Gadis cantik dengan kulit seputih s**u itu melenguh berat, keringat dingin mulai bercucuran di dahi dan lehernya. Ia beranjak dari tidurnya namun kakinya yang lemas membuatnya hampir terjerembab jika tidak bertopang pada ujung ranjang.
"Kenapa badanku tiba-tiba meriang ya," gumamnya dengan suara serak, akibat terguyur hujan dan mimpi buruk kemarin membuatnya langsung drop, ia menatap jam yang sudah menunjukkan pukul 8 pagi, terpaksa ia akan izin sakit hari ini.
"Hachu ...!" ia menutup mulutnya dengan tangannya, beberapa kali bersin membuatnya mengucek hidungnya yang memerah. Secara perlahan ia kembali merebahkan tubuhnya ke atas ranjang, dengan sangat lemas mengulurkan tangan mengambil hanphonenya yang ada di atas nakas.
Kemudian ia segera meminta izin kepada HRD-nya, dan setelahnya sudah kehilangan kesadaran saking ngantuknya, sepertinya ia akan tiduran seharian ini.
***
Ting Tong!
Gadis yang menggigil dengan wajah pucat itu membuka kelopak matanya susah payah, matanya mengerjap kecil dengan sayu.
Ting Tong!
Ting Tong!
Suara bel apartemennya terus saja berbunyi bahkan hampir tanpa jeda, ia menyibak selimutnya dan beranjak sempoyongan menuju pintu, sebenarnya ia sih malas sekali membuka pintu tapi suara belnya ini benar-benar mengganggunya.
"Siapa sih?" gumamnya dengan bibir gemetaran menggigil, padahal ia sudah memakai jaket dan mematikan AC tapi hawa dingin tetap terasa menusuk tulangnya.
Perlahan ia membuka pintu apartemennya, dan seseorang di depannya langsung melangkah maju seolah sangat terburu-buru. Riska yang melihat kehadiran Segara sampai terperangah tak percaya, kenapa lelaki ini ada disini? Dan juga bagaimana lelaki ini tahu letak kamar apartemennya?
Namun segala pertanyaannya yang belum terjawab makin menumpuk ketika lelaki dengan garis wajah sempurna itu mengulurkan tangannya dan menyentuh dahinya, ekspresi kaget Segara yang sangat langka itu membuatnya justru tertegun di tempat.
"Sudah ke rumah sakit?" suara berat dan rendah lelaki itu membuatnya justru terdiam kaku masih tidak percaya dengan kehadiran tiba-tiba lelaki itu, ia bahkan takut jika saat ini sedang mengigau.
"Ris!" sentak Segara dengan pupil mata membesar, "kamu gak papa?" tanyanya dengan nada cemas.
Riska menelan ludah susah payah, pelan-pelan mengulurkan tangannya menyentuh lelaki itu dan begitu yakin lelaki itu nyata ia justru langsung mundur panik. "K-kok Bapak bisa ada disini?!" syoknya.
Segara menarik napas dalam-dalam, menatapnya tegas. "Sudah ke rumah sakit?"
Riska mengerjap, menggeleng pelan sebagai balasan. Segara menarik napas dalam nampak mencoba menahan sesuatu.
"Sudah minum obat?"
Riska kembali menggeleng, kali ini ekspresi mengerikan Segara membuatnya mulai takut.
"Sudah makan?"
Riska lagi-lagi menggeleng pelan sebagai balasan membuat Segara langsung memekik kearahnya.
"Riska!"
Riska yang mendengar intonasi tinggi lelaki itu jelas terkesiap kaget, kenapa lelaki ini tiba-tiba marah kepadanya. Ia membalas tatapan Segara tak kalah tajam, tidak akan ia biarkan dirinya ditindas oleh lelaki ini mentang-mentang ia adalah bosnya.
"Bapak pergi deh kalau cuma mau marah-marah ke saya, lagian hari ini saya sudah izin tidak masuk kerja jadi saya gak ada urusan dengan Bapak!" ketusnya terlampau kesal, lelaki ini benar-benar tidak punya perasaan padahal dirinya sedang sakit tapi tetap dimarahi.
Segara tersentak di tempat, entah hanya perasaannya saja atau memang benar jika ekspresi lelaki itu seperti lebih melembut kepadanya. "Kamu tunggu sebentar ya," ujarnya kemudian langsung beranjak pergi membuat Riska mengernyit aneh melihat tingkahnya.
Riska menutup pintunya dengan dahi berkerut dalam, "lelaki itu kenapa sih aneh sekali!" dengusnya beranjak menuju kamarnya, lebih baik dirinya kembali tidur saja.
***
Sejak beberapa menit lalu Riska tetap terperangah tak percaya melihat orang di depannya ini, Segara yang sedang ditatap justru tampak tak masalah dan masih sibuk menuangkan bubur ke dalam mangkuk.
"Ini makan dulu, lalu minum obat." Ujar lelaki itu pelan.
Riska menelan ludah sambil membasahi bibirnya, diam-diam ia melirik wajah Segara dan terlihat ekspresi datar dari lelaki itu yang membuatnya tidak bisa menebak apa isi pikirannya. Tiba-tiba lelaki ini datang lalu marah, kemudian pergi dan datang lagi sambil membawakan makanan dan obat untuknya. Tentu saja sikap berubah-ubah Segara ini membuatnya tercengang.
"Makan!" sentak Segara membuatnya yang lagi-lagi terbengong jadi tersadar dari lamunannya.
Anehnya Riska menuruti perintah lelaki itu, perlahan menyuapkan bubur ke dalam mulutnya meskipun sebenarnya ia tidak ingin makan.
"Sudah." Beberapa sendok ia sudah kembali menyodorkan mangkuk tadi yang membuat Segara menghela napas pelan.
"Makan lagi." Titahnya membuat Riska mendesah berat.
"Perutku gak enak." Tolaknya masih mempertahankan nada judesnya kepada lelaki ini.
"Makanya makan lagi biar enakan."
Riska sudah tidak tahan, langsung menaruh mangkuk tadi ke atas nakas dan membuang muka dongkol. "Bapak gak usah sok ngatur saya, mau saya makan atau tidak itu juga bukan urusan Bapak, lagian Bapak siapa saya?" sinisnya sepertinya cukup menjadi tembakan telak bagi Segara karena lelaki itu sempat terdiam cukup lama.
"Kalau begitu minum obatnya," lirih lelaki itu sambil membuka bungkus obat dan menyodorkan kepadanya bersama segelas air putih.
Riska menatap Segara datar, tapi akhirnya tetap meminum obatnya karena ia sayang nyawanya sendiri. Lelaki dengan bibir tipisnya itu diam-diam tersenyum sangat samar ketika melihat Riska patuh, perlahan ia membantu menyelimuti gadis itu namun langsung ditepis oleh gadis itu.
"Sekarang Bapak pulang sana, saya mau tidur!" usir Riska bodo amat dianggap tidak tahu terima kasih toh dirinya juga tidak menyuruh lelaki ini berbuat seperti ini kepadanya.
Segara menatapnya sejenak tak lama beranjak dari tempat duduknya dan berjalan keluar kamar, diam-diam Riska menatap nanar punggung lelaki itu namun segera memalingkan wajahnya ketika lelaki itu menoleh kepadanya.
"Tidur." Ujar Segara singkat seperti biasa membuatnya hanya bisa mendengus kesal.
Dasar pelit ngomong!
***
Dengan tubuh yang sudah tidak terlalu kedinginan dan kepala lebih ringan daripada sebelumnya Riska mengerjapkan matanya terbangun dari tidurnya, ia menguap panjang sambil menguletkan tubuhnya berat.
Begitu terbangun seutuhnya ia memegang lehernya kembali, dan langsung menghela napas lega begitu merasakan subu tubuhnya sudah jauh turun daripada sebelumnya.
"Ternyata obat yang diberikan lelaki itu lumayan juga," gumamnya masih gengsi memuji Segara, lagian hanya membelikan obat saja akan ia anggap sebagai rasa kemanusiaan dari lelaki berhati dingin itu.
Ia beranjak turun dari kasurnya merasa haus, melihat air di atas nakasnya habis ia bergegas keluar kamar menuju dapur. Sesekali ia masih menguap sepanjang jalan karena masih lumayan ngantuk juga. Begitu tiba di dapur ia langsung membuka kulkas dan minum air.
"Udah sakit masih minum air es?"
"YA TUHAN!" untungnya Riska cekatan jadi gelas di tangannya tidak terjatuh ke lantai akibat kaget, ia melotot dengan d**a megap-megap menatap lelaki yang duduk tenang di ruang tamunya. "BAPAK BELUM PERGI?!" pekiknya tak percaya.
Segara menurunkan laptop di pangkuannya ke atas meja, bersedekap dengan tenang menatapnya. "Saya memang tidak pergi."
Mendengarnya membuat Riska tentu saja memicing tajam, "Dasar tidak sopan!"
"Apakah begitu sikapmu kepada orang yang membantu merawatmu?" balas Segara datar namun sukses membuat gadis itu gelagapan karena ucapan lelaki itu benar sekali.
"K-kalau begitu sekarang pergilah, lagian Bapak pasti sibuk dengan pekerjaan."
Segara langsung menutup laptopnya tanpa beban, "pekerjaanku sudah selesai."
Riska tentu saja menahan diri untuk tidak mengumpat sekarang, sungguh ia sudah habis kesabaran menghadapi lelaki ini.
"Sebenarnya apa sih maumu? Kenapa kamu melakukan ini semua kepadaku?!" akhirnya ia kelepasan, sudah meninggalkan bahasa formalnya kepada lelaki ini saking gedeknya.
Segara mengangkat sebelah alisnya dengan tatapan tak terbaca membuat Riska sangat tidak nyaman, selama ini ia tidak pernah bisa membaca pikiran lelaki ini membuatnya sangat geram.
"Entahlah."
Riska mengerjap cepat, menatap kaget jawaban dari Segara itu. Lelaki dengan kemeja putih yang sudah sedikit berantakan itu menatapnya intens, dengan kerlipan tulus.
"Aku juga penasaran kenapa melakukan ini semua." Balas Segara kali ini menyunggingkan senyuman yang cukup terlihat jelas, membuat Riska di tempatnya sampai terperangah syok.
Sebenarnya apa maksud sebenarnya lelaki ini?!