Tidak ada hujan tidak ada badai tapi gadis cantik yang berhadapan dengan dua lelaki di depannya itu terlihat begitu kesulitan seperti tertimpa musibah besar, beberapa menit yang lalu ia yang ingin makan siang bersama Darel awalnya berjalan lancar sampai tak lama datang lelaki berwajah dingin dengan sorot yang seperti akan mengulitinya hidup-hidup itu, siapa lagi kalau bukan Segara.
'Kenapa bos makan di kantin karyawan!' jeritnya dalam batin tidak berani mengutarakannya.
"Kamu kepala manajer yang baru pindah itu?" Segara bersedekap dengan mata melirik tajam lelaki di sebelahnya itu, ia sengaja menyuruh lelaki ini duduk di sebelahnya karena lelaki ini tadi ingin duduk di samping Riska, dia pasti ingin modus.
Darel mengerjap, mengangguk sopan. "Iya Pak, perkenalkan saya Darel."
"Hm."
Riska mendelik kecil melihat tanggapan angkuh Segara barusan, nih orang makin lama makin nyebelin dan sombong sekali, kalau saja bukan bosnya pasti sudah ia umpati. Sialnya saking fokusnya pada dua orang di depannya membuatnya yang sedang makan tidak fokus dan akhirnya tersedak.
"Uhuk-uhuk!"
"Ini minum dulu!"
"Minum."
Riska yang sedang tersedak sampai tercengang sesaat melihat dua gelas air yang diarahkan kepadanya secara bersamaan, Segara dan Darel sebagai pelakunya sontak saling tatap satu sama lain tak kalah syoknya, dan merekapun langsung berubah kikuk dengan suasana awkward barusan.
"S-saya minum punya saya sendiri saja," Riska meringis kaku sembari mengambil gelas airnya sendiri, kedua lelaki itu sontak menurunkan tangannya bersamaan membuat Riska hanya bisa menunduk kelu, sumpah suasananya sekarang membuatnya sangat canggung.
"Kalau makan yang benar," ujar Segara datar membuatnya mendengus pelan.
"Iya Pak." Balasnya tak kalah datar, Darel yang melihat interaksi dua orang itu seketika mengernyitkan alisnya samar, entah kenapa ia merasa hubungan mereka cukup aneh.
"Nanti ke ruangan saya." Titah Segara dengan tatapan lurus kearahnya, ia tentu saja mengernyitkan dahinya bingung.
"Ada urusan apa?"
"Tidak usah banyak tanya." Balas lelaki itu judes membuatnya mendecih kesal, selain tatapan sinis, suara singkat, dan wajah datar sebenarnya apasih kelebihan lelaki ini, herannya lagi kenapa lelaki ini hanya menyebalkan kepadanya padahal jika dengan karyawan lain lelaki ini tampak bodo amat dan cuek.
Riska memutar bola mata malas dan seketika teringat akan kehadiran Darel yang masih berada di meja itu, bahkan saat ini sepertinya seisi kantin tengah menatap kearah mereka dengan berbagai tatapan.
"Kamu tadi bawa mobil, Ris?" tanya Darel membuat Segara yang mendengarnya melirik sinis.
"Iya, kenapa?"
"Nggak, aku kira kamu gak bawa. Kalau nggak bawa pulangnya bareng aku aja." Jawab Darel tersenyum manis, Riska hanya bisa meringis kaku, entah kenapa ia tiba-tiba merasa bulu kuduknya berdiri karena hawa dingin yang menusuknya.
"Kalian saling kenal?" Segara bertanya tanpa ekspresi, bahkan suaranya sangat datar hampir tanpa riak.
"Ah iya Pak, kebetulan kami tetangga."
Segara seketika menggertakkan giginya dengan rahang mengeras, entah kenapa mendengarnya membuatnya sangat kesal dan marah. "Aneh sekali, kemarin pas saya ke apartemen Riska tidak melihat kamu."
"Bagaimana, Pak? Bapak ke apartemen Riska?" tanya Darel tampak membulatkan pupil matanya kaget.
Riskapun tak kalah syok dengan pernyataan tiba-tiba Segara barusan, ada apa dengan lelaki ini kenapa mengatakan hal seperti itu.
"I-itu kemarin aku sakit jadi Pak Segara datang buat jenguk."
"Kamu sakit apa?" fokus Darel langsung teralih kepadanya, Segara yang melihatnya tidak bisa menahan ekspresi muaknya.
"Cuma meriang ringan aja kok."
"Lain kali hubungi aku ya kalau kamu butuh sesuatu, aku bisa bantu." Tuturnya tulus, Riska hanya bisa tersenyum meskipun nampak begitu kaku dan jatuhnya aneh karena sangat dibuat-buat.
"A-ah, iya.."
Tak.
Riska dan Darel spontan mengangkat kepala menatap Segara yang barusan berdiri dari kursinya, lelaki jangkung dengan tubuh proporsional itu jelas langsung menarik atensi semua orang.
"Jam makan siang sudah habis, cepat ke ruangan saya!" ketusnya dingin tapi dengan tatapan tertuju kepada lelaki di sebelahnya membuat Riska jelas heran.
Dan meskipun begitu gadis itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menuruti perintah dari orang yang sebenarnya sangat ia benci itu. Sial sekali hidupnya harus menjadi bawahan dari mantannya sendiri.
***
"Ada apa Pak memanggil saya?" Riska hanya bisa menghela napas pelan menatap sopan lelaki di depannya yang terlihat begitu sibuk dengan komputernya itu, cih kalau lagi sibuk kenapa manggil dirinya sih.
"Tunggu disana, saya masih ada pekerjaan." Titah lelaki itu seenak jidatnya membuat Riska hanya bisa melongo tak percaya, tentu saja tatapannya langsung memicing tajam.
"Kalau begitu saya balik kerja dulu saja Pak, nanti panggil saya lagi ketika sudah tidak sibuk saja." Tukasnya mungkin hanya dirinya karyawan yang berani mengatakan hal seperti itu.
Kali ini Segara langsung mengangkat wajahnya, dengan tatapan tajam dan alis tebal yang sedikit terangkat entah kenapa membuat Riska jadi meremang di tempat.
"Kamu gak denger perintahku?" desis Segara dengan suara bass rendahnya yang sukses membuat gadis itu seketika duduk tanpa bantahan lagi, menyebalkan sekali dirinya seperti tidak bisa berkutik jika lelaki itu sudah berkata seperti itu.
Entah kenapa Riska jadi merasa de javu seperti waktu itu, Segara hanya memanggilnya kemudian menyuruhnya diam menunggu. Gadis yang tampak mulai bosan itu menghela napas, bertopang dagu dengan mata menurun sayu.
"Hoaam ..." Riska menguap tertahan dengan mata yang kian memberat, naasnya ia tadi lupa membawa handphonenya jadi kali ini dirinya benar-benar bosan sampai ngantuk.
Riska menoleh kearah Segara, terlihat lelaki itu masih saja sibuk berkutat dengan komputernya membuatnya mendengus pelan. Bodo amatlah mending dirinya tidur sebentar, lagian dirinya juga gak ngapa-ngapain disini. Dengan tanpa beban ia akhirnya menyandarkan tubuhnya di kepala sofa dan mulai memejamkan matanya, akan ia anggap ini sebagai jam istirahat gratis.
***
"Eugh!" Gadis dengan wajah bantal dan make up yang luntur kacau itu terperanjat dari tidurnya secara tiba-tiba, ia menoleh linglung kanan kirinya dan begitu sadar ia ketiduran di ruangan Segara membuatnya langsung berdiri spontan dari sofa. "Mampus, jam berapa sekarang!" gumamnya panik menoleh sekeliling mencari jam dinding, apalagi kehadiran Segara yang entah dimana membuat perasaannya kian tidak enak.
17.05 PM
"Mampus ..." gumamnya dengan pupil mata bergetar, jadi ia tidur dari sehabis jam makan siang sampai jam pulang kerja? Astaganaga kenapa dirinya melakukan hal sebodoh itu.
Ceklek.
Ia spontan terkesiap menatap arah pintu yang barusan terbuka dan terlihat lelaki yang sepertinya habis keluar dari kamar mandi dengan lengan kemeja yang masih tersingsing sampai siku.
"P-pak saya minta maaf ketiduran, saya tidak—"
"Keluar."
Riska kicep, terdiam dengan tubuh membeku, jujur sekarang ia benar-benar takut dipecat karena perbuatannya tadi memang sudah kelewatan. Melihat lelaki itu yang hanya menatapnya tanpa ekspresi membuatnya melenguh pelan, secara perlahan ia akhirnya berjalan keluar sambil menundukkan kepalanya, sudah pasrah jika hari ini benar-benar akan dipecat.
"Ke kamar mandi dulu sana, wajah kamu berantakan."
Riska spontan menoleh sepenuhnya dengan kerlipan lebar, Segara yang habis mengatakan hal itu berlalu menuju mejanya dan bekerja kembali seolah tidak terjadi apapun.
"J-jadi saya gak dipecat?" celetuknya terlampau senang.
Lelaki itu mengernyit menatapnya dengan tak terbaca, "kamu mau dipecat?" tanyanya balik yang langsung dibalas gelengan kuat Riska.
"Saya izin ke kamar mandi dulu kalau begitu, Pak!" serunya terlampau antusias menuju kamar mandi.
Meninggalkan lelaki yang duduk di kursi kebesarannya itu sendirian, Segara menatap nanar punggung Riska, tanpa diduga diam-diam sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya.