Setelah selesai urusannya dengan sang pemilik butik, Senarita memutuskan untuk segera pulang.dia tidak mau sampai membuat papa dan adiknya khawatir tentang dirinya. Karena terlalu sibuk di kantor, hingga membuatnya tidak sempat untuk sekedar memberi kabar kepada mereka. Takut-takut jika mereka sampai menunggu kepulangannya karena memang keadaan sudah menjelang malam, Senarita berniat untuk menghubungi adiknya terlebih dulu. Namun, sebelum itu dia melajukan mobilnya keluar dari kawasan butik tersebut.
Senarita melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Setealh itu ia mencoba meraih ponselnya yang ia simpan di dalam tas. Namun nyatanya ia tidak membawa tasnya itu. Seingatnya keluar dari kantor ia masih membawa tasnya. Akan tetapi sekarang tidak ia dapati di dalam mobilnya.
Senarita nampak berpikir sejenak, mengingat kapan terakhir kali dirinya membawa tasnya itu dan ia tinggalkan di mana. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Senarita mengingat di mana terakhir kali dia menyimpan tasnya tersebut. Dan ternyata ia meninggalkan tasnya itu di butik, pada saat dirinya berkunjung di sana barusan.
Pada saat ingin memutar arah, ada yang tidak beres dengan mobilnya. Lantas Senarita tetap melajukan mobilnya hingga sampai di sebuah persimpangan jalan. “Kenapa tiba-tiba nggak berfungsi?” gumam Senarita pada saat ingin menginjak pedal rem mobilnya. Rem mobilnya itu tidak merespon sama sekali. Panik? Tentu saja Senarita sangat panik. Semulanya mobil nya itu tidak ada masalah, tetapi kenapa sekarang remnya tidak berfungsi sama sekali.
Senarita harus berpikir cepat untuk menghindari kecelakaan yang akan memakan banyak korban. Meskipun jalanan di persimpangan tersebut tidak terlalu banyak dilalui oleh pengendara lain, tetapi Senarita tidak ingin mengambil resiko yang terlalu besar. Setelah melalui pertimbangan dan perdebatan di dalam dirinya sendiri, akhirnya Senarita memutuskan untuk menabrakkan mobilnya di tugu besar yang terdapat di sisi jalan.
“Pa, Luna, maafkan Sena yang b elum bisa membahagiakan kalian selama ini. Semoga kalian bisa menemukan Sena dengan cepat,” lirih Senarita yang tidak bisa mengendalikan arah mobilnya lagi. Dengan memejamkan kedua matanya, Senarita membanting setirnya ke sisi kiri dengan cepat. “Ma, tunggu Sena di sana,” lirih Senarita pasrah dengan keadaan yang akan terjadi padanya.
Sedangkan itu di dalam mobil lain, nampak seorang pria yang tengah memperhatikan mobil di depannya. Sedikit curiga, karena laju mobil itu terlihat tidak wajar di mata pria tersebut. Pasti mobil itu sedang tidak beres. Lantas pria itu ingin mendahului dan mencoba untuk menghentikannya. Namun, sungguh sayang. Reino kalah cepat dengan keputusan yang diambil oleh pengemudi mobil di depannya itu. Pengemudi itu lebih memilih menabrakkan mobilnya ke tugu besar yang terletak di sisi kiri jalan.
BRAK!!
Kecelakaan pun tak terelakkan, meskipun hanya satu mobil itu saja yang mengalaminya. Reino tak menyangka melihat kecelakaan yang begitu tragis di depan mata kepalanya sendiri. Dengan cepat Reino segera keluar dari dalam mobilnya untuk kemudian berlari ke arah mobil yang sudah hancur bagian depannya.
Pengemudi lain yang juga melintas di persimpangan jalan tersebut, mulai mendekat dan menolong sang pengemudi yang ternyata seorang perempuan. Reino semakin mendekat, guna ingin mengetahui siapa pengemudi tersebut. Barang kali dirinya mengenalinya.
Mata Reino melotot tak percaya dengan pa yang dilihatnya sekarang. Benar saja, ia mengenali pengemukdi yang menabrakkan diri ke tugu besar itu. Lantas Reino dengan sangat hati-hati mencoba mengeluarkan tubuh pengemudi itu yang berlumuran darah. Terutama di bagian pelipis kepalanya.
“Rita! Bagaimana bisa kamu melakukan bunuh diri dengan cara seperti ini?” gumam Reino pada saat mengangkat tubuh wanita yang ia ketahui bernama Rita. Tidak mengerti jalan pikiran wanita ini. Meski mengalami patah hati, tak sepatutnya dia mengakhiri hidupnya. Masih banyak pria di luar sana yang akan tulus dengannya, pikir Reino.
“Apa Tuan mengenali wanita ini?” Tanya salah satu orang yang juga membantu mengevakuasi penyelamatan kecelakaan ini.
Reino menganggukkan kepalanya, sebagai jawaban jika dirinya mengenal wanita ini. Kemudian Reino menyuruh orang tersebut untuk melaporkan kecelakaan ini pada pihak yang berwajib. Sementara dirinya membawa Senarita masuk ke dalam mobilnya, lalu memanggil salah satu orang yang berada disana.
“Tuan, bisakah anda mengantarkan kami ke rumah sakit terdekat?” Tanya Reino pada salah satu orang yang masih membantu evakuasi kecelakaan tersebut.
“Saya saja yang mengantar, Tuan.” Sahut pemuda yang masih mengenakan seragam sekolahnya. Reino tidak mempermasalahkan pemuda itu sudah memiliki surat ijin mengemudi atau belum. Yang terpenting sekarang, fokusnya hanya teryuju pada Senarita. Karena darah yang mengalir dari pelipis wanita itu tidak mau berhenti. Takut-takut jika wanita itu samapi kekurangan darah sebelum mereka sampai di rumah sakit.
Setelah mendapat anggukan dari Reino, pemuda itu tanpa berkata lagi langsung masuk dan menempati kursi bagian kemudi. Menyalakan mesin mobil, lalu melajukan mobil milik Reino tersebut membelah jalanan yang kian gelap. Karena saat ini sudah memasuki waktu malam.
Tidak berapa lama, mobil yang dikemudikan pemuda dengan seragam sekolahnya itu memasuki plataran rumah sakit Citra Kusuma. Dengan sigap, pemuda itu membukakan pintu di samping Reino. Reino mengangkat tubuh Senarita lalu berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Sampai di depan, semua perawat dengan sigap mendorong brankar pasien menuju ke arah Reino. Membantu memindahkan pasien yang berlumuran darah tersebut ke atas brankar pasien. Dengan segera mereka mebawanya ke ruang Instalasi gawat Darurat.
Menunggu Senarita ditangani oleh para tim medis, Reino duduk di depan ruangan IGD. Menunggu wanita itu dengan perasaan khawatir. Mampukah nyawa wanita itu untuk diselamatkan, sedang dirinya tidak tahu harus menghubungi siapa. Karena kata para warga yang berada di tempat kejadian tadi tidak menemukan identitas pengemudi korban kecelakaan itu.
Disaat pikirannya sedang kalut, ada sebuah tangan yang menyodorkan sebotol minuman di hadapan Reino. Membuat Reino mengangkat kepalanya, menatap orang itu. “Minum dulu, Tuan,” ucap pemuda itu seraya menyodorkan minuman yang baru saja dia beli dari kantin rumah sakit ini.
Reino mengangguk lalu menerima minuman tersebut untuk kemudian dia buka tutup botolnya, meneguknya hingga sampai tersisa setengah botol saja. Rupanya rasa khawatir dan panic membuatnya sedikit merasakan kehausan. “Terimakasih,” ucap Reino seraya mengangkat botol minuman yang ada di tangannya. Kemudian dibalas dengan anggukan kepala oleh pemuda itu.
“Tuan pulanglah terlebih dulu, biar wanita tadi saya yang jaga. Lihatlah baju Tuan, penuh dengan noda darah,” ujar pemuda itu yang memperhatikan penampilan Reino.
Mendengar itu, lantas Reino memperhatikan dirinya. Wajar saja jika bajunya berlumuran darah, pasalnya dia memang mengangkat tubuh Senarita hingga sampai rumah sakit Reino tidak menurunkan wanita itu. Dia tetap mempertahankan wanita itu berada di atas pangkuan tangannya seraya menekan bagian yang terus mengeluarkan darah.
“Tidak perlu. Aku akan berganti pakaian setelah dokter yang menanganinya keluar dari ruangan ini,” balas Reino. Bukan karena apa, tapi dia takut jika saja sampai terjadi sesuatu pada Senarita sementara dirinya tidak berada di sana. “Terimakasih sudah membantu. Kamu pulanglah, nanti orang tuamu mengkhawatirkan dirimu,” setelah mengucapkan kalimat itu, Reino merogoh sakunya mengambil dompet lalu memberi pemuda itu beberapa lembar uang kepadanya.
Namun, pemuda itu menolaknya dengan lembut. “Tidak perlu Tuan. Ini sudah kewajiban kita sebagai sesama,” ujar pemuda itu. “Kalau begitu saya pamit pulang lebih dulu. Tuan jangan lupa untuk membersihkan diri dan menjaga diri di sini,” ingat pemuda itu seolah mengkhawatirkan keadaan Reino. Reino mengangguk seraya tersenyum kepada pemuda itu yang mulai melangkahkan kakinya pergi dari sana.
Tiga jam sudah Reino menunggu di depan ruangan Senarita ditangani oleh para tim medis. Namun, tak ada satupun dari mereka yang keluar. Hingga pada saat dirinya beranjak dari duduknya karena rasa gusarnya semakin menigkat, keluarlah salah satu dari tim medis itu.
“Apa anda keluarga dari pasien?” Tanya perawat itu kepada Reino dengan nada yang gusar.
Reino sedikit bingung dengan pertanyaan yang dilontarkan perawat itu. Jika ia jawab bukan, maka proses selanjutnya tidak akan dilanjutkan. Maka dari itu, dengan satu kali tarikan napas Reino menjawab dengan nada penuh yakin jika memang ini pilihan yang tepat. Karena memang wanita yang dia kenal sebagai Rita itu tidak meninggalkan identitasnya di dalam mobil.
“Saya tunangannya, Suster,” jawab Reino.