BAB 8 - GIVE ME LOVE

1003 Words
Adel mengangkat dagu angkuh, melangkah santai dan masuk ke dalam mobil tanpa melirik lelaki di sampingnya. Baru saja dia keluar dari rumah, namun lelaki itu sudah menunggu dari satu jam yang lalu. Sengaja mengerjainya agar menunggu lama. Lelaki itu masuk dari pintu kemudi, menoleh ke belakang sembari menyerahkan sebuket bunga. Gadis itu tengah menyedekapkan tangan di d**a dan membuang pandangan pada keluar jendela. Menatap rumah kedua orang tuanya yang menjulang tinggi.  “Mbak, ini bunganya.” Kata Riva sopan. Adel mengalihkan pandangan, menatap Riva lalu berpindah pada bunga yang berada di tangannya. Menerima tanpa ikhlas, lalu mencium bunga tersebut. Tetap harum seperti biasanya. Adel mencibir. Meletakkan bunga tersebut di jok sampingnya. Lalu kembali mengalihkan pandangan pada yang lain. Terpaksa Adel menerimanya seperti janjinya pada Yoga demi mendapat ijin liburan selama dua minggu. Jika tidak, dia tidak akan mau bertemu dengan lelaki itu. Entah apa yang dilakukannya, sampai detik ini Riva tidak pernah salah di mata mereka. Meskipun Adel telah melihatnya bagaikan monster. Selama perjalanan, sama sekali tidak ada suara di antara mereka. Gadis itu menganggapnya tidak ada orang selain dirinya di mobil itu. Sedangkan Riva sesekali melirik ke belakang melalui kaca. Menghela nafas pelan agar gadis itu tidak terganggu. Bunga yang tadi diberikannya tergeletak di samping Adel tanpa sekalipun lagi menyentuhnya. Malang sekali nasib bunga tersebut. Mungkin sebentar lagi Adel menyuruhnya membuang atau membiarkan begitu saja jika Riva tidak membereskannya. Setibanya di parkiran kampus, Riva bergegas keluar dan membuka pintu seperti biasa. Mempersilahkan gadis itu keluar dari mobil lalu kembali menutupnya. Melangkah angkuh di koridor kampus, Adel menemukan Lyn sedang menunggunya di tempat biasa. Taman depan kampus yang telah di sediakan kursi dan meja. Bukan hanya ada Lyn. Dathan sedang menyenjreng acak gitar di pangkuannya. “Ya elah..., masih pagi udah mesraan.” Cibir Adel duduk di depan mereka. Keduanya mendongak, Lyn mencibir. Sama sekali tidak menghiraukan Dathan di sampingnya. Dia mendengarkan musik melalui headfree “Ciye..., udah baikan...” Lyn melebarkan senyumnya. Memandang Riva mengambil duduk di depan Dathan, sehingga merek berempat seperti pasangan. Adel memutar bola mata. “Jangan mulai deh!” Dathan dan Lyn tergelak bersama. Jrenggggg... Jreng jreeengggggg... Oh Tuhan... Kusayang Adel... Kucinta Lyn... Inginkan Annisa... Saingannya Riva... “GAK NYAMBUNG, BAHLOL!!!” Kedua gadis itu histeris. Dathan tergelak sembari memukuli meja. sementara Riva tersenyum tipis. Memandang mereka secara bergantian. “Mending lo pergi aja deh! Ganggu aja dari tadi!” Kata Lyn berdecak. Dathan menyeringai, mencolek dagu Lyn sembari mengedipkan mata. “Ah, masa?!” “Dathan?!” Lyn kesal. “Iya, saya...” Jawab Dathan polos. Lyn berdiri dari kursinya. Meraih lengan Dathan dan menyeretnya, “Pergi nggak lo?!” Dathan meringis kesakitan. “Adu..., dudu..., du...” Adel memutar bola mata. “Biarin deh, Lyn. Tuh sang tuan putrinya udah datang. Biarin dia pergi sendiri.” Cibirnya. Lyn dan Dathan menoleh dan menemukan tiga gadis berkerudung sedang bercanda tawa. Dathan langsung berbinar, sedangkan Lyn mendesis. “Boy, ini gitar lo. Thankz ya...” Ucap Dathan memberikan gitar itu pada lelaki yang sama sekali tidak mereka kenal. Lelaki bergaya metal itu mengangguk dan menerima dengan senang hati. “Sama-sama, bro.” Ucapnya. “Gue pergi para nyet..., selain Riva tapi ini.” Ucapnya tergelak. Melangkah pada ketiga gadis berkerudung. “Pergi lo sana. Nggak usah datang lagi!” Decak Lyn kesal. Adel terkikik geli. “Biasanya sih aroma-aroma jealous ya gini.” Gadis itu mendelik tajam. “Diam, deh!” Jawabnya Adel tergelak, membiarkan sahabatnya cemberut kesal. “By the way, gue mau liburan nih. Lo ikut nggak?” Tanya Adel kemudian. Lyn mengernyit. “Kemana?” Gadis itu mengangkat bahu. “Lombok. Dua minggu. Weekend ini.” Jelasnya.  “b*****t!” Lyn berdecak. “Buru-buru amat! Sialan gue punya urusan keluarga.” “Batalin aja!” “Bisa digantung gue!” Jawabnya. “Temen lo siapa? Riva?” Kedua gadis itu berjalan menelusuri koridor kampus. Riva mengikuti dari belakang. Mendengar cerita mereka tanpa mengganggu sedikit pun. “Nggak lah! Gue sendiri.” Jawab Adel. Mereka memasuki kelas, sehingga Riva tidak bisa ikut, dia terus berjalan menuju kelasnya. Wajahnya yang datar tertutupi bingkai kaca mata besarnya. Riva menghela nafas berat. Duduk di pojok kelas. Pikirannya melangnang buana. Entah apa saja yang dipikirkannya. “Riva...” Riva terkejut. Salah tingkah sehingga menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Gadis berkemeja cokelat melambaikan tangan di depannya begitu dekat. “Maaf.” Kata Riva menjauhkan tubuhnya. Gadis itu terkikik geli. “Elo sih, masih pagi udah ngayal aja.” cerocosnya. “Gimana ajakan gue kemarin?” Riva terdiam, memandang gadis itu dengan raut bersalah. “Maaf, De, aku nggak bisa.” Jawabnya. Dewi menghela nafas panjang. Kecewa pada Riva yang menolak ajakannya. “Yah, Riva..., kapan sih mau nerima ajakan gue?” Gadis itu cemberut. Kedua matanya memerah menahan air mata yang hendak menetes. “Maaf, De. Aku sangat sibuk.” Kembali Riva mengungkapkan maaf dan ketidakbisaannya menerima ajakan gadis itu. Gadis itu kembali ke kursinya, meraih tas lalu keluar dari kelas. Riva merasa bersalah. Beranjak lalu mengejar sembari memanggil. “Jangan kejar gue kalau lo nggak mau. Lo jahat!!” Gadis itu menangis. Berlari ke belakang kampus. Dia malu bertemu dengan siapapun. “Dewi, maaf.” Gadis itu berhenti. “Kamu nolak terus. Aku malu.” Jawabnya. Entahlah, mereka tidak tahu entah ajakan dan penolakan yang keberapa hal tersebut terjadi. Dewi seolah tidak bosan mengajaknya. Dan Riva sama sekali tidak pernah memberikan harapan. Semua yang dilakukan oleh Dewi selama ini seolah hanya berlalu begitu saja tanpa adanya makna yang bisa dilihat oleh Riva. “Riva..., kamu jahat!!” Dewi jongkok dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Dewi...” Riva melangkah ragu. Tanpa menoleh, Dewi kembali berteriak. “Jangan mendekat!!!” Riva terdiam. Memandang gadis itu sesegukan di depannya. Rasa bersalah menyeruaki dirinya. “De, aku akan usahakan. Janji...” Kata Riva akhirnya. Dewi menggeleng. “Kamu jahat. Selalu sibuk. Aku nunggu lama banget. Tapi kamu nggak pernah punya libur. Emangnya kamu siapanya Adel? Masa jagain dia dua puluh empat jam? Dia udah jahatin kamu, tapi kamu betah aja kerja sama dia.” Gadis itu mendongak. “Kamu suka sama dia? Iya kan?!” “Aku akan minta cuti satu hati buat kamu.” Bujuk Riva pelan. “Nggak mau!” Gadis itu menggeleng. “Janji. Nggak bohong lagi.” Kembali Riva membujuk. Wajah gadis itu memerah, mencari kebohongan di wajah polos Riva. Dia sangat menyukai Riva sejak lama. Lelaki yang tidak pernah neko-neko pada siapapun menarik perhatiannya.  Riva baik. Selalu membantunya pada kesulitan saat belajar. Mereka sering duduk berdampingan. Dewi merasa begitu nyaman hingga perasaan itu tumbuk karena terbiasa. “Kamu nggak bohong?” Tanyanya sekali lagi. Riva menggeleng sembari tersenyum. “Nggak. Aku nggak bohong.” Hanya pada Dewi Riva berbicara tidak begitu kaku. “Weekend ini majikan aku pergi. Aku bisa habisin waktu satu harian buat kamu.” “Kamu janji?” Lelaki itu mengangguk ragu sehingga Dewi kembali kecewa. Akhirnya Riva tersenyum  tersenyum dan mengiyakan dengan mantap. Dewi menyeka wajahnya dari air mata. “Ayo masuk. Udah telat!” Ajaknya mendekat. Meraih tangan Dewi dan mereka berpegangan tangan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD