'DOOR!' Suara keras tembakan terdengar.
Sepasang mata Hazel terbelalak. Buru-buru wanita itu membekap mulut dengan dua telapak tangan. Khawatir suaranya akan keluar. Jantungnya bukan hanya berdegup kencang. Lebih dari itu. Alat pemompa darahnya itu meronta-ronta seakan hendak meloncat keluar dari tempatnya.
D*da wanita itu bergerak cepat, seiring cepatnya degup jantung yang menggila. Sepasang mata wanita itu masih menatap ke dalam ruangan dari celah jendela kayu. Kakinya seolah terpaku hingga ia tidak bisa bergerak.
“Sialan! Dia membuatku marah. Bereskan mayatnya. Buang saja ke laut supaya menjadi santapan ikan. Kurang ajar. Berani sekali dia mencuri barangku.” Oliver melempar senjata api ke lantai, lalu berkacak pinggang. Pria itu berdiri beberapa langkah di depan pria yang digantung tak lagi bernyawa.
Oliver memutar kepala. Pria itu menyapukan pandangan mata ke seluruh ruangan. Orang-orangnya berkumpul. “Dengarkan aku baik-baik.”
Pria itu menatap satu per satu anak buahnya. “Sampai satu kali lagi aku mendengar ada yang berhasil merampas barangku—” pria itu menghentikan sesaat kalimatnya. Menekan keras katupan rahang sebelum kembali membelah bibirnya.
“Satu kali,” tekan Oliver. Pria itu mengangkat tangan kanan. Menunjukkan jari telunjuk seraya menatap semakin tajam orang-orang yang kini menundukkan kepala. “Bukan hanya orang yang mencuri itu yang akan mati di tanganku. Tapi, kalian semua juga akan mati,” ancam Oliver sebelum menghentak keras karbondioksida keluar dari mulut yang sedikit terbuka.
“Sialan kalian semua. B*doh!” umpat Oliver dengan ekspresi wajah mengeras. Kulit wajah pria itu sudah merah padam. Oliver menoleh ke samping. “Sudah ada info dimana barangku berada?" tanya Olivery pada salah satu bodyguard kepercayaannya.
“Frank,” panggil Oliver kala orang yang ia tatap hanya menundukkan kepala.
Frank mengangkat kepala. Pria itu menelan saliva susah payah. “Ma-maaf, Tuan. Barang itu … sudah habis tersebar.”
“Brengs*k!" Suara Oliver menggema di dalam ruangan besar tersebut. “Apa kerja kalian, hah? B*doh kalian semua!” Oliver semakin marah. Pria itu memutar langkah kaki kemudian berderap dengan ayunan kaki lebar menghampiri Frank. Tanpa basa-basi, Oliver mengayun tangan kanan yang sudah terkepal, ke arah wajah Frank.
‘Bugh!’ Pukulan keras diterima Frank. Wajah pria itu tertoleh ke kanan. Tubuhnya terhuyung satu langkah ke samping. Menahan rasa sakit, Frank merapatkan sepasang bibirnya. Dua detik pria itu meluruskan kembali wajahnya hanya untuk sekali lagi menerima pukulan yang kali ini jauh lebih keras dari sebelumnya.
‘Bugghhh!’
Frank kembali terhuyung. Pria itu bahkan nyaris terjatuh jika tidak bisa segera mendapatkan keseimbangannya kembali. Frank menelan ludah yang terasa asin. Bisa dirasakan dinding pipi sebelah kiri pecah. Namun, pria itu tetap menahan sepasang bibir untuk tertutup.
Sudah lama Frank mengikuti Oliver. Dia paham betul haram hukumnya membuka suara, apalagi melawan Oliver yang sedang kesetanan. Frank kembali meluruskan kepalanya. Bersiap untuk kembali menerima pukulan, namun ternyata sang bos justru berjalan melewatinya. Pria itu menghembus napas lega.
Frank lega setelah mendapatkan dua kali pukulan keras Oliver. Sekarang giliran para bodyguard lain yang harus bersiap begitu melihat kemana arah langkah kaki Oliver.
‘Bugh! Bugh! Bugh!’
Oliver mengayun kepalan tangan kanan. Menghantam sisi wajah satu per satu bodyguardnya untuk melampiaskan kemarahannya. Tidak ada satupun yang luput dari kemarahan Oliver. Bagkan Tom sekalipun. Asisten pribadi sekaligus pengawalnya itu juga harus menerima kepalan tangan Oliver.
"Itu belum seberapa. Sekali lagi kalian mengecewakanku, bukan hanya pukulan yang akan kalian terima,” ancam Oliver dengan sepasang mata tajam menusuk satu per satu pengawalnya. “Sialan kalian! Kalian mengganggu waktuku bersama istriku!”
Dengan jantung yang masih berdegup begitu cepat, dan dua tangan membekap mulut—Hazel melangkah mundur. Sungguh, Hazel tidak percaya apa yang baru saja dilihat. Jika dia tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri, Hazel tidak akan percaya.
Oliver … siapa pria itu sebenarnya? Barang apa yang hilang hingga Oliver sampai membunuh orang itu? Hazel menggelengkan kepala. Hazel pikir dia hanya menikah dengan seorang CEO sebuah perusahaan otomotif. Namun, sepertinya Oliver bukan sekedar CEO biasa. Pria itu … mengerikan.
Hazel memutar tubuh lalu berlari secepat mungkin meninggalkan bangunan tempat Oliver menyiksa dan membunuh seseorang. Dia harus segera mencari cara untuk bisa lepas dari Oliver. Tapi, bagaimana dengan usaha orang tua angkatnya?
Hazel ingin sekali berteriak keras. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Apakah dia harus bertahan menjadi tawanan Oliver demi bisnis orang tua angkatnya?
Napas hazel terengah begitu tiba di teras rumah. Wanita itu berhenti berlari untuk mengatur napas yang nyaris putus. Hazel menumpu dua tangan ke lutut. Dia baru saja berlari sprint hingga dadanya terasa panas.
Hazel membulatkan mulut. Memasukkan oksigen lalu menghembus karbondioksida dari tempat yang sama. D*da wanita itu masih bergerak cepat. Hazel belum berhasil menormalkan gerak jantungnya.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Hazel?”
Suara bariton itu membuat Hazel terhenyak. Wanita itu mengatur tarikan dan hembusan napas, serta mengatur mimik wajahnya. Dia tidak boleh membuat Oliver curiga.
“Kamu memakai kemejaku?”
Hazel menelan saliva susah payah. Apa Oliver akan marah hanya karena ia memakai kemeja pria itu? Tiba-tiba Hazel merasakan tangannya bergetar. Bayangan peluru menembus kepala pria tadi membuat Hazel merasa takut. Apa sekarang gilirannya? Apa Oliver akan membunuhnya karena dia sudah lancang memakai barang milik pria itu?
“Hazel,” panggil Oliver melihat Hazel hanya diam dengan posisi membungkuk. Sepasang alis tebal pria 35 tahun itu bergerak, mengerut hingga menimbulkan beberapa lipatan dalam pada keningnya.
“A-a-aku ….” Hazel kembali menelan saliva yang terasa menggumpal dan mengeras. Membuatnya nyaris mendelik hanya untuk menelannya saja. Mendadak ia merasakan atmosphere di sekelilingnya berubah. Terasa begitu dingin.
Sambil mengepal dua telapak tangan untuk menghilangkan tremornya, Hazel menegakkan tubuh. Kaki wanita itu bergerak memutar hingga akhirnya Hazel berdiri berhadapan dengan Oliver.
“Ma-maaf. Aku … tidak ada pakaianku di kamar.” Hazel mengepal lebih kuat dua telapak tangannya. Melihat ekspresi wajah Oliver, Hazel merasa perlu bersiap. Kalau memang dia akan mati hari ini, dia berharap mati tanpa merasakan sakit.
“Ikut denganku sekarang. Kamu harus menerima hukuman dariku karena sudah berani melawan perintahku,” titah Oliver seraya menatap lekat sepasang mata yang menatap takut padanya.
Hazel kembali menelan saliva susah payah. Degup jantungnya sudah meningkat beberapa kali lipat. Meskipun begitu, Hazel tetap berusaha terlihat tenang. Akan tetapi, kaki yang bergerak ke belakang--menjauhi Oliver, memperlihatkan gestur ketakutan wanita tersebut.