"Bapak mendingan pulang sekarang soalnya udah malem juga," usir Riska secara halus, sejujurnya ia jadi lumayan sungkan mengusir kasar lelaki ini mengingat lelaki ini mau merawatnya hari ini.
Segara melirik arlojinya, menghela napas pelan. "Hm," kemudian lelaki itu beranjak dari tempatnya, diam-diam Riska memerhatikan lelaki itu yang mulai merapikan tasnya.
"Kalau Bapak memang sibuk gak usah jenguk saya sebenarnya gak papa, lagian pekerjaan Bapak juga pastinya banyak." Ujarnya membuat Segara menoleh pelan.
"Terserah saya," balasnya datar membuat Riska hanya bisa mendengus kesal, kenapa sifat lelaki ini makin menyebalkan ketimbang dulu.
"Saya yang keberatan." Tukasnya akhirnya membuat Segara yang ingin beranjak mengurungkan niatnya, lelaki itu terdiam sejenak tak lama menatapnya lurus.
"Karena pacar kamu itu?" tanya lelaki itu dingin.
Riska tentu saja tersedak, menatapnya bingung. "Pacar apa?" cengonya.
Segara mengangkat sebelah alisnya, "yang kemarin mengirim pesan suara kepadamu." Jelasnya singkat, mendengarnya membuat gadis itu mengerjap pelan mengingatnya dan seketika mengernyit tak habis pikir.
Maksudnya Ciko? Si lelaki kemayu itu, tentu saja ia menahan bibirnya yang ingin tertawa keras.
Segara yang melihatnya makin merengutkan wajahnya, "sudah berapa lama pacaran?" tanyanya sok cuek sambil sibuk dengan tasnya.
Riska mengernyit, tak lama tersenyum miring dengan licik. "Kenapa tanya-tanya, itu bukan urusan Bapak juga." Balasnya membuat pergerakan Segara terhenti dengan tubuh terdiam beberapa saat, lelaki itu meliriknya tajam yang justru ia balas dengan tatapan menantang. Segara akhirnya menghela napas, nampak menahan diri.
"Saya cuma gak mau kamu mencampurkan urusan pribadi ke pekerjaan kamu." Tegas lelaki itu tentu membuat Riska menatapnya aneh, perasaan yang daritadi membahas masalah pribadi adalah lelaki ini deh bukan dirinya.
"Bapak tenang saja saya orangnya profesional kok, gak seperti seseorang." Cibirnya sambil menatap lelaki itu.
Segara makin menatapnya seperti laser, jujur ia lumayan gentar tapi sebisa mungkin ia tidak mau kelihatan takut di depan lelaki ini. Tak lama lelaki itu menyabet kasar tasnya dan melenggang pergi dengan langkah besar-besar tanpa mengatakan apapun, gadis cantik itu hanya bisa mendengus melihatnya.
"Dasar aneh!" cibirnya.
***
"Astagaaa Ris kamu kok udah masuk, rencananya kami baru mau jenguk kamu hari ini." Seruan teman-temannya yang begitu hebohnya ketika melihatnya datang membuatnya terkekeh pelan.
"Aku udah baikan kok." Balasnya, sejujurnya ia tidak bisa memungkiri jika kondisinya sekarang termasuk hal yang dilakukan oleh Segara, yah tapi ia tentu saja tidak mungkin mengatakan kepada teman-temannya yang ada mereka pasti heboh kalau tahu Bos mereka datang ke apartemennya.
"Hari ini jangan terlalu capek," nasihat Ajeng dengan lembut.
"Hm, lo tuh kalau kerja jangan lupain kesehatan!" omel Sintia galak membuatnya justru terkekeh geli.
"Udah sarapan belum?" Ciko menatapnya dan ia balas dengan gelengan membuat ketiga temannya itu langsung mendelik tak percaya, "yaudah makan nih, jangan dibiasain gak sarapan!" Ciko menyodorkan roti dan s**u kearahnya membuatnya dengan senang hati menerimanya.
"Makasih ya, kalian memang teman-temanku yang terbaik sedunia!" ucapnya antusias membuat ketiga temannya itu mendengus kecil.
"Gak usah alay, cepet makan!" omel Ciko memaksanya duduk persis seperti Ibu-ibu yang marahin anaknya.
"Iya-iyaa!" dengusnya langsung makan, sebenarnya alasan ia jarang sarapan adalah karena waktunya selalu sudah habis untuk dandan apalagi ia kalau bangun selalu mepet, mungkin orang-orang akan berpikir kenapa dirinya lebih mementingkan dandanan tapi ia memiliki alasan tersendiri yang tidak mau ia bahas.
Beberapa saat setelahnya mereka mulai bekerja kembali, namun tiba-tiba Bu Marisa datang ke ruangan mereka yang membuat mereka saling tatap penuh arti, soalnya Bu Marisa jarang kesini dan jika datang pasti ada sesuatu hal yang penting.
"Gimana pekerjaan kalian?" wanita paruh baya yang masih tampak cantik dengan riasannya itu menatap mereka dengan sorot yang sedikit berbeda, biasanya tatapan Bu Marisa selalu tegas tapi kali ini tatapannya lembut seperti keibuan.
"B-baik Bu, em ada beberapa hal yang masih belum selesai tapi sudah mulai kami kerjakan." Jelas Riska entah kenapa justru makin takut melihatnya, takutnya kepala manajernya ini sedang mengetes mereka.
Marisa mengangguk pelan, kaki jenjangnya melangkah semakin dekat kearah Riska dan para manajer lainnya membuat semuanya justru makin tegang-tegang cemas. Ada yang aneh!
"Kalian bekerja yang rajin ya, meskipun nanti tidak ada saya."
Perkataan Marisa itu sudah cukup membuat semua orang terperangah paham, "Ibu dipecat?!" pekik Sintia bar-bar seperti biasa yang langsung ditendang oleh temab-temannya.
Namun bukannya marah wanita paruh baya itu justru terkekeh pelan, mengelus sanggulnya yang sedikit bergoyang karena tertawa. "Saya tidak dipecat tapi saya akan pensiun."
Semua orang seketika terperangah syok, "k-kapan Bu?" tanya Riska tanpa sadar menatapnya sendu, jujur meskipun tegas ia sangat menyukai Bu Marisa karena wanita paruh baya itu selalu mengingatkannya kepada sosok Ibunya yang tegas tapi penuh perhatian, jika Bu Marisa sampai diganti sejujurnya ia cukup takut dengan calon kepala manajer barunya. Bagaimana jika dia galak atau jahat?!
"Minggu depan, kalian tenang saja nanti akan ada kepala manajer hotel cabang yang dimutasi kesini." Mendengar penjelasan Marisa bukannya semakin tenang Riska justru makin panik, sepertinya mulai Minggu depan ia tidak boleh sampai terlambat lagi, takutnya kepala manajer barunya akan memecatnya, kan gak lucu.
"Saya cuma ingin mengatakan ini saja, kalian bisa lanjutkan pekerjaan kalian." Terang Marisa kemudian beranjak pergi, dan seketika kerumunan orang-orang ikut bubar kecuali Riska yang masih tertegun di tempatnya.
Mati dirinya!
***
Drrrt .. drrrt ...
Riska yang sedang mengeringkan rambutnya menoleh kearah hanphonenya yang bergetar, melihat nomor asing yang muncul di layar hanphonenya membuatnya sedikit mengernyit tapi tetap mengangkatnya.
"Halo?" sapanya dengan kerlipan pelan.
"Ini benar Riska?" sebuah suara berat membuatnya langsung terdiam beberapa saat.
"Ini siapa?" tanyanya memicing curiga, bagaimana orang itu tahu nama dan nomor hanphonenya.
"Aku Darel."
Riska mengernyit sejenak berpikir, dan seketika ekspresinya langsung berubah tenang sambil membulatkan bibirnya begitu ingat. "Oh Mas ternyata!" serunya lega.
"Maaf aku ganggu kamu ya?"
Riska menaruh handuk ke atas meja, berjalan ke kasurnya. "Nggak kok, ada apa Mas?" tanyanya.
"Itu sebenarnya aku mau minta tolong kalau kamu gak keberatan."
Riska langsung mengiyakan tanpa banyak pikir, "boleh Mas, mau minta tolong apa?" sudah sepantasnya ia membalas budi pada lelaki ini apalagi dulu ia telah sangat dibantu olehnya.
"Aku belanja untuk keperluanku tapi tanpa sadar aku belanja banyak banget jadi gak bisa bawanya, aku bingung banget mau minta tolong siapa lagi."
"Ah biar saya bantu, Mas dimana sekarang?" tanyanya cepat.
"Aku di lantai bawah."
"Okey, tunggu ya Mas." Riska selanjutnya langsung mematikan teleponnya dan bergegas mengganti baju serta dandan tipis-tipis dengan cepat, meskipun hanya turun ke lantai bawah tapi tetap saja penampilannya harus oke.
***
"Tolong bantu tekan, pinnya 122003." Ujar Darel yang meneteng dua kresek besar dan memeluk kardus panjang.
Riska sendiri yang hanya membawa satu kresek di tangannya sebenarnya tadi sudah menawarkan ingin membantu membawa lebih banyak tapi lelaki itu menolak, kalau begini kan dirinya jadi tidak enak. Niat mau bantu malah dibantu.
"Lain kali Mas gak boleh asal kasih pin ke orang asing, gimana kalau dia penjahat?" sambil membuka pintu Riska mengomel pelan, lelaki ini terlalu tidak waspada.
Bukannya tersinggung lelaki itu diam-diam justru mengulum senyuman tipisnya. "Tapi kamu kan gak jahat." Balasnya membuat Riska mencebik.
"Taruh dimana?"
"Di atas meja dapur saja."
Riska mengangguk dan segera menaruh bawaanya ke meja kemudian membantu lelaki itu juga, ia menatap belajaan lelaki itu yang jumlahnya sangat tidak wajar. "Mas tinggal sama siapa belanja banyak banget begini?" keponya.
"Aku tinggal sendiri, aku memang lebih suka masak buat makan jadi stok bahan dapur."
Riska yang mendengarnya cukup takjub, "wah hebat banget, aku aja gak bisa masak." Ujarnya tertegun.
Darel terkekeh pelan, "bukannya gak bisa tapi belum bisa, kalau kamu belajar juga pasti bisa." Sahutnya dibalas ringisan kecil Riska.
"Beli aja simple, aku males yang ribet-ribet." Celetuknya membuat lelaki itu justru terkekeh geli.
"Kalau kamu mau aku bisa kasih makanan ke kamu, soalnya biasanya aku masak kebanyakan." Tawarnya membuat Riska tentu saja mengerjap tertarik, namun hanya beberapa saat karena setelahnya ia sadar dan langsung menggeleng cepat.
"Nggak usah, Mas." Tolaknya tentu saja sungkan, "emm ... kalau sudah tidak ada apapun lagi aku pamit ya Mas." Pamitnya sudah ingin beranjak namun ditahan oleh Darel.
"Karena kamu sudah bantuin aku, tolong tunggu sebentar aku buatkan makanan buat kamu."
Riska tentu saja mengerjap kaget, "eh gak perlu."
"Sudah jangan ditolak, anggap saja rezeki." Kalau sudah begini gadis itu tidak bisa menolak lagi, akhirnya meskipun lumayan sungkan ia tetap menerimanya.
***
"Hm enak!" seru gadis dengan pipi menggembung seperti ikan buntal itu.
"Makan yang banyak, nanti aku bungkusin buat kamu." Ujarnya membuat Riska sejujurnya malu-malu tapi mau, tau begitu tadi ia menerima saja tawaran dikasih makanan oleh Darel kalau tahu masakan lelaki ini seenak ini.
"Mas kenapa pindah kesini?"
Darel mengerjap pelan, "ada urusan pekerjaan."
Riska membulatkan bibirnya sambil mengangguk, Darel mengamati wajahnya sesaat. "Kamu kerja di tempat aku nganterin kamu waktu itu?"
Riska menelan makanan di mulutnya dan minum, "hm, aku manajer disana."
"Wah hebat!"
"Aduh Mas jangan berlebihan begitu, itu biasa aja kok."
"Itu keren kok, jarang aku lihat manajer wanita muda, kamu hebat banget." Mendengar pujian yang cukup berlebihan itu membuat Riska merasa malu dan senang sekaligus.
"Tapi jujur sekarang aku jadi takut kerja."
Darel mengerjap cepat, "kenapa?'
"Kepala manajerku mau diganti dan denger-denger dia galak, aku takut dipecat."
"Loh kenapa jadi tiba-tiba pecat kamu." Heran Darel merasa cukup lucu.
Riska mencebik, "aku tuh sering telat, cuma kalau kepala manajerku saat ini dia masih baik, tapi aku gak tau kepala manajer yang baru nanti ginana." Curhatnya melenguh lemas.
"Jangan telat lagi dong kalau begitu," nasihat Darel dewasa.
Riska hanya bisa melenguh berat, dan memilih melanjutkan makannya. Tidak mungkin ia mengatakan alasannya terkadang telat karena harus dandan dulu, bisa-bisa lelaki ini menganggapnya tidak profesional lagi.