" Ujar Samuel, menunjukk ke salah satu meja, dengan jumlah 8 orang.
"Baik, Kak!"
"Pakai ini!" Samuel melempar apron pada Ara, untuk segera di pakai.
"Ra, jangan di ambil hati ya!" Tutur Arga, teman kerja Ara.
"Iya, Ga"
"Ayo anter pesanan ini bareng!"
"Iya, Gue pakai apron dulu"
Dari kejauhan, seseorang memerhatikan situasi yang menimpa Ara. Dia tentunya Malvin, yang sejak tadi memerhatikan Ara, begitu dia datang.
Malvin seketika mengunyah es batu, ketika melihat Ara berjalan ke arah meja-nya.
Perlahan Ara meletakkan satu persatu pesanan makanan dan minuman atas nama Juan.
Ara sedikit mengernyit, melihat dua orang Wanita yang bergelayut dengan Edo dan juga Juan.
"Ini kan cowok songong kemarin!" Batin Ara, mengingat kejadian itu. Ia masih belum melihat Malvin di sana.
Apalagi, Topinya berhasil membuatnya tak melihat seserang di depannya.
"Gue tuangin lagi buat lo, ya?" Ujar Vanya, menuang botol ke gelas Malvin.
Sementara di samping Vanya, ada Elsa yang sibuk berjoget bersama Juan, lengkap dengan segelas minuman di tangannya.
Namun karena pengaruh alkohol, membuat Elsa oleng dan gelas yang ia pegang jatuh mengenai baju bagian lengan Ara.
Tidak sampai di situ saja, gelas kecil itu pun jatuh mengenai piring hingga menimbulkan serpihan kaca.
"Aduh, maaf ya mbak... Sepertinya dia mabuk!" Ucap Juan, memeluk Elsa yang sudah mabuk berat.
"Lagian nggak kuat minum, sok-sok'an minum!" Gerutu Vanya, menatap sini Elsa.
Sementara itu, Ara hanya diam dan melihat lengannya yang basah. Ia lebih dulu menenangkan diri, agar tak emosi.
"Mba, maaf yaa... Nanti piring dan gelas yang pecah di total aja, biar kita ganti uangnya" Ujar Vanya, dalam kesadarannya.
Lagi-lagi dengan uang, mereka para orang kaya menyelesaikan masalah.
Tanpa menjawab, Ara hanya mengangguk dan memunguti pecahan piring di atas meja.
Namun siapa sangka, sebuah tangan berotot terlihat sedang menahan tangan Ara yang baru saja akan membersihkan pacahan piring.
"Pakai sarung tangan karet dulu kalau mau membersihkan kaca!" Timpal Pria itu.
Sontak Ara pun menengadahkan pandangannya, yang memperlihatkan sosok Malvin berada di hadapannya.
Ara lalu memerhatikan segerombolan orang-orang ini, yang merupakan teman Malvin.
Entah mengapa, Ara terlihat kecewa. Ia hanya mengangguk, dan pergi dari meja itu seolah tak mengenal Malvin.
Apakah Malvin sama dengan orang-orang itu? Yang hanya mengandalkan uang untuk menyelesaikan masalah?
Ara yang sejak awal dalam suasana hati buruk pun, semakin dalam dalam mood yang buruk.
"Vin, lo liatin apa sih?" Tanya Vanya, mengikuti arah pandang Ara yang sudah tak terlihat.
"Bukan apa-apa!" Sahutnya tanpa menoleh pada Vanya. Pria itu lalu meneguk alkohol karena merasa tidak nyaman.
"Sebenernya apa yang terjadi sama Lo hari ini?" Batin Marvin dalam hati, setelah sempat melihat pipi Ara yang memar.
Tak lama kemudian, tibalah Arga untuk membersihkan meja dari pecahan kaca. Malvin melihat, Arga mengenakan sarung tangan karet untuk melindungi diri dari serpihan kaca.
"Loh, mba-mba tadi ko jadi mas-mas ganteng sih???" Celetuk Rizka melantur. Mendengar itu, Arga hanya tersenyum menanggapinya.
"Mba yang tadi lagi keluar beli sesuatu, jadi saya yang membersihkan" Sahut Arga, ramah.
Sejenak Malvin melihat jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul 1 dini hari.
"Lo mau kemana Vin?" Tanya Panca, melihat Malvin beranjak dari tempat duduknya.
Begitu pun dengan Vanya, yang terlihat penasaran dengan itu.
"Toilet! Kenapa?"
"Gue ikut!" Seketika, Panca pun beranjak dari tempat duduknya.
"Dih!" Malvin mengernyit, tak menyadari gelagat Panca.
Tak banyak babibu, Panca segera merangkul Malvin dan menjauh dari jangkauan teman-temannya.
"Sialan, ke toilet aja bareng-bareng! Mereka mau s*d*k p*nt*t apa giman???" Gerutu Edo, sambil mengunyah camilan.
"Hahah, gil* Lo! Mabok lo ya!" Juan pun menimpalinya dengan candaan.
***
Di sudut lain, Malvin baru saja keluar dari toilet. Tanpa menunggu Panca keluar, ia pergi begitu saja meninggalkan Panca di toilet.
"Nah, bener kan dugaan Gue. Kalo Lo pasti mau kabur lagi tanpa Gue! Sialan Lo, ngga tau apa kalau Gue gedek banget disana! Mana tu cewek sok akrab banget lagi, Ck!" Tiba-tiba, dari belakang Panca mengejutkan Malvin, namun ia berusaha bersikap tenang.
"Mau kemana Lo?"
"Balik lah, ke meja!"
"Bulshit, meja tuh ke arah sana. Bukan kesini! Ngga mau tau, pokoknya Gue ikut Lo!" Panca tetap pada pendiriannya yang ingin kabur dari perkumpulannya.
"Ck, yaudah!" Dengan santai, Malvin pergi keluar dari Bar tersebut.
Panca sempat heran, bukannya berjalan ke parkiran mobil, Malvin justru membawanya berjalan ke mini market terdekat dari Bar.
"Lo mau kemana si, Vin?" Tanya Panca, merasa tidak ada tujuan.
"Ssstt..." Dengan menunjuk jari telunjuk ke arah Panca, Pria itu berjalan sambil menatap lekat Wanita yang duduk di teras mini market.
"Heh, tunggu... Dia kan..." Bisik Panca, tak berhasil menghentikan Malvin.
"Iya, itu cewek tadi. Makanya diem kalo lo mau ikut Gue!" Tegur Malvin sekali lagi. Ia kembali berjalan mengampiri Ara, yang sedang duduk sendirian.
Sementara Panca, ia tentu mengikuti Malvin di belakangnya. Kali ini Panca terkejut, melihat sikap tak biasa Malvin terhadap seorang Wanita.
"Apa mereka saling mengenal?" Panca mengernyitkan kening-nya, menerka hubungan mereka.
Disisi lain, Ara juga terkejut melihat Malvin yang tiba-tiba ada di hadapannya. Apalagi Pria itu semakin mendekat ke arah-nya.
"Mau ngapain Lo?" Tanya Ara, sinis.
"Nggak, Gue cuma mau beli sesuatu disini. Pede banget Lo!" Cibir Malvin, mengalihkan pandangannya ke arah Panca.
"Ca, sini Lo! Katanya mau beli sesuatu" Malvin meninggikan suaranya, sambil memanggil Panca. Sontak Panca pun segera menghampiri Malvin.
Sejenak Panca menatap, dan menyapa Ara lebih dulu.
"Woy, ayo! Kenapa malah nangkring disitu!" Ujar Panca, melihat Malvin yang duduk di hadapan Ara.
"Ah, Lo masuk aja sana. Gue nunggu disini aja!"
"Sinting Lo!" Panca yang kesal pun memilih masuk ke mini market sendiriaan, sambil menatap sinis Malvin.
Kini, Malvin hanya berdua dengan Ara. Ia terlihat canggung sekaligus bingung, karena tidak ada topik untuk menjadi bahan pembicaraan.
"Lo sendiri lagi ngapain disini?" Tanya Malvin, memecah keheningan.
"Nyari angin!" Jawab Ara, singkat.
Apa hari ini terjadi sesuatu? Entah mengapa, Malam ini Malvin begitu penasaran dengan Ara yang terlihat murung.
Ada apa dengan pipi-nya? Batin Malvin, merasa penasaran.
Setelah melihat kemerahan di pipi-nya, Malvin yakin bahwa telah terjadi sesuatu pada Ara.
Duduk berdua di teras minimarket tak membuat keduanya menciptakan obrolan yang nyaman.
Hingga akhirnya, Panca keluar dengan membawa beberapa minuman kaleng dingin di kantong plastik.
Selain itu, Panca juga memegang satu buah es krim di tangannya yang belum ia buka.
"Vin, udah yuk!" Ujar Panca, berdiri di antara mereka berdua sambil tangannya berusaha membuka bungkus es krim.
Melihat itu, Seketika Malvin beranjak berdiri dan merebut es krim dari tangan Panca.
"Sial, kalo mau beli dong sana!" Cetus Panca, terlihat kesal karena es krimnya di rebut.
"Lo ambil lagi sana! Ini dompet gue," Malvin segera mengeluarkan dompetnya dan memberikannya pada Panca.
Dengan senang hati Panca menerima dompet Malvin yang cukup tebal. Oa tersenyum puas, setelah mendapatkan dompet Malvin.
"Ck, berisik banget!" Gumam Ara, dan beranjak dari tempat duduknya, bersamaan dengan Panca yang kembali masuk ke mini market.
Niat hati ingin menenangkan pikiran, Ara justru harus mendengar perdebatan antara Malvin dan Panca.
"Eh tunggu, Lo mau kemana?" Sergah Malvin, menghentikan langkah Ara.
"Menurut lo?" Sahutnya masih dalam keadaan suasana hati yang buruk.
Malvin paham, jika Ara harus kembali bekerja setelah beberapa menit berisitirahat.
"Katanya coklat bisa memperbaiki mood buruk. Makanlah sambil berjalan ke Bar!" Ucap Malvin, memberikan sebuah es krim coklat ke tangan Ara.
Pria itu segera pergi menghampiri Panca yang masih berada di mini market. Namun Ara menatap punggung Malvin yang semakin jauh, ia bingung dengan sikap Malvin yang tiba-tiba baik padanya.
"Apa dia berencana menghibur Gue?" Gumamnya, tersenyum getir sambil menatap es krim di tangannya.
Ara lalu membuka bungkus es krim tersebut, dan memakannya sambil berjalan.
(Jangan di tiru ya, makan sambil berjalannya!).
Gigitan pertama es krim coklat, memang membuat hati Ara menjadi lebih baik. Ia yang tadinya tak bersemangat dan merasa bosan bekerja, seketika membaik.
Rupanya memang benar, jika coklat mampu mengembalikan energi yang sempat hilang tadi.
Ara pun akhirnya kembali melakukan pekerjaannya sampai selesai. Sementara Malvin, ia kembali duduk di depan mini market bersama dengan Panca.
Kedua Pria muda itu tengah menikmati es krim yang baru saja Panca beli.
"Cewek tadi, yang bekerja di Bar kan? Lo kenal dia, Vin?" Tanya Panca, seraya menyantap Es krim dengan rasa Vanila.
"Iya, sekedar kenal aja sih" Sahut-nya, dengan singkat.
"Jarang-jarang gue lihat lo deket sama Cewek. Lo suka ya sama cewek itu?"
Pertanyaan Panca membuat Malvin mendelik ke arah-nya.
-
-
N3XT---