Perasaannya belum tertata rapi. Emosi masih meledak-ledak ketika bertemu orang-orang menyebalkan. Dia begitu sensitif. Terlalu sensitif sehingga membuat orang di sekitarnya kesal.
Sahabat sejati yang paling mengerti keadaan. Bagaimana pun situasinya, hanya dia yang mampu mengubahnya menjadi tidak beraturan, namun meringankan beban dalam pundak.
Sejak seminggu yang lalu sama sekali tidak ada perubahan. Meskipun bertemu setiap hari, namun tidak mengubah apapun. “Udah deh. Lo itu makin tua kalo ngambeknya bertahan lama.” Ejek Lyn tergelak. Gadis itu cemberut. Mendelik tajam lalu membuang pandangan. “Lo makin jelek sebenernya tanpa senyum satu minggu ini. Mengkerut kayak nenek lampir!”
“Diam, deh!” Jawabnya kesal.
Namun gadis bersuari pirang panjang itu semakin tergelak. Kedua matanya berair kebanyakan ngakak. “Tapi bener sih, Del. Lo jahat banget.”
“Diam, Lyn. Gue nggak pengen ngomong! Gue juga tau lo lagi patah hati karena Dathan pacaran sama si cewek berkerudung!” Balasnya.
Tetapi gadis itu sama sekali tidak terpengaruh. “Hue..., please deh ya. Dathan itu bukan tipe gue.” Jawabnya mengibaskan tangan. “Kalo Riva, baru tipe lo!”
“Nggak usah nyebut-nyebut namanya deh! Najis banget!!” Kata Adel emosi.
Lyn kembali tergelak. Semakin mengejek gadis itu sehingga Adel diam saja. Membiarkan gadis itu mengeluarkan apa yang diinginkan.
Setidaknya perasaan Adel sedikit lebih ringan karena gadis itu. Meskipun menyebalkan, namun memberikan hiburan untuk sahabatnya. “Salon yuk. Males nih. Udah lama gak nyalon.” Ajak Lyn setelah puas menertawakannya.
Adel beranjak dari duduknya, mengikuti gadis itu yang telah lebih dulu berdiri.
Keduanya melenggang anggun keluar dari kafe tersebut. Gaya angkuh khas anak dari orang berada, meski tidak semua yang seperti itu. Seorang supir mengenakan setelan serba hitam dan kacamata bersiap membukakan pintu untuk kedua gadis itu.
“Mbak...” Namun terhenti ketika mendengar suara familiar di telinga mereka.
“Eh, ada Riva...” Lyn menyenggol lengan Adel, menyuruh gadis itu melihat lelaki di depan mereka. Lelaki itu tersenyum tulus, tapi pandangannya tak teralihkan dari gadis yang telah menunjukkan wajah jutek.
Adel akhirnya menoleh, namun tetap mengabaikan pemberian Riva. “Ini, mbak. Ada bunga dari fans mbak...”
Sama seperti kemarin, Adel merampas lalu membuangnya begitu saja. Menginjak dengan heels setinggi tiga belas centimeter yang dikenakannya. Lyn memutar bola mata, sedangkan Riva memandang bunga tak bertuan tersebut. “Nggak perlu sok jadi asisten gue lagi!” Ucapnya pedas.
“Itu dari fans, mbak.” Elak Riva memberanikan diri menantang pandangannya.
“Semua barang apapun yang udah lo pegang. Gak berharga lagi buat gue!! Ngerti??!!” Gadis itu masuk ke dalam mobil, di susul oleh Lyn dari belakang setelah meminta maaf atas nama Adel padanya.
Lelaki itu tersenyum miris, memandang kepergian mereka dengan perasaan sedih.
***
“Liburan??” Shella memekik, memandang anak gadisnya dengan tatapan bertanya-tanya. Adel yang tadinya berbaring di sofa mengambil posisi duduk ketika Shella datang dan mengutarakan niatnya.
Adel memgangguk membenarkan. “Adel pusing, ma. Butuh liburan.”
Shella menghela nafas panjang. “Nanti malam kita bicarain sama papa, ya.”
Gadis itu memutar bola mata. “Kenapa harus persetujuan papa sih?” Tanyanya menggerutu.
Shella mengelus puncak kepalanya. “Kamu pergi sendiri selama seminggu, nak. Kamu tahu sendiri gimana protect-nya papa sama anak-anaknya.”
Gadis itu terdiam, membiarkan Shella kembali ke dapur. Sedangkan dia melanjutkan acara bersantai di ruang TV.
Hingga malam tiba, Shella memberitahukan niat gadis itu pada suaminya. Yoga mengernyit, memandang anak gadisnya penuh tanya. Namun Adel membuang pandangan. Masih begitu kesal dengan lelaki tersebut.
Adel diam saja, membiarkan kedua orang tuanya berdebat untuk liburan tersebut. “Jadi nggak boleh?” Tanya Adel menyedekapkan tangan di d**a. Shella dan Yoga saling berpandangan. Lelaki itu menghela nafas panjang, begitu berat untuk melepaskannya. “Yaudah...”
Adel beranjak dari duduknya. Kedua orang tuanya kembali saling berpandangan. Shella tersenyum, memegang erat tangan suaminya. “Adel...” Gadis itu menghentikan tangannya pada handle pintu. “Kalau papa ngasih ijin, kamu akan maafin papa?” Adel memutar tubuhnya. Mengerucutkan bibirnya dan tidak ingin menjawab.
Kedua orang tuanya menunggu tanpa sabaran. Akhirnya gadis itu mengangguk. Shella dan Yoga tersenyum, menunggu Adel datang pada mereka.
“Papa...” Adel melangkah cepat meninggalkan pintu dan menghambur kepelukan Yoga. Lelaki itu memeluknya erat sembari mengecup puncak kepalanya sayang.
“Nggak marahan lagi, kan?” Gadis itu mengangguk. “Nggak diemin papa lagi?”
Kembali gadis itu mengangguk. “Iya, papa. Nggak marahan lagi.” Ucapnya sembari memegang kedua telinganya dan tersenyum lebar.
Yoga kembali memeluknya. “Mama juga ikut.” Kata Shella bergabung pada keduanya.
Akhirnya mereka bertiga berpelukan sembari mengembangkan senyum tulus. “Papa akan kasih waktu dua minggu. Kalau kamu... “ Adel melepaskan diri dari kedua orang tuanya. “Maafin Riva juga.” Wajah Adel langsung cemberut. “Dua minggu lho.” Iming Yoga sumringah.
“Nggak mau!!”
“Beneran??”
Adel tampak berpikir keras. Sedangkan Yoga terus mengiming-imingi. Adel mengangguk tidak yakin. “Iya.”
Shella dan Yoga kembali tersenyum. “Yang ikhlas dong.”
“Iya. Mau maafin Riva kalau liburannya dua minggu.” Kata Adel lantang.
“Hem... Kalau begitu, besok Riva yang nganter kamu kuliah dan ikut liburan.”
“Nggak mau!”
“Nganter ke bandara aja?”
Adel mengangguk setelah memikirkan beberapa saat. “Deal, kan?”
Gadis itu mengangguk setuju. “Oke. Deal!!!” Jawabnya bersemangat. “Masakin lagi sup bakso sama telur puyuh, tambah sayuran kentang, terus wortel, pa.” Ucapnya merengek.
Meskipun sedang marah dan ingin sekali menghabiskan masakan Yoga, namun ego Adel terlalu tinggi sehingga mengabaikannya. Tanpa ada yang tahu jika dia menangis di kamarnya setelah selesai makan. Ingin menjambak mulut Bara yang memanas-manasinya tiap pagi. Sialnya lagi Yoga masak tiap hari. Kalau bukan pagi, pasti malam. Pokoknya selalu ada, bikin Adel sering tidak tahan dengan godaan tersebut.
“Yakin udah mau makan?” Tanya Yoga mengernyit setengah menggoda.
Anak gadis itu mengangguk. “Mau. Lapar.” Jawabnya sembari menyembunyikan wajahnya di d**a lelaki itu. Pura-pura kesal ketika kedua orang tuanya menggodanya.
“Yaudah, ayo kita masak. Kamu harus bantu ya.” Kata Yoga.
“Siap, komandan!!!” Adel menghormat bak prajurit. Membuat kedua orang tuanya tergelak.
Adel menggandeng lengan Yoga dan Shella keluar dari ruangan tersebut. Di ruang TV, ketiga adiknya mengernyit pada kakaknya yang labil. “Udah nggak marah lagi?” Sindir Bara sarkas. Adel berdecak. Melotot pada adik lelakinya yang terkenal kompor. “Kirain sih nggak mau baikan lagi.” Tambahnya lagi. “Tau ah, mama sama papa nemunya dari mana. Anak pungut kali yak?!”
“BARA!!!” Ucap Shella, Yoga dan Adel bersamaa.
Bara terkejut, lalu memasang wajah tanpa dosa. “Maap. Khilaf.” Cengirnya.
Adel kembali menggerutu. “Luna nggak mau masak sama papa dan kakak?” Tanya Shella.
Gadis kecil itu berbinar, lalu mengangguk. “Mau, ma, mau.” Dia pun berdiri dan menghampiri mereka. Meninggalkan kedua abangnya di ruangan itu masih sibuk menonton acara televisi.
Azka sama seperti biasa. Sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Ekspresinya tetap datar seperti tidak ada yang terjadi di sekitarnya. Memperhatikan tanpa suara ataupun gerak yang mencurigakan. Azka cowok tenang dan kalem entah mengikuti sifat siapa.
***