Masih seperti hari-hari sebelumnya, Riva menunggui Adel pulang di apartemennya. Adel mengacuhkannya, tanpa menganggapnya ada langsung bergegas ke kamarnya. Tetapi belum sampai memegang handle pintu, Riva bertanya seperti kemarin.
“Dari mana?”
“Sh!” Adel kesal. “Bukan urusan lo!”
Seperdetik kemudian Riva sudah ada di belakangnya dan mencengkeram pergelangan tangannya erat. “Dari mana?”
“Lepas!” Adel marah. Tidak pernah Riva sekurang ajar begini terhadapnya. Membentak dan menyakiti tangannya. “Riva!!”
“Jawab!!” Riva tidak bergeming. Suaranya naik satu oktaf dan kedua matanya tanpa perlindungan kacamata berkilat marah. “Dari mana?!” Adel tersentak, rasa takut melingkupi sekujur tubuhnya.
“Lepas!!” Adel berusaha tidak menangis dengan suaranya juga ikut meninggi.
“Saya sudah bilang sama kamu, jauhi dia! Jangan dekati dia lagi!!”
Gadis itu semakin emosi. Menghentakkan tangan Riva lalu melayangkan tamparannya di wajah lelaki tersebut. “Lo nggak berhak ngatur-ngatur gue!” Ancam Adel menunjuk wajahnya. “Dia punya nama. Jangan coba-coba menghinanya di depan gue!” Lalu gadis itu menginjak kakinya sebelum pergi ke kamarnya. “Lo udah keterlaluan! Silahkan mengundurkan diri sebelum gue laporin lo!”
Riva terdiam, memegang wajahnya yang terasa berdenyut. Riva tidak terima, dia mendorong handlenya, namun Adel menguncinya dari dalam. “Adel, buka pintunya!” Riva mengetuk tanpa sabaran. Namun sama sekali tidak di respon dari dalam. Riva semakin geram, keluar dari apartemen Adel dan kembali beberapa saat kemudian sambil membawa beberapa anak kunci.
Sial. Adel tidak mencabut anak kuncinya. Riva semakin emosi. Dia kembali mengetuk. Riva tidak bisa menunggu lagi. Dia bersiap, lalu menendang pintu hingga terbuka lebar.
Adel berteriak karena terkejut. Memegang dadanya dan menatap Riva makin emosi. Adel baru saja keluar dari kamar mandi. Sehelai handuk membalut tubuhnya. Handuk lain menggelung rambutnya yang basah.
“Mau apa lo?” Tanya Adel bergetar. Pasalnya Riva tidak lagi terlihat seperti biasanya. Lelaki itu terlihat lebih buas dan emosional. “Riva!!” Adel berteriak.
Riva diam, mencengkeram kedua tangannya lalu memeriksa tubuh gadis itu. Mengangkat dagunya setelah mencengkeram kedua tangan Adel dengan tangan kirinya. Gadis itu berusaha berontak. Namun Riva belum selesai memeriksanya. Dia memutar tubuh gadis itu, memandang punggung telanjangnya.
Adel memekik, handuknya mulai melorot. Riva melepaskan tangannya, sehingga Adel memegang ujung handuknya di bagian d**a. Nafasnya tersenggal-seggal. Amarah dan ketakutan bercampur menjadi satu.
“Jangan pernah pergi dengannya lagi!” Ancam lelali itu penuh penekanan. Lalu pergi dan menutup pintu yang rusak. Adel mematung. Duduk di atas ranjangnya dan meraup udara serakus mungkin. Gadis itu mulai menangis ketakutan. Lelaki itu baru saja melecehkan, mengancam dan memarahinya.
Sambil mengusap air matanya yang tidak berhenti meluruh, Adel mencari handphone di dalam tas kecilnya. Dia menekan layar dengan tangan gemetaran dan menelpon tanpa sabaran. “Ma..., mama dimana?” Tubuh gadis itu masih bergetar hebat. “Adel mau pulang, ma. Adel pulang sekarang!” Ucapnya tidak sabaran.
Gadis itu mematikan sambungan telphonnya, lalu meletakkan begitu saja di atas ranjang, kemudian mengenakan pakaiannya secara buru-buru. Adel tidak mau tinggal di sana lagi. Dia tidak mau bertemu dengan Riva lagi. Lelaki itu monster.
Tidak peduli jika pun Riva keluar dari apartemen, dan menghalau kepergiannya. Gadis itu tetap pergi. Mengendarai mobilnya, beberapa kali gadis itu hampir menabrak kendaraan lain. Mendengar suara klakson saja dia terkejut dan kedua matanya memerah. Adel begitu ketakutan sekali.
Sesampainya di halaman rumah kedua orang tuanya setelah memakan waktu perjalanan hampir satu jam. Adel keluar dengan langkah setengah berlari. “Mama...” Teriaknya mencari di ruang tamu. “Mama...”
“Apa sih, kak, berisik banget baru datang.” Adel menoleh dan menemukan Bara berdecak sembari menonton televisi.
“Mama mana?”
“Tidur.”
Adel berlari ke kamar mamanya. Menitikkan air mata saat melihat mamanya tertidur pulas. “Mama...” Ucapnya lemah.
Shella bangun dan terkejut melihat anaknya ketakutan. Dia memeluk gadis itu dan menenangkannya. “Ada apa, nak? Kenapa kamu keliatan ketakutan banget?” Tanyanya.
“Riva, ma. Riva monster.” Isak Adel mengadu. Shella mengernyit tidak mengerti. “Riva ngancem Adel jauhin Al. Riva marahin Adel. Riva nendang pintu kamar Adel sampe rusak. Adel takut, ma.” Ucapnya sembari menelenggelamkan wajahnya di leher wanita tersebut.
“Maksud kamu?” Shella menggeleng. “Mama nggak ngerti.” Ucapnya.
Adel sesegukan, melepaskan diri dari dekapan wanita tersebut. Menunjukkan kedua pergelangan tangannya yang memerah karena cengkeraman Riva beberapa waktu yang lalu. “Ini, ma. riva yang ngelakuin ini.” Ucapnya.
“Apa?” Shella syok. “Riva?” Adel mengangguk. “Kamu nggak bohong, Del?” Adel mengangguk lemah. Shella terdiam, membawa Adel ke pelukannya lagi.
“Adel nggak mau lagi ketemu sama dia, ma. Adel nggak mau tinggal di apartemen lagi. Adel mau balik lagi ke sini.” Ucapnya.
“Iya... Iya... nanti kita omongin sama papa.” Adel mengangguk berangsur membaik. “Kamu... Riva nggak macem-macem ke kamu, kan?” Adel menggeleng. Shella menghela nafas panjang.
***
“Jadi, papa lebih percaya dia daripada Adel?!”
Nafas Adel tersenggal-senggal, menuduh Riva dengan emosi di depannya. Sejak tadi lelaki itu selalu dibela oleh Yoga. “Bukan begitu, Del!” Kata Yoga berusaha tetap adil. Namun gadis itu dengan ego yang tinggi sama sekali tidak mengindahkannya. Menyimpulkan bahwa dia memang sepenuhnya salah dalam kasus ini. Mereka tidak peduli dengan ketakutan yang di alaminya tadi sore.
“Terserah papa maunya apa. Bela aja dia terus sampe nginjek-injek kita semua!” Kata Adel menggebu.
“Adel!!!” Yoga meninggikan suaranya.
“Adel tahu papa nggak pernah percaya sama Adel lagi. Papa nganggap apa yang Adel lakuin ini buat nyingkirin dia biar Adel bebas, kan?” Tuntut Adel dengan kedua mata berkaca-kaca. “Papa nggak peduli dengan Adel yang ketakutan karena dia ngancem Adel, dia nyakitin Adel. Dia nendang pintu sampe rusak!”
“Adel, udah..., ayo ke kamar.” Shella membujuk anak sulungnya dengan lembut. Menuntunnya agar meninggalkan ruangan tersebut.
Adel mengeluarkan air matanya, dia segera menghapus secepat mungkin. Shella membawa ke pelukannya lalu mereka beranjak dari sana. “Sekarang terserah papa mau ngapain. Adel nggak peduli lagi!” Adel memutar tubuhnya ketika Shella hendak mencapai handle pintu. “Mau papa nyewa bodyguard sebanyak apapun. Adel tetap nggak peduli. Adel nggak mau di atur-atur lagi. Papa nggak pernah ngertiin Adel!” Lanjutnya menggebu.
Mereka semua terdiam. Membiarkan gadis itu mengeluarkan emosinya. Shella Menyeretnya keluar, memeluknya yang sedang terisak.
Shella menuntunnya hingga ke kamar, menyelimuti kaki putrinya dengan sayang. “Kamu minum dulu, habis itu tidur ya?” Kata Shella mengangsurkan gelas berisi air minum untuk Adel. Gadis itu Menerima, meminum sembari sesegukan. Shella tersenyum, meletakkan di atas nakas lalu menyelimuti hingga d**a setelah gadis itu berbaring.
“Ma, tidur sini. Adel mau ditemenin.” Kata gadis itu.
Shella mengangguk sembari tersenyum. Mengambil posisi berbaring di samping Adel. Memeluk gadis itu sembari mengelus-elus rambutnya.
Sesekali wanita itu memberikan kecupan untuk menenangkannya.
***
“Maafkan, saya.”
Riva menunduk dalam, Yoga menatapnya lalu menghela nafas panjang. Suasana langsung hening selama beberapa saat ketika Shella dan Adel keluar dari ruangan tersebut.
Riva mengakui kesalahannya. Mengutarakan alasan mengapa dia begitu melarang Adel berhubungan dengan Al. Yoga mengernyit tidak mengerti. Mereka mengenal Al jauh sebelum mengenal Riva. Namun lelaki itu mengatakan dengan berani bahwa Al bukan lelaki baik.
“Lebih baik kamu ke apartemen. Adel masih emosi.” Kata Yoga.
Riva mengangguk mengerti. Dia menunduk sopan lalu keluar dari ruangan tersebut. Membiarkan Yoga tetap berada di sana. Duduk sembari memijit pangkal hidung.
Banyak hal yang telah dilaluinya, sedikit demi sedikit lelaki itu mulai menyadari dan memahami arti dari larangan orang tua untuk anaknya. Dulu dia selalu mengacuhkan larangan yang diberikan orang tuanya. Beranggapan jika mereka terlalu merepotkan diri mengurusi hingga ke hal-hal kecil.
Sekarang dia merasakannya. Meskipun darahnya mengalir pada anak-anaknya. Namun dia tidak bisa sepenuhnya mengontrol mereka seperti keinginannya.
Mereka memiliki ego masing-masing. Melawan pada hal-hal yang mereka anggap bertentangan. Meskipun itu untuk kebaikan mereka. Yoga semakin kacau. Masalah perjaannya yang sedang tidak baik-baik saja, ditambah lagi dengan masalah ini.
Sesampainya di rumah. Adel langsung mengadu semua perbuatan Riva padanya. Lelaki itu merasa pusing. Ingin menyelesaikannya esok pagi, namun tidak lama kemudian, Riva muncul sendiri dan meminta maaf. Sehingga masalah tersebut langsung diselesaikan.
Menghela nafas panjang, lelaki itu beranjak dari ruangan tersebut. Sama sekali tidak menemukan Shella di kamar. Yoga memutuskan untuk menyegarkan kembali tubuhnya. Bahkan hingga saat ini lelaki itu masih mengenakan setelan kerja.
Setelah selesai, lelaki itu mengenakan pakaiannya lalu duduk termenung di ujung ranjang. Menyandarkan badannya yang begitu penat. Dia mengangkat kepala, menemukan Shella tersenyum hangat padanya. Mendekat dan memberikan sebuah gelas yang berisi teh mint.
Shella tersenyum, meletakkan gelas kosong tersebut di atas nakas. Menaiki ranjang dan duduk di samping suaminya. “Sepertinya aku gagal jadi ayah ya, Shel.” Ucapnya sedih. Menyandarkan kepalanya di bahu istriya.
Shella tercekat. “Jangan ngomong begitu, sayang.” Ucapnya membelai rambut lelaki tersebut. “Adel hanya emosi. Kita nggak bisa langsung ambil kesimpulan.”
“Tapi dia kayaknya benci banget sama aku. Sampe ngomong gitu.” Tambahnya sedih.
Shella membawanya ke pelukan. “Jangan dipikirin. Kita udah pernah bahas ini dulu.” Senyum Shella mengembang, memberikan kenyamanan untuk lelaki tersebut agar tidak menyalahkan diri. “Nanti kalau dia udah nggak emosi lagi. Pasti datang ke kamu dan minta maaf. Dari dulu sifat dia memang keras kepala. Kita bahkan udah sering banget hadepin dia yang lagi emosi.”
Yoga terdiam, namun mengangguk membenarkan. “Apa sebaiknya kita berikan Adel kebebasan aja? Biarin Riva keluar?”
Shella menggeleng. “Jangan. Suatu saat nanti Adel pasti butuh banget Riva.”
“Tapi...” Yoga bingung mau melanjutkan.
“Kamu udah ceritain semua ke aku. Dan, aku juga mikir Riva ada benernya meskipun ragu.” Ucapnya. “Memang kita lebih dulu kenal, tapi kita juga udah tau gimana Riva selama ini.” Yoga kembali mengangguk. “Kita biarin aja dulu. Jangan buru-buru. Mudah-mudahan kita segera menemukan kepastiannya.”
Yoga menghela nafas berat. Setidaknya beban pikirannya berkurang dengan ada Shella yang semakin bijak dan dewasa. Benar, seperti perkataannya dulu. Yoga beruntung mendapatkannya.
“Besok Adel masih sensitif. Biarin aja dulu. Turuti keinginannya.” Bisik Shella. Yoga kembali mengangguk, lalu memejamkan mata. “Udah ngantuk? Tidurnya yang bener.” Yoga menurut. Mengendurkan tubuh mereka. Lelaki itu tetap berada di pelukan hangat istrinya.
***
Adel masih cemberut dan tidak mau berbicara. Bibirnya selalu maju ke depan sejak dia bangun pagi.
“Kakak kenapa sih? Kayak bibir bebek aja dari tadi. Mukanya kusut gitu.” Bara berdecak melihat kakaknya. Terganggu sama suara dentingan sendok dan piring keramik yang mereka gunakan.
“Bukan urusan lo!” Jawabnya ketus.
Bara memutar bola mata. “Marah-marah aja terus sampe tua. Keriputan lo!” Ejek Bara.
Adel makin emosi. Membanting sendok dan garpunya sehingga Luna terperajat. Mendekat pada Azka dan bersembunyi di balik badan abangnya. Sedikit mengintip untuk melihat wajah emosi kakaknya.
Azka mengelus kepalanya, tetap menunjukkan wajah datar seolah tidak terjadi apa-apa di sana. Sehingga gadis kecil itu mulai tenang. Sedangkan Bara tetap tidak takut. “Dasar nenek lampir!” Gumannya.
Adel memandangnya tajam. Tidak lama kemudian Shella datang. Menghela nafas panjang saat menyadari ada yang tidak beres di sana. “Del, udah...” Ucapnya. Lalu beralih pada Bara. “Jangan ganggu kakakmu, Bar! Ayo cepet makan.” Suruhnya.
Bara menguman kecil, namun mematuhi perkataan mamanya. Tidak lama setelah itu, Yoga datang. Membawa mangkok di tangannya. Senyumnya sumringah, sembari meletakkan mangkok tersebut di dekat anak pertamanya.
“Papa masak makanan kesukaan kakak. Ini coba dulu.” Ucapnya.
Adel sama sekali tidak meliriknya. Masih emosi pada lelaki tersebut. Dia menyuapkan makanannya ke mulut. Mengunyah pelan seperti biasa. “Pa, Luna mau.” Kata gadis kecil yang tidak ketakutan lagi sejak kedatangan Shella.
Yoga tersenyum, menyendokkan ke piring anak bungsunya. “Del, cobain dong. Papa bela-belain lho masak buat kamu.” Kata Shella lembut.
Gadis itu tidak menghiraukannya. Menghabiskan makanannya lalu pergi dari ruang makan. Shella menggenggam tangan suaminya. Memberikan ketenangan agar suaminya tetap sabar
Yoga mengangguk sambil tersenyum. “Dia kira dia siapa? Sok marah-marah gitu! Palingan bentar lagi merengek sama papa minta dimasakin lagi.” Mereka mengalihkan pandangan pada Bara. “Mending kita habisin aja. Biar tau rasa dia!” Ucapnya. Menyendokkan beberapa bakso dan sayuran lainnya ke piring.
Mereka tersenyum, membiarkan ketiga anak mereka menghabiskannya. “Pa, enak.” Kata Luna sumringah. “Enak kan, bang?” Tanyanya pada Azka di sampingnya. Lelaki remaja itu hanya berdehem, lalu melanjutkan suapannya.
“Kalau nggak enak mana mungkin kakak suka banget!” Kata Bara. Mengunyah makanannya dengan santai. “Mah, nanti sore masak kangkung ya.” Tambahnya.
“Oke...” Jawab Shella senang. “Luna mau apa?” Tambahnya.
“Mau semur ayam.” Jawab Luna berbinar.
“Azka?” Shella beralih pada anak keduanya.
“Masakin daging si Lola aja, ma. Biar abang Azka nggak ada yang gangguin lagi.” Jawab Bara menyengir.
Shella tergelak. “Azka makin repot dong. Lola ada di perutnya. Lola gigit hatinya Azka” Mereka pun tergelak sembari melanjutkan makan.
***