Awalnya Hazel pikir Oliver akan menghukum dengan arti yang sebenarnya. Seperti bagaimana pria itu menghukum entah siapa orang yang digantung hingga berakhir kehilangan nyawa. Namun, ternyata ia salah. Bukan hukuman fisik seperti itu yang Oliver lakukan.
Begitu masuk ke dalam kamar, pria itu langsung melepas satu lembar kain yang membungkus tubuh Hazel, sebelum melucuti tubuhnya sendiri. Oliver melanjutkan permainan yang sempat terhenti karena urusan lain.
Oliver tidak ingin bermain sendiri. Pria itu meminta Hazel untuk membalas setiap pergerakannya. Hukuman yang Oliver berikan pada Hazel. Pria itu terus terus memaju tubuhnya di atas tubuh sang istri. Tersenyum miring setiap kali suara erangan lolos dari sepasang bibir wanita yang sudah berstatus sah sebagai istrinya.
Oliver menikmati setiap pergerakannya. Tubuh pria itu sudah tak lagi kering. Basah orang keringat yang menjadi bukti usahanya memberikan kenikmatan pada sang istri. Oliver mencoba merasakan perbedaan saat ia melakukan kegiatan yang sama dengan sembarang perempuan di luar sana.
Lenguhan, erangan yang terdengar dari mulut Hazel seperti lagu kemenangan di telinga Oliver, mengingat Hazel yang tidak menunjukkan ketertarikan padanya. Dia akan pastikan harga dirinya sebagai seorang pria berkualitas yang selama ini diinginkan oleh semua wanita tetap terjaga. Dia akan pastikan tidak ada satu pun perempuan di muka bumi yang mampu menolak pesonanya. Termasuk Hazel.
Sambil terus menggerakkan tubuh, pria itu menatap wajah memerah Hazel. Oliver bersumpah akan membuat Hazel bertekuk lutut di depannya. Wanita itu tidak akan lagi mengalihkan mata darinya. Ia akan membuat Hazel memohon padanya untuk naik ke atas ranjang bersama wanita itu.
Suara lenguhan panjang terdengar seperti alunan musik yang membuat satu sudut bibir Oliver kembali terangkat.
“Aku … aku—” Belum selesai Hazel bicara, sepasang bibir sang suami menyergap bibirnya. Melumat hingga membuat suara Hazel tenggelam. Tubuh wanita itu menggelinjang di tengah gempuran sang suami yang masih belum berhenti.
“Balas ciumanku,” perintah Oliver disela ciumannya.
Dengan d*da bergerak cepat setelah pelepasan luar biasa untuk yang kesekian kalinya, Hazel membalas setiap gerak bibir Oliver. Keduanya saling melumat hingga gairah semakin berkobar. Oliver mempercepat pacuan tubuhnya ketika puncak kenikmatan yang didaki sudah terlihat.
Pria itu melepas bibir Hazel. Bergerak lebih cepat hingga akhirnya ia berhasil mendapatkan kenikmatan surga dunia. Oliver menggeram tertahan, menikmati rasa yang masih merambat hingga ke sekujur tubuhnya.
Beberapa saat Oliver masih bertahan di atas tubuh Hazel sebelum akhirnya melepas penyatuan, lalu berguling ke samping. Dengan d*da bergerak cepat, pria itu tersenyum menatap langit-langit kamar.
Ia yakin Hazel tidak hanya merasa puas dengan permainannya. Oliver yakin, setelah ini Hazel akan kecanduan permainan ranjangnya. Dia akan menunggu saat bibir wanita itu mengucap keinginan tersebut.
Hazel berusaha mengatur tarikan dan hembusan napas. Jantungnya terasa nyaris meledak setelah dibuat gila oleh Oliver. Hazel berbohong saat mengatakan ia bukan lagi perawan. Seksnya bersama Oliver adalah yang pertama kali. Pengalaman pertama yang membuat sekujur tubuhnya merinding. Entah berapa kali ia merasakan kenikmatan yang tak terbayang sebelumnya.
Sialan. Hazel mengumpat dirinya sendiri dalam hati. Ia sudah mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak terlena pada permainan Oliver. Pria itu mengerikan. Dia tidak boleh jatuh pada pria tersebut.
Dia harus memikirkan cara untuk bisa segera lepas dari Oliver. Namun, nyatanya apa? Dia justru menikmati permainan pria tersebut. Tubuhnya merespon setiap gerakan Oliver. Bahkan ada saat dia ingin berteriak meminta Oliver untuk bergerak lebih cepat. Bersyukur saat itu ia masih bisa menahan lidahnya. Otaknya masih bisa bisa berpikir.
“Katakan padaku. Berapa nilai permainanku, Hazel? Dari angka sepuluh, sebutkan nilaiku. Aku ingin tahu.” Oliver bertanya. Pria itu masih menatap ke atas. Hanya bola mata yang bergerak ke samping tidak lebih dari dua detik.
Hazel yang masih belum berhasil mengembalikan gerak jantung seperti semula, tidak langsung menjawab. Wanita itu menarik sepanjang mungkin napasnya. Menahan beberapa detik, lalu menghembus perlahan karbondioksida keluar.
“Berapa? Sembilan setengah, atau seratus?” tanya Oliver tidak sabar.
Pertanyaan Oliver membuat Hazel melirik ke samping. Wanita itu menelan susah payah salivanya. Haruskan dia bilang seribu? Memang sedahsyat itu permainan Oliver, namun dia tidak akan membiarkan pria itu besar kepala.
“Berapa, Hazel?” Oliver sungguh tidak sabar ingin mendengar nilai yang Hazel berikan untuk usaha kerasnya tadi.
Hazel menarik napas dalam sebelum menjawab. “Lima.”
“Apa?” Dengan cepat Oliver menoleh ke samping. Tubuh pria itu kemudian bergerak hingga posisi berbaringnya berubah miring menghadap ke arah Hazel. Sepasang mata pria itu menatap Hazel dengan mulut sedikit terbuka.
Apa tadi Hazel bilang? Berapa? Lima? Lima itu angka penghinaan baginya. Belum ada yang kecewa pada permainannya selama ini. Semuanya selalu bilang puas, bahkan tidak segan meminta lagi dan lagi.
Oliver tentu saja tidak terima Hazel memberinya nilai lima. Pria itu berusaha menenangkan diri. Dia tidak akan terpancing emosi. Beberapa detik kemudian Oliver tertawa hingga membuat Hazel menoleh ke arahnya.
Hazel menatap aneh Oliver yang justru tertawa terbahak-bahak.
“Kamu benar-benar berusaha keras membuatku marah.” Oliver susah payah menghentikan tawanya. Perutnya sampai sakit lantaran ia tertawa begitu keras. “Kamu pikir aku percaya? Berapa kali kamu pelepasan tadi, sementara aku baru satu kali? Itu saja sudah membuktikan keperkasaanku. Lima katamu?” Oliver mengangkat kepala kemudian menyangga dengan satu tangan.
“Kamu sungguh luar biasa, Hazel.” Pria itu mendengkus. “Kamu juga berbohong padaku.”
“A-aku?”
“Ternyata perawan memang lebih nikmat. Aku bahkan kesusahan untuk menahan pelepasanku." Pria itu terkekeh seraya menatap sang istri. Tidak rugi dia menggelontorkan dana yang cukup besar untuk orang tua Hazel. Dia masih mengingat saat pertama berusaha melakukan penyatuan. Oh ... rasanya nikmat sekali. Bercak darah menjadi bukti jika ternyata Hazel masih perawan.
Perawan di usia 24 tahun? Sungguh luar biasa. Oliver harus mengacungkan ibu jari pada Hazel yang masih bisa menjaga keperawanan sampai usia 24 tahun.
"Kurasa sekarang aku kecanduan perawan, Hazel.” Senyum Oliver sudah menghilang. Pria itu menatap lekat sepasang mata yang juga sedang menatapnya. “Pastikan kamu akan terus terasa nikmat, agar aku tidak perlu membawa perawan lain ke ranjangku.”
Hazel memberanikan diri menjawab. “Kamu sudah mengambil keperawananku. Kamu bisa melepasku sekarang dan membawa perawan lain ke ranjangmu.” Justru Hazel akan senang jika Oliver sudah tidak lagi puas padanya dan membuangnya. Itu yang ia inginkan.
Kening Oliver berkerut. Hazel tetaplah Hazel. Wanita keras kepala yang berusaha menolak pesonanya. Dia tidak akan membiarkannya. Pria itu tersenyum. Tangan kanannya yang bebas bergerak. Terangkat membelai rambut panjang Hazel sebelum beralih membela wajah wanita tersebut. Terakhir jari tangan pria itu menyentuh bibir Hazel.
“Kamu ingin sekali lepas dariku, bukan?”
“Iya. Tolong biarkan aku pergi.” Tanpa basa-basi Hazel menjawab.
Oliver tersenyum sekali lagi. “Kalau begitu, aku akan mencicipi tubuhmu sekali lagi. Jangan khawatir. Aku akan melepasmu setelah tidak lagi membutuhkan tubuhmu. Aku tidak mau rugi, Hazel. Uang yang kuberikan pada daddy mu bukan jumlah uang yang sedikit. Kamu harus menjual diri bertahun-tahun untuk bisa mendapatkan uang sebesar itu.”
Setelah Oliver menyelesaikan kalimat penghinaan tersebut, pria itu bergerak cepat ke atas tubuh Hasel. Mengungkung tubuh perempuan sekali lagi. “Berdoa saja aku akan bosan dengan tubuhmu ini.” Lalu Oliver segera menyergap sepasang bibir Hazel.