Bab 19.

1105 Words
Hazel pikir dia akan mati. Saat mobil menabrak kendaraan roda empat dari arah berlawanan yang melaju kencang, tubuh Hazel terdorong keras ke depan, lalu ke samping. Seperti dilempar ke kanan lalu kiri, lalu kanan lagi, ke belakang. Terus begitu sampai akhirnya tubuhnya berhenti bergerak dengan sendirinya. Hazel merasakan seluruh tubuhnya remuk. Otot-ototnya seolah kehilangan fungsi. Dia tidak bisa menggerakkan apapun. Tidak tangan, kaki, leher. Tidak ada yang bisa ia gerakkan. Satu hal yang Hazel sadari … ia masih bisa bernapas. Meskipun begitu, lama kelamaan ia mulai merasa sulit untuk mengisi paru-parunya dengan oksigen. Ruang di sekitarnya terasa mulai kehilangan pasokan oksigen. Tarikan napas wanita yang berprofesi sebagai seorang dokter umum tersebut mulai tersendat. Hazel sudah nyaris menutup mata saat telinganya mendengar suara-suara. “Buka pintunya. Cepat!” Sayup, hazel merasa mengenali suara tersebut. Ia berusaha untuk mempertahankan kelopak mata tetap terbuka. Namun, setiap detik terlewat, terasa semakin berat hingga Hazel tak kuasa lagi menahannya. Sepasang mata wanita itu tertutup perlahan. “Hazel … Hazel ….” Oliver memanggil Hazel. “Minggir kalian.” Oliver menarik tubuh dua orang pengawalnya yang sedang berusaha untuk mengeluarkan tubuh Hazel dari dalam mobil yang sudah rusak parah. Posisi Hazel sedikit menyulitkan mereka. Oliver pun sedikit kesulitan mengeluarkan tubuh Hazel. Pria itu butuh nyaris sepuluh menit baru akhirnya Oliver bisa membawa tubuh istrinya itu keluar dari dalam mobil. Kemeja yang dipakai Oliver sudah kotor oleh debu dan juga darah. Sambil membopong tubuh Hazel, pria itu berjalan cepat menuju mobil yang pintu penumpang belakang sudah dibuka. Oliver memasukkan tubuh Hazel ke dalamnya sebelum ikut masuk dari pintu yang berbeda. Oliver mengangkat perlahan kepala Hazel lalu meletakkan ke atas pangkuan. Dengan degark daada yang sudah beberapa kali lebih cepat, Oliver menatap wajah istrinya. Jari tangannya bergerak ke depan hidung sang istri. Hembusan napas lega lolos dari celah bibir pria itu. Mobil melaju meninggalkan tempat kecelakaan. Tak Oliver hiraukan dua orang yang terjepit di bagian depan mobil. Oliver menarik keluar telepon genggamnya. Menggulir sesaat layar benda itu, kemudian menempelkan ke telinga kanan. Menunggu beberapa saat hingga suara orang yang ia hubungi akhirnya terdengar. “Aku sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Bawa Rachel ke klinik istriku. Suruh dia mengurus dua orang kita yang masih berada di sana.” “Tuan, siapa yang sakit?” “Mereka menculik istriku, Frank.” “Nyonya Hazel?” kaget Frank mendengar informasi dari sang tuan. “Bersihkan juga klinik istriku, Frank. Buang semua mayat-mayat tidak berguna itu.” “Baik, Tuan.” Oliver menurunkan ponsel. Mengakhiri panggilan setelah menyampaikan perintahnya pada salah satu anak buahnya. Frank. Pengawal yang sebelumnya ia minta untuk menjaga Hazel. “Lebih cepat lagi, Sialan. Apa kamu tidak bisa mengemudi? Kamu tidak melihat kondisi istriku?” marah Oliver. Membuat pria yang duduk di belakang kemudi menekan pedal gas lebih dalam lagi. “Kalau sampai ada apa-apa dengan istriku, kamu akan kehilangan kepalamu, Tom.” Tom yang duduk di sebelah pengemudi sambil merasakan sakit di beberapa bagian tubuhnya, terutama bahu kiri yang tertembus itu langsung menegakkan punggung. Tom menelan susah payah salivanya. “Sialan kamu, Tom.” “Maaf, Tuan.” Tom sadar dia melakukan kesalahan besar. Dia tidak bisa melindungi istri tuannya. Mengingat seperti apa sifat Oliver, Tom menahan ringisan. Pria itu mengusap lehernya. Takut lehernya akan segera terpotong. Tom mengatur tarikan dan hembusan napas. Jangan sampai istri tuannya mati. Mobil melaju lebih cepat. Tidak ada yang bersuara setelah itu. Oliver sibuk menekan-nekan katupan rahangnya. Berulang kali mengumpat dalam hati. Mengumpat siapapun orang yang menjadi dalang semua kejadian yang terjadi dalam beberapa jam terakhir. Oliver menatap wajah Hazel. Pria itu mengusap darah yang mengalir di kepala sang istri dengan punggung tangannya. Kedutan terlihat di sekitar pelipis dan rahang pria tersebut. Dia sangat marah melihat kondisi Hazel. Bukan karena dia mencintai Hazel, tapi lebih pada rasa egonya yang terinjak-injak saat orang terdekatnya dengan begitu mudah mereka serang. Oliver yakin musuhnya tertawa keras karenanya. Oliver mengepal kuat telapak tangannya. Setelah lima belas menit, mobil akhirnya berbelok masuk ke halaman rumah sakit. Tempat itu tampak masih sepi. Tidak banyak orang berlalu lalang di halaman rumah sakit yang biasanya sibuk dengan kendaraan masuk dan keluar. Seorang dokter dan dua perawat tampak sudah berdiri menunggu dengan satu brankar. Begitu mobil yang ditumpangi oleh Oliver berhenti, tiga orang itu langsung bergerak. Dua perawat laki-laki yang sudah menunggu itu dengan cepat mengeluarkan Hazel dari dalam mobil lalu membaringkan ke atas brankar. Oliver berjalan mengikuti brankar yang didorong masuk ke dalam lobi rumah sakit, kemudian berbelok ke arah ruang IGD. Oliver menghentikan ayunan kaki di depan ruangan tersebut. Pria itu hanya bisa menatap hingga brankar dengan tubuh Hazel di atasnya benar-benar masuk ke dalam ruangan tersebut. Tarikan napas panjang Oliver lakukan. Pria itu memutar tubuh lalu mengayun kedua kakinya. “Apa ada yang masih hidup?" tanya Oliver pada Tom yang tetap setia mengikuti sekalipun sudah diancam akan dipenggal kepalanya oleh pria tersebut. “Tidak ada, Tuan. Mereka semua mati, Tuan.” Oliver menekan keras katupan rahangnya. Sambil berkacak pinggang, pria itu berkata. “Selidiki. Aku harus tahu siapa mereka dan siapa orang yang berada di belakang mereka. Mereka semua itu hanya pion.” “Baik, Tuan.” Tom menurunkan kepalanya. “Atur empat orang untuk menjaga istriku. Aku tidak mau mendengar kalian kecolongan lagi. Paham?" “Paham, Tuan.” Oliver menatap tajam sang tangan kanan. Jika saja mereka tidak sedang berada di rumah sakit, mungkin saat ini Oliver sudah akan menghajar Tom. Tom menundukkan kepala. Pria itu baru mengangkat kembali kepalanya saat melihat langkah kaki sang tuan berputar lalu terayun menjauh. “Jangan mengikutiku. Aku akan pergi sendiri.” Oliver melebarkan ayunan kakinya. Saat ini dia butuh melampiaskan emosinya. Kepalanya terasa mau pecah. Keluar dari dalam rumah sakit. Oliver segera masuk ke dalam mobil. Pria itu menahan pengawal yang hendak mengikutinya. Oliver meminta sopir untuk segera melajukan kendaraan roda empatnya. Oliver bukan orang yang bisa dengan mudah meredam amarahnya. Dia perlu melampiaskan, atau dia bisa gila. Dan karena tidak bisa melampiaskan amarah pada musuhnya, yang Oliver lakukan setelah tiba di mansion adalah masuk ke dalam bangunan di belakang mansion. Pria itu melepas kancing kemeja. Meloloskan satu lembar kain yang kotor oleh debu dan darah istrinya lalu melempar dengan penuh emosi, sementara ayunan kakinya masih belum berhenti. Sepasang mata tajam pria itu menatap lurus ke depan. Sepasang rahang yang terkatup ditekan kuat oleh sang pemilik. Oliver berhenti di depan samsak yang menggantung. Dengan gerak daada cepat yang menandakan jika pria itu sedang dikuasai oleh emosi, Oliver mengepak dua telapak tangannya. Suasana hening di dalam ruangan besar itu langsung berubah saat Oliver berteriak keras sambil mengayun bergantian dua kepalan tangannya. Pria itu tidak berhenti berteriak sambil menghantam keras samsak yang bergerak-gerak seolah melawannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD