Dibalik Kecelakaan Maut

1095 Words
Vika Matson mendengarkan dering telepon dengan jantung berdebar kencang. Wajahnya yang terpelihara sempurna, tanpa cela meski usianya sudah menginjak kepala lima, tampak tegang untuk sesaat. Jari-jari panjangnya yang selalu dirawat dengan manicure sempurna mencengkeram ponsel mewahnya erat-erat. "Ya, Dokter?" suaranya datar, namun ada getaran semangat di dalamnya. Suara di seberang telepon menyampaikan berita yang sudah lama dinantikannya. Kata-kata itu mengalir seperti musik indah di telinganya. "Kami menyesal mengabarkan, Nyonya Stein, bahwa Rebecca telah menghembuskan napas terakhirnya sepuluh menit yang lalu. Dia tidak pernah sadar dari koma." Vika menutup mata sebentar, menikmati setiap suku kata kematian itu. Ketika membuka matanya kembali, sebuah senyum tipis yang dingin mengembang di bibirnya yang merah menyala. "Oh my God, itu kabar yang sangat menyedihkan bagiku," isaknya dengan nada yang sengaja dibuat sedih, namun matanya yang biru tajam bersinar penuh kemenangan. "Terima kasih, Dokter. Aku akan segera ke sana." Begitu menutup telepon, Vika tidak bisa menahan diri. Dia berjalan ke mini bar-nya dan menuangkan segelas wine terbaiknya. Gelas kristal berdentang ringan ketika dia angkat. "Akhirnya," bisiknya pada bayangannya sendiri di cermin dinding. "Akhirnya warisan itu sepenuhnya milikku." Dia menenggak anggurnya, merasakan cairan halus itu mengalir di kerongkongannya. Pikirannya melayang pada mendiang suaminya, Harold Matson, yang begitu menyayangi Rebecca, putri semata wayangnya dari istri pertamanya. Harold yang bodoh itu bahkan membuat wasiat yang memberikan hanya 20 persen hartanya pada Vika, dan 80 persen sisanya untuk Rebecca. Dan dia tak terima dengan pembagian yang tak adil itu. Vika-lah dalang di balik "kecelakaan mobil" yang membuat Rebecca koma selama tiga bulan terakhir. Semuanya direncanakan dengan sempurna. Rem yang telah dirusak, sopir yang dibayar untuk menghilang, dan semua jejak yang tertutup rapi. Dia bahkan menyewa detektif swasta untuk memastikan Rebecca tidak punya pacar serius yang bisa mengklaim warisan. Sekarang, dengan kematian Rebecca, miliaran harta keluarga Matson akhirnya menjadi miliknya sepenuhnya. * * Dua jam kemudian, Vika sudah berdiri di lobi rumah sakit. Dia sengaja memakai gaun hitam sederhana yang masih terlihat elegan. Wajahnya diselimuti duka yang begitu meyakinka. Alisnya berkerut, bibirnya bergetar halus, matanya berkaca-kaca berkat bantuan tetes mata yang dia bawa. "Nyonya Matson, turut berduka cita," ujar dokter yang menjemputnya, wajahnya penuh simpati. "Terima kasih, Dokter," Vika menjawab dengan suara bergetar, sambil memegang saputangan putih yang dia remas-remas untuk efek dramatis. "Bisakah aku ... melihatnya?" Dia dibawa ke kamar jenazah. Saat kain putih disingkapkan, wajah pucat Rebecca yang tak bernyawa terbuka. Untuk sesaat, jantung Vika berdebar keras. Ada rasa bersalah yang mencoba menyusup, tapi dia segera mengusirnya. Ini bisnis, bukan urusan personal. "Putriku yang malang," bisiknya sambil 'berpura-pura' menyentuh dahi Rebecca yang dingin. "Kau sekarang sudah bersama ayahmu di sana. Hal yang paling kau inginkan sejak kematian ayahmu. Kenapa kau tak bisa kuat, Sayang?" Air mata palsunya mengalir dengan sempurna. Bahkan perawat yang berdiri di sampingnya ikut terharu melihat kesedihan Vika. "Kami akan mengurus segala administrasinya, Nyonya Matson," kata dokter. Vika mengangguk, masih berpura-pura terisak. "Terima kasih. Aku ingin memakamkannya dengan layak. Dia adalah putri satu-satunya dan putri kesayanganku juga." Kata-kata terakhir hampir membuatnya muntah, tapi dia menyelesaikan kalimat itu dengan sempurna. * * Kembali ke rumah megahnya di kawasan elit, Vika segera berubah total. Dia melepas topeng kesedihannya dan mulai membuat panggilan telepon. "Alice, siapkan pemakaman termewah untuk Rebecca," perintahnya pada asisten pribadinya. "Aku ingin bunga lily putih memenuhi rumah duka, peti mati dari kayu terbaik, dan undang semua orang penting dalam daftar kontak saya." "Tentu, Nyonya Matson. Apakah Anda ingin upacara yang sederhana—" "Tidak!" potong Vika. "Aku ingin yang megah. Semua orang harus melihat bagaimana aku mengasihi anak tiriku." Alice terdiam sebentar. "Baik, Nyonya. Aku akan mengatur semuanya." Vika kemudian menelepon pengacara keluarga. "Frank, Rebecca meninggal. Aku ingin proses klaim warisan dipercepat." "Vika, dia baru saja meninggal," protes Frank. "Dan aku ingin semuanya beres sebelum bulan depan," sahut Vika dingin. "Atau aku akan mencari pengacara lain." Dia menutup telepon dengan geram. Semua orang terlalu sentimental. Tidak ada yang memahami bahwa dalam bisnis dan warisan, sentimen hanya akan memperlambat segalanya. * * Sementara persiapan pemakaman berlangsung, Vika diam-diam bertemu dengan orang yang disewanya untuk mengatur kecelakaan Rebecca. "Semuanya bersih?" tanya Vika pada lelaki bertopi yang duduk bersamanya di mobil gelap. "Bersih, Nyonya. Mobil sudah dibuang oleh orang dalam di kepolisian, sopir sudah keluar negeri. Tidak ada yang mencurigai kecelakaan itu. Kasusnya pun sudah ditutup." Vika mengangguk puas. "Bagus. Transfer sudah aku lakukan. Jangan pernah hubungi aku lagi." Setelah pria itu pergi, Vika menarik napas lega. Semua jejak sudah tertutup. Tidak ada yang akan tahu bahwa dialah otak di balik kematian Rebecca. Di mata dunia, dia adalah ibu tiri yang berduka, yang dengan setia menunggui anak tirinya selama koma dan sekarang mengadakan pemakaman megah untuknya. * * Hari pemakaman tiba. Rumah duka dipadati orang-orang, rekan bisnis almarhum Keluarga Matson, teman-teman Rebecca, dan tentu saja, para elit sosial yang penasaran. Vika menjadi pusat perhatian. Dengan gaun hitam desainer dan cadar hitam yang menutupi separuh wajahnya, dia tampak seperti figur ibu tiri dengan duka yang sempurna. Dia duduk di barisan depan, terisak-isak dengan palsu. Saat gilirannya berbicara, Vika berdiri dengan anggun. Matanya yang berkaca-kaca melihat ke arah tamu. "Rebecca bukan hanya anak tiriku," suaranya terputus-putus dengan sempurna. "Dia adalah anak yang aku anggap sendiri. Kematiannya ... adalah pukulan terberat dalam hidupku. Aku merasa bersalah karena terlalu memanjakannya. Seandainya aku tak mengizinkannya keluar malam itu sendirian tanpa sopir, mungkin dia masih bersamaku.” Rebecca menangis lagi dan menyeka air mata palsunya. “Aku hanya ingin memberikan kebebasan baginya. Kebahagiaan yang dia inginkan sejak dulu, tapi …” Kalimatnya menggantung dan dia mengisinya dengan tangisan palsu. Dia berhenti sejenak, berpura-pura tidak sanggup melanjutkan. Beberapa wanita di barisan belakang ikut menangis. "Meski dia telah pergi, cintaku padanya tidak akan pernah mati," Vika melanjutkan dengan suara bergetar. Sepanjang acara, Vika terus memainkan perannya dengan sempurna. Dia memeluk teman-teman Rebecca, menerima belasungkawa dengan air mata, dan tampak begitu lemah sehingga harus ditopang ketika peti mati diturunkan ke liang lahat. * * Malam setelah pemakaman, Vika berdiri di balkon rumah mewahnya, memegang segelas wine. Di bawahnya, kolam renang yang berwarna biru berkilauan. Semua ini sekarang sepenuhnya miliknya. Tapi anehnya, setiap kali dia menutup mata, wajah pucat Rebecca di kamar jenazah muncul. Setiap angin sepoi-sepoi seakan membisikkan nama Rebecca. "Sudah cukup!" hardiknya pada dirinya sendiri. Dia menenggak anggurnya. "Ini yang kau inginkan, Vika. Dan kau sudah mendapatkannya. Dia sudah mati! Dan tak ada penghalang lagi di depanmu!” Dia berjalan ke dalam, melewati galeri foto keluarga. Matanya tertuju pada foto pernikahannya dengan Harold. Lalu pada foto Rebecca kecil yang tersenyum tipis. “Kalian tak akan pernah bisa menggangguku lagi!” bisiknya puas dan kemudian tertawa. (JANGAN LUPA KOMEEEEN YANG BANYAAAAKK… )
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD