Di mobil itu hanya terjadi keheningan, sepanjang perjalanan Riska tidak bisa menutupi rasa canggungnya yang harus semobil dengan mantannya ini. Sesekali ia mencuri lirik kearah lelaki itu, tidak munafik ia cukup kagum dengan wajahnya yang semakin mempesona.
Riska segera mengalihkan tatapannya ke luar jendela, takut akan semakin terjatuh pada pesona lelaki ini. Ia menautkan kedua tangannya, sesekali menggosoknya untuk mendapatkan kehangatan, meskipun sudah memakai jas lelaki itu namun hawa dingin tetap menusuk tulangnya.
Ia mengerjap pelan saat melihat lelaki itu menggerakkan tangannya, dan begitu melihat Segara mematikan AC mobilnya tanpa berujar apapun membuatnya cukup tertegun.
"Di mana alamat kamu?"
"Eh?" Riska mengerjap, segera menormalkan ekspresinya. "Turunin aja di halte di depan."
"Ck!"
Riska terkesiap, menatap kaget mendengar decakan lidah Segara, padahal lelaki itu menatap ke depan namun rasanya ia seperti dikuliti oleh tatapan tajamnya.
"Saya gak mau dituduh bikin karyawan sakit karena turunin di tengah jalan yang sedang hujan deras." Ujarnya datar, Riska seketika mengulum bibirnya, sepertinya ini adalah kalimat panjang pertama yang ia dengar hari ini dari Segara.
"Saya bisa pake payung—"
"Saya gak mau kasih payung ke kamu."
Riska seketika mendelik sinis, padahal lelaki ini kaya tapi pelit banget. Akhirnya dengan muka tertekuk ia membuang muka ke luar jendela. "Apartemen Ayu Puspa." Ujarnya cepat dengan ogah-ogahan, padahal sebenarnya ia tidak mau memberikan alamatnya kepada lelaki ini.
"Hm." Balas Segara singkat membuat Riska menyipitkan matanya tajam.
Apakah orang ini akan mati kalau berbicara lebih panjang?!
***
"Arghhh! Kenapa harus dia sih yang jadi bosku!" pekiknya mencak-mencak begitu masuk ke apartemennya, ia melempar jas lelaki itu ke lantai dan menatapnya dengan permusuhan. "Dasar nyebelin, mana sengaja banget gangguin aku!" omelnya menunjuk-nunjuk jas yang tergeletak mengenaskan di atas lantai itu.
Riska menarik napas dalam-dalam, mencoba bersabar dan mengatur napasnya, ia mengeluarkan hanphonenya, langsung mencari nama lelaki itu di internet.
"Pewaris SG Group?" gumamnya sampai tercengang, ia langsung menelusuri makin dalam tentang lelaki itu namun selain jabatan dan usia semua hal tentang lelaki itu seolah dirahasiakan dari publik.
Ia seketika menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa, menatap atap langitnya dengan loyo. "Masa setelah ini aku harus terus bertemu dengan lelaki itu sih, gak mauuuu!" rengeknya mengacak-acak rambutnya, mungkin kalian heran kenapa dirinya sangat membenci lelaki itu tapi dirinya memang punya alasan tersendiri.
Drrrt ... drrrt ....
Ia melirik hanphonenya yang bergetar, segera duduk dan mengangkatnya. "Halo Pak?"
"Mbak ini saya sudah di bawah."
"Ah baik, sebentar saya habis ini turun ya, Pak." Kemudian ia segera beranjak dari tempat duduknya, barusan yang menelepon adalah montir yang ia panggil untuk memperbaiki mobilnya, ia trauma keapesan hari ini akan terulang kembali jadi ia harus segera memperbaiki mobilnya kembali.
Ia melangkah buru-buru untuk ganti baju, namun saat melihat jas yang tergeletak mengenaskan di lantai membuatnya mendesah berat. "Ck, kalau bukan bosku udah kubuang!" dumelnya memungut jas itu dan segera menaruhnya ke mesin cuci.
Setidaknya ia cukup tau terimakasih.
***
"Sekali lagi terimakasih banyak ya Pak, Bapak penyelemat hidup saya." Riska mengatupkan kedua tangannya dengan ucapan terimakasih yang begitu berlebihannya membuat montir di depannya hanya meringis aneh menatapnya.
"Saya permisi kalau begitu Mbak."
Riska manggut-manggut, langsung ber high five sendirian dengan rasa senang yang tidak tergambarkan. Mungkin ini kelihatannya alay, namun ia jadi menyadari jika ia tidak bisa hidup tanpa snow white nya (nama mobil kesayangannya).
"Kamu yang tadi pagi, kan?"
Riska terperanjat, sampai mencelat kaget ketika seseorang tiba-tiba menyentak bahunya dari belakang. Lelaki yang berpakaian kaos santai itu tidak asing untuknya, setelah mengingat-ingat ia langsung teringat lelaki tadi pagi yang menolongnya.
"Ah Mas!" serunya langsung mendekat antusias, "sebelumnya aku mohon maaf ya Mas tadi pagi langsung pergi gitu aja, soalnya aku buru-buru banget." Ujarnya meringis malu.
Lelaki bertubuh kekar dengan jawline tegas dan sedikit bulu halus di janggutnya itu perawakannya sudah seperti sugar daddy impian kaum hawa. Ia tersenyum hangat menatapnya sama persis seperti tadi pagi. "Tidak papa, kamu tinggal disini?"
Riska mengerjap, mengangguk membenarkan. "Iya, Mas sendiri?"
"Aku juga tinggal disini."
Sontak saja bola mata Riska membulat tak percaya, kebetulan yang tidak terduga sekali. Lelaki dengan rambut undercut rapi itu menatap Riska sejenak, sebelum mengulurkan tangannya ramah. "Aku Darel."
Riska mengerjap, buru-buru membalas uluran tangannya. "Ah, aku Riska, salam kenal." Sapanya dibalas senyuman hangat lelaki itu, wah gila sih padahal hanya bertemu beberapa kali tapi ia sudah bisa merasakan hawa green flag dari lelaki ini.
Setelahnya terjadi kecanggungan diantara mereka, Riska memainkan tangannya dengan senyuman kakunya bingung harus bersikap bagaimana, apalagi ia tipikal gadis yang tidak gampang dekat dengan lelaki pada umumnya.
"Kamu mau kemana tadi?"
"Hah." Riska tersentak, langsung menunjuk mobilnya yang ada di sebelahnya. "Itu tadi cuma nemenin montir yang mau benerin mobilku."
Darel menganggukkan kepalanya, "oh ini mobilmu yang katamu rusak itu ya." Tebaknya dibalas kekehan pelan Riska.
"Iya."
Lalu terjadi hening kembali, Riska lagi-lagi tersenyum kaku namun kali ini jatuhnya seperti meringis saking kikuknya, Darel yang melihat hal itu tersenyum tertahan. "Kalau begitu aku pamit duluan ya." Pamitnya, Riska langsung berdiri sempurna dan mengangguk cepat, menyadari sikapnya yang terlalu ketahuan Riska buru-buru belagak santai.
"Iya."
Darel tersenyum kecil, kemudian berbalik pergi membuatnya langsung membuang napas lega. Untuk ukuran orang introvert sepertinya bersosialisasi memang cukup berat. Ia sudah akan beranjak pergi namun harus terkesiap kaku di tempat ketika melihat lelaki itu kembali lagi, ada apa lagi?
"Maaf tapi aku boleh minta nomor telepon kamu?" Riska tentu saja langsung membulatkan kedua matanya, memicing curiga dengan maksud terselubung lelaki ini. Namun Darel kembali memberinya senyuman ramah, "sebenarnya aku baru pindah jadi aku belum kenal siapapun disini, jadi pikirku bisa tanya-tanya kamu kalau ada yang aku bingungkan." Jelasnya perlahan membuat Riska langsung membulatkan bibirnya.
"Oh boleh kok!" serunya semangat langsung memberikan nomor teleponnya, Darel diam-diam tersenyum senang melihatnya. "Ini Mas."
"Makasih ya, aku permisi dulu kalau begitu." Pamitnya kembali dibalas senyuman ramah Riska, setelahnya lelaki itu benar-benar beranjak pergi dari sana.
Riska masih berdiri di tempatnya, kemudian mengernyit sendirian. "Kenapa aku diam disini dah." Herannya menggeleng bodoh kemudian segera ikut beranjak dari basement.
***
10 tahun lalu.
"Eh guys! Denger-denger ada siswa pindahan ganteng banget!" seorang siswa perempuan berseragam cukup ketat diantara teman-temannya berlari masuk dengan menjerit tertahan, tak ayal atensi semua orang langsung tertuju kepadanya tak terkecuali seorang gadis yang duduk sendirian di pojok kelas.
Gadis berkacamata bulat, rambut ponytail, dan jerawat kemerahan di wajahnya itu mengerjap ikut penasaran.
"Waaah aku mau lihat!" seru semua cewek-cewek di kelas itu kompak langsung berlarian keluar.
Riska menjadi satu-satunya siswi perempuan yang tertinggal di kelasnya, sifatnya yang pendiam dan pemalu membuatnya cukup sulit berbaur dengan semuanya, hal ini bukan tanpa alasan tapi karena setiap ia mencoba berbaur teman-temannya selalu mengabaikannya, selayaknya anak sekolah pada umumnya masih terjadi pembulian fisik di tempat itu.
"Oy gak ikut cewek-cewek yang lain lo?" ujar salah seorang teman cowoknya diikuti tawa yang jelas meledeknya.
Riska merengut sebal, berdiri dari bangkunya dengan tak santai kemudian segera melenggang keluar kelasnya, daripada diledekin di kelas mendingan ia melihat siswa pindahan itu saja. Namun sepertinya khayalannya tidak akan kesampaian, sepanjang lobi terdapat puluhan bahkan ratusan murid yang saling berdempetan heboh membuat akses jalan benar-benar macet. Riska yang melihatnya melenguh berat, lebih baik ia berbalik pergi menuju halaman belakang sekolahnya saja untuk menghabiskan waktu istirahat. Ia yang tidak punya teman dekat membuatnya menjadi pemurung dan jarang bicara, bahkan waktu luangnya lebih sering ia habiskan sendirian di belakang sekolah atau di perpustakaan. Sungguh kalau boleh jujur ia ingin segera lulus dan meninggalkan lingkungan sekolah yang toxic ini.
Riska yang sedang duduk santai di kursi besi itu mengerjap ketika melihat seseorang berjaket hitam tengah duduk tak jauh dari tempatnya, untuk sesaat ia sampai membeku tersihir oleh pesona lelaki itu. Rambut hitam berkilau terkena terpaan angin, mata tajam seperti elang, dan garis rahang yang tampak tegas dari samping membuatnya sampai melongo, kenapa ia baru tahu ada siswa setampan ini di sekolahannya? Seharusnya siswa ini sudah sangat famous. Begitu asik memperhatikan lelaki itu nampaknya membuat lelaki itu juga merasa sedang ditatap seseorang, lelaki itu menolehkan kepalanya kearahnya membuat keduanya saling bertatapan lurus.
Riska seketika menelan ludah susah payah.
Ganteng banget, sungguh menurutnya untuk ukuran anak sekolahan wajah dan postur lelaki itu luar biasa sempurna, lelaki itu menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya berdiri dari tempat duduknya, lagi-lagi Riska dibuat terperangah oleh tubuh jangkungnya yang di atas rata-rata. Namun atensinya tertarik pada seragam yang dikenakan lelaki itu, jaketnya yang tidak di resleting memperlihatkan seragam sekolah yang nampak berbeda dengan seragamnya, detik itu juga ia menyadari jika lelaki itu adalah siswa pindahan yang sangat terkenal itu.
Riska tersenyum cerah, berniat menyapanya namun lelaki itu tanpa berujar apapun langsung melenggang pergi mengabaikannya.
"Haah ...!"
Riska terbangun dari tidurnya dengan napas ngos-ngosan, ia melirik jam alarmnya yang berdering kencang di atas nakas dan segera mematikannya, ia meraup wajahnya dengan d**a masih berdegup kencang.
"Kenapa tiba-tiba aku memimpikannya!" gumamnya tak percaya.