Bab 4. Sisi Lain Oliver.

1204 Words
Suara ponsel yang terus menerus terdengar, membuat aktivitas Oliver yang sedang menikmati tubuh sang istri dengan terpaksa berhenti. Pria itu menggeram seraya melepas penyatuan. “s**t!” kesal Oliver karena suara ponsel itu masih belum juga berhenti. Dengan gerak d*da cepat lantaran adrenalinnya sedang terpacu, pria itu menatap wajah memerah perempuan yang berbaring di bawahnya. “Tunggu di sini sebenar. Akan kuhabisi orang yang mengganggu kita,” ujar Oliver sebelum detik bergerak turun dari atas ranjang. Berjalan ke arah meja tempatnya meletakkan telepon genggam. Dengan napas yang masih memburu, Hazel menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Hazel mengangkat tubuh lalu menarik ke belakang hingga ia duduk menyandar. Kepalanya berputar, memperhatikan pria yang kini sudah menempelkan ponsel ke telinga kanan. Masih sambil mengatur tarikan dan hembusan napas, Hazel mendengarkan percakapan Oliver. Suara Oliver cukup keras, hingga terdengar sampai di telinganya. “Brengs*k! Kamu tidak tahu aku baru saja menikah?” tanya Oliver dengan nada marah. Pria itu menghentak keras karbondioksida keluar dari mulut yang ia bulatkan. Gila saja. Dia sedang menikmati permainannya. Dia sudah setengah jalan, namun harus berhenti gara-gara asisten pribadi sekaligus bodyguard nya terus menerus menghubungi. “Maaf, Bos.” “Cepat katakan! Ada masalah apa? Kalau sampai tidak penting … kamu mati, Tom!” ancam Oliver dengan menekan tiga kata terakhir. “Kami baru saja menangkap orang yang minggu lalu merampas barang dagangan kita, Bos. Sekarang orang itu sudah kami bawa ke markas.” Mendengar informasi dari pengawalnya, Oliver terdiam. Pria itu memasukkan oksigen sebanyak mungkin ke dalam paru-paru. Ternyata informasi yang dibawa pengawalnya memang penting. Tapi, dia juga sedang menikmati permainan bersama istri barunya. Sialan … memikirkan siapa orang yang berani merampas barang dagangannya, gairah yang sudah sampai di ubun-ubun dengan cepat turun. Meluncur bebas sampai terjatuh ke lantai. Oliver masih belum merespon informasi dari pengawalnya. Pria itu memutar kepala—menatap sosok perempuan yang kini sudah duduk menyandar kepala ranjang. “Bos.” Suara panggilan Tom membuat Oliver menggeram. “Tunggu di situ. Aku ke sana sekarang.” Lalu Oliver menurunkan ponsel. Pria itu melempar ponsel ke atas meja sebelum memutar tubuh lalu melangkah menjauh dari meja. Hazel langsung mengalihkan pandangan mata dari tubuh polos Oliver yang dengan santainya berjalan ke arahnya. Hazel menarik samar namun panjang napasnya. Hidupnya benar-benar sudah tergadai sekarang. “Aku akan keluar sebentar. Kamu istirahat saja dulu.” Hazel mendengar kalimat tersebut. Wanita itu bertahan untuk tidak menoleh ke arah Oliver. Suasana di dalam kamar besar itu hening. Oliver tak lagi bersuara, hingga Hazel bisa dengan jelas mendengar ketika Oliver menaikkan zipper celananya. Hazel menghembus napas lega. Setidaknya ia bisa terlepas dari pria itu sekarang. Semoga saja Oliver tidak akan kembali sampai besok, batin Hazel. Oliver memasukkan satu per satu kancing kemeja ke dalam lubangnya, sambil menatap Hazel yang masih menatap ke arah lain. Pria itu menekan-nekan katupan rahangnya. Hazel benar-benar berbeda dengan perempuan di luar saja. Siapa yang tidak ingin naik ke ranjangnya? Perempuan-perempuan cantik di luar sana rela melempar tubuh mereka ke atas ranjangnya dengan senang hati. Berbeda dengan Hazel. Sialan. Oliver menahan geraman mengingat ia hanya bermain sendiri. Tidak ada balasan dari Hazel. Wanita itu hanya diam seperti patung. Sialan memang. Pria itu menatap tajam hazel. Tangannya bergerak memasukkan ujung bawah kemeja ke dalam celana sebelum kemudian mengancing celananya. Oliver menatap istrinya beberapa detik sebelum kakinya sedikit berputar lalu berayun meninggalkan ranjang. Suara langkah kaki Oliver yang terdengar semakin menjauh, membuat Hazel menghembus napas lega. Wanita itu memutar kepala. Sepasang matanya menatap punggung lebar Oliver. Hazel membuka mulutnya. Memasukkan sebanyak mungkin oksigen untuk mengembangkan paru-parunya. Begitu melihat Oliver keluar dari dalam kamar dan pintu kembali tertutup, Hazel langsung menyibak selimut. Hazel menggeser tubuh ke samping lalu turun. Wanita itu memunguti pakaian yang berserakan di lantai. Menggeram kesal melihat pakaian dalamnya tak lagi bisa ia pakai. “Damn you, Oliver,” marah Hazel melihat kain tipis segitiga itu koyak. Hazel makin kesal mengingat kopernya masih belum dibawa ke dalam kamar. Wanita itu akhirnya beranjak berdiri. Membiarkan gaun pengantin dan pakaian dalam yang sudah tidak berfungsi itu tetap teronggok di lantai. Hazel berlari ke arah walk in closet. Wanita itu masuk lalu membuka pintu-pintu lemari yang berjejer. Tidak peduli sekalipun Oliver nanti akan marah, Hazel menarik satu kemaja warna hitam milik oliver, kemudian memakainya. Kemeja lengan panjang itu mampu menutup tiga per empat paha Hazel. Dia akan keluar untuk mengambil kopernya. Hazel bergegas menutup pintu lalu berjalan cepat keluar dari walk in closet. Melanjutkan ayunan kaki ke arah pintu lalu keluar dari dalam kamar. Kakinya terayun menuju lift. Ah, apa dia melarikan diri saja dari mansion? Mumpung Oliver sedang pergi, batin senang Hazel. Pintu lift langsung terbuka begitu Hazel menekan tombol. Wanita itu melangkah masuk. Menekan tombol tutup lalu angka satu. Kamarnya berada di lantai tiga. Tak butuh waktu lama, lift sudah berhenti lalu dinding kaca di depannya terbelah. Tanpa ragu Hazel keluar dari dalam lift. Sambil mengedarkan pandangan mata, Hazel mengayun kaki menuju akses keluar masuk rumah super besar itu. Kening Hazel mengernyit ketika menyadari keanehan di dalam rumah itu. Tidak satu pun asisten rumah yang terlihat. Padahal, saat dia datang, Hazel yakin tidak kurang dari 10 pekerja rumah menyambutnya. Dimana 10 perempuan itu sekarang berada? Hazel menggelengkan kepala. Tidak perlu dipikirkan, batinnya. Wanita itu mempercepat ayunan kaki hingga akhirnya ia berhasil keluar dari dalam rumah besar Oliver. Hazel menghentikan gerak kakinya saat melihat beberapa orang dengan setelan jas hitam-hitam berlari ke arah samping bangunan rumah. “Ayo cepat! Bos pasti akan menghabisi orang itu!” Hazel mengerjap. Kakinya terpaku di tempatnya berdiri. Apa yang baru saja ia dengar? Siapa yang akan menghabisi siapa? Menghabisi? Apa maksud kata menghabisi yang pria itu tadi katakan? Oliver juga tadi sempat menggunakan kata itu saat bicara melalui sambungan telepon. Mereka hanya bercanda, kan? Mendadak Hazel merasakan jantungnya berdegup dengan cepat. Sebagai seorang dokter, empatinya begitu besar. Dia tidak bisa melihat orang kesakitan. Dia pasti akan langsung bergerak—melakukan sesuatu untuk menolong. Kaki Hazel mulai bergerak kembali. Wanita itu melangkah lebar. Menuruni beberapa undakan teras sebelum akhirnya menapaki halaman luas yang tertutup batu-batu bulat dengan rumput hijau di sekitarnya. Hazel berlari ke arah para pengawal mansion berlari. Melewati bagian samping mansion yang ternyata begitu luas dengan taman yang tertata rapi. Lima menit lebih Hazel berlari sampai akhirnya ia bisa melihat satu bangunan besar yang terpisah dengan rumah utama. Hazel mengedarkan pandangan mata. Sepi. Apa orang-orang tadi masuk ke dalam bangunan itu? Tempat apa itu? Penasaran, Hazel menghampiri bagunan itu. Wanita itu mencari celah agar bisa melihat ke dalam, sambil menajamkan pendengarannya. Tidak mungkin ia langsung mendorong pintu dan masuk. Hazel berjingkat saat mendengar suara pukulan lalu teriakan keras seseorang dari dalam bangunan itu. “Cepat bicara, Bangs*t! Dimana barangku?!” Hazel menelan saliva susah payah mendengar suara keras Oliver. Wanita itu berjalan pelan, tidak ingin membuat suara yang akan bisa mengejutkan orang-orang yang berada di dalam bangunan. Hazel menemukan celah pada jendela kayu di samping kanan bangunan. Wanita itu memberanikan diri untuk mengintip ke dalam. Mulut Hazel langsung terbuka melihat apa yang ada di dalam sana. Seorang pria digantung dengan dua tangan diikat ke atas. Tubuh pria itu hanya terbungkus boxer warna hitam. Tubuhnya sudah penuh dengan luka. Darah nampak mengalir dari kepala pria itu. Wajahnya babak belur. Kulitnya basah oleh keringat bercampur darah. “DOOR!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD