Terbangun Di Tubuh Yang Asing

1111 Words
Kesadaran kembali kepada Rebecca Matson dalam sebuah gelombang, pertama dia mendengar suara bip yang monoton dan stabil, kemudian bau disinfektan yang menusuk hidung, dan terakhir adalah sensasi aneh dari selang-selang yang menempel di tubuhnya. Dia membuka mata, kelopaknya terasa berat seperti ada perekat di dalamnya. Sinar lampu yang terang membuatnya menyipitkan mata, menatap langit-langit putih yang polos. Dia mencoba menggerakkan tangan, tetapi tangan kanannya terikat pada infus. Tubuhnya terasa lemas, hampa, seperti kapas. Pikirannya berkabut, berusaha mengingat. Apa yang terjadi? Hingga dia mengingat memori terakhir yang melintas. Hujan deras, lampu mobil yang menyilaukan, dan kemudian kegelapan dan kekosongan. Rasa sakit terasa berdenyut di pelipisnya, tetapi itu bukanlah sumber utama ketidaknyamanannya. Ada sesuatu yang lain, sesuatu yang asing. Dia memiringkan kepalanya, dan napasnya tersangkut di tenggorokan. Di samping ranjangnya, duduk seorang pria. Pria yang sama sekali tidak dikenalnya. Tubuhnya kekar, dipenuhi tato yang terlihat rumit dan gelap, dari lengan yang terlipat hingga menjalar ke lehernya. Dia mengenakan kaus hitam dan celana jeans, dan wajahnya terlihat keras namun juga lelah, dengan bayangan janggut yang tidak dicukur dan mata yang mengawasinya dengan dalam namun membuatnya tidak nyaman. “Lexa?” suara pria itu serak, penuh harapan. Pria itu berdiri dan bersandar ke depan, tangannya yang besar dan juga penuh tato ingin menyentuhnya. Rebecca bergeser ke sisi lain ranjang, menjauh darinya. Rasa takut langsung menyergapnya. “Siapa … siapa kau?” suaranya serak, bahkan hampir tidak terdengar. Ekspresi pria itu berkerut, campuran antara rasa sakit dan kebingungan. “Lexa, ini aku. Loco.” “Kau salah orang,” desis Rebecca, mencoba untuk duduk, tetapi tubuhnya yang lemah menolak. “Aku bukan Lexa.” Loco menghela napas, mengusap wajahnya dengan tangan yang lelah. “Dokter sudah memberitahuku. Mereka bilang kau mungkin akan bingung ketika bangun.” “Aku tidak bingung!” bantahnya, suaranya semakin kuat, nadanya panik. “Aku tahu siapa diriku! Di mana aku? Apa yang terjadi?” Seorang dokter dengan jas putih dan seorang perawat masuk ke dalam ruangan. Wajah dokter itu tenang dan profesional. “Selamat pagi, Nona. Senang melihat Anda akhirnya bangun,” ujar dokter itu dengan suara yang menenangkan. “Tolong beri tahu aku apa yang terjadi,” pinta Rebecca, mencoba untuk tetap tenang. “Anda mengalami kecelakaan mobil yang cukup serius,” jelas dokter itu sambil memeriksa chart di ujung ranjang. “Anda mengalami gegar otak dan beberapa memar dalam. Anda sudah tidak sadarkan diri selama dua hari.” “Kecelakaan?” Rebecca mengulangi, mencoba memaksakan ingatannya. Tidak ada apa-apa. Hanya kekosongan. “Aku … aku tidak ingat.” “Itu wajar, amnesia pasca-trauma adalah hal yang biasa,” kata dokter itu, memberikan senyum simpatik. “Ingatan Anda perlahan-lahan akan pulih.” “Tapi dia mengira aku adalah orang lain!” seru Rebecca, menunjuk ke arah Loco yang diam-diam mengamati. “Dia memanggilku Lexa!” Dokter itu mengangguk, masih dengan ekspresi tenangnya yang membuatnya semakin frustasi. “Itu adalah bagian dari kebingungan anda. Nama Anda adalah Alexandra ‘Lexa’ Williams. Dan pria ini, Loco Ferraro, adalah suami Anda.” Kata-kata itu menghantam Rebecca seperti pukulan di ulu hati. Suami? Lexa Williams? Itu mustahil. Itu bukanlah dia! “Tidak!” teriaknya, mulai panik. Monitor detak jantung di sampingnya mulai berbunyi lebih cepat. “Itu tidak benar! Namaku Rebecca! Aku tidak punya suami!” Dia mencoba merobek selang infus dari tangannya. “Kalian semua salah!” “Lexa, tolong tenanglah,” kata Loco, berdiri dengan wajah khawatir. “JANGAN PANGGIL AKU LEXA!” jerit Rebecca. Dokter itu memberi isyarat pada perawat. Mereka mendekat, mencoba untuk menahannya dengan lembut. Tapi Rebecca memberontak, ketakutan dan kebingungan memberinya kekuatan sementara. “Tolong pegang dia,” kata dokter dengan suara tegas. Loco, dengan wajah yang pucat, namun berusaha tetap tenang, melangkah maju. “Biarkan aku saja.” Sebelum Rebecca bisa protes, tangan-tangan besar dan kuat Loco memegangi lengannya dengan erat. Sentuhannya terasa asing, mengganggu, namun entah bagaimana juga familiar? Itu adalah hal yang membuatnya semakin takut. “Lepaskan aku!” tangisnya, berjuang melawan genggamannya yang seperti besi. “Tolong, kalian salah orang!” Dalam pergumulannya, pandangannya tertuju pada sebuah cermin kecil yang tergantung di dinding di seberang ranjangnya. Dia membeku. Perjuangannya berhenti seketika. Di dalam cermin, terpantul seorang wanita dengan rambut coklat gelap yang kusut, wajah pucat, dan mata yang dipenuhi ketakutan. Ada beberapa luka kecil dan memar di pipinya. Tapi itu bukan wajahnya. Itu bukan Rebecca. Rebecca memiliki rambut piranh lurus, mata coklat, dan wajah bulat. Wanita di cermin ini berambut coklat, bermata hijau terang, dan memiliki struktur tulang pipi yang tinggi. Cantik, tapi begitu asing di matanya. Dia mengangkat tangannya yang gemetar, dan wanita di cermin itu melakukan hal yang sama. Dia menyentuh pipinya, dan wanita itu juga menyentuh pipinya. “Tidak …,” bisiknya, suaranya bergetar. “Itu … itu bukan aku.” Loco, yang masih memeganginya, melihat tatapan kosongnya ke arah cermin. “Lexa?” panggilnya lembut, suaranya terdengar menahan emosi. Rebecca memandangi pantulan itu, matanya membelalak, mencoba untuk menemukan dirinya sendiri di balik wajah asing itu. Pikirannya berputar-putar, mencoba mencari pegangan dalam kenyataan yang tiba-tiba menghantamnya. Jika itu adalah wajahnya di cermin, maka siapa “Rebecca” yang ada di dalam kepalanya? Kenangan tentang masa kecilnya, ayahnya, pekerjaannya, apakah semuanya ilusi? “Siapa … siapa aku?” gumamnya, suaranya getir dan hancur. Air mata mulai mengalir deras di pipinya, membasahi wajah yang bukan miliknya itu. Pertahanannya runtuh. Keyakinannya bahwa dia adalah Rebecca hancur berkeping-keping di depan bukti tak terbantahkan yang dipantulkan oleh cermin itu. Dia bukan lagi Rebecca. Dia adalah Lexa Williams. Seorang wanita dengan suami bernama Loco. Seorang wanita dengan kehidupan yang sama sekali tidak dikenalnya. Dokter itu melihat kehancurannya. “Kami tahu ini sulit,” katanya dengan suara lembut. “Tubuh dan pikiran Anda butuh istirahat untuk pulih.” Dia mengambil sebuah suntikan yang sudah disiapkan oleh perawat. Rebecca atau Lexa? Dia bisa menatap kosong ke cermin, tubuhnya lemas oleh kejutan dan keputusasaan. Dia bahkan tidak melawan ketika dokter membersihkan lengannya dan menyuntikkan obat penenang ke dalam pembuluh darahnya. Sensasi dingin menyebar di lengannya, diikuti oleh rasa berat yang tak tertahankan. Pandangannya mulai kabur menjadi terowongan gelap. Wajah Loco yang penuh kekhawatiran adalah hal terakhir yang dilihatnya sebelum kegelapan menyelimutinya sekali lagi. Di dalam ketidaksadarannya, satu pertanyaan terus bergema, menggali lubang yang dalam di jiwanya yang kebingungan. ‘Siapa aku? Jika aku bukan Rebecca, lalu kenapa aku mengingat hidupnya? Dan jika aku adalah Lexa, lalu di mana ‘aku’ yang sebenarnya? Rebecca terjun ke dalam jurang ketidaktahuan, meninggalkan identitas lamanya dan dipaksa untuk menerima identitas yang baru, yaitu sebuah kehidupan yang asing, dengan seorang pria penuh tato yang mengklaim sebagai suaminya, dan sebuah nama yang terasa seperti kutukan, Lexa. (JANGAN LUPA KOMEN YANG BANYAK YAAAA … LIKE JUGAAA …)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD